"Ma, tadi Tante Mira telepon. Katanya Minggu depan, Miranda disuruh ke Jogja, tasyakuran wisudanya Andri. Mama ikut kan?" ujar Miranda pada suatu malam.
"Enggak ah. Tolong sampaikan pada tantemu, Mama gak bisa ikut. Pinggang Mama capek banget kalau buat membonceng motor jauh-jauh," jawab sang mama.
"Kan Miranda bisa menyewa mobil, Ma. Atau nanti Miranda minta dijemput Om Heri aja biar Mama bisa ikut," ujar Miranda, merayu sang mama.
"Enggak ah. Sudah deh, Miranda saja yang berangkat. Mama titip salam saja. Oke?" Larasati tetap kekeuh dengan keputusannya.
Miranda mengendikkan bahunya. "Ya, terserah Mama, deh."
***
"Hai, Cantik! Ayo masuk! Sorry ya, kali ini rumah Tante penuh banget".
Miranda tersenyum. Ia mengedarkan pandangan, mencari sosok adik sepupunya, Andri. Setelah mengucapkan selamat pada Andri, Miranda keluar rumah melalui pintu belakang. Sumpek berada di dalam. Ia numpang duduk di teras tetangga belakang rumah tantenya.
Rumah tantenya ini termasuk perkampungan padat, di daerah Condong Catur Yogjakarta. Ketika ia tengah memainkan ponselnya, tiba-tiba pintu terbuka dari dalam. Miranda terkejut. Lelaki yang baru saja membuka pintu itu juga terkejut.
"Maaf, Mas, saya tadi numpang duduk di teras rumahnya." Miranda langsung berdiri, dan sedikit membungkukkan badannya, minta maaf pada pemilik rumah.
"Gak apa-apa, Mbak. Silahkan duduk lagi. Saya maklum kok, rumahnya Mbak Mira memang hari ini sedang ramai, penuh sama tamu. Jadi, silahkan dilanjut," ujar lelaki itu.
"Iya, Mas, terimakasih sebelumnya," ucap Miranda.
Lelaki itu mengangguk, tersenyum tipis, lalu pergi dengan berjalan kaki. Sepeninggal kepergian lelaki itu, Miranda menghenyakkan tubuhnya di kursi lagi. Ia meraba jantungnya yang berdegup kencang sedari tadi. Ada apakah ini? Batin Miranda. Miranda kembali meraih ponselnya.
Namun, lelaki tadi telanjur memenuhi pikirannya. Ia memejamkan matanya, berusaha merekam kembali percakapan singkatnya dengan lelaki tadi. Sosok lelaki itu langsung terbentuk di benak Miranda. Wajahnya manis, kulitnya sawo matang, tingginya sedang, senyumnya manis, dan ia ramah sekali.
Pukul tiga sore, rumah Mira sudah agak sepi. Tinggal empat teman Andri yang masih belum pulang. Miranda masuk rumah. Langsung menuju ruang makan. Ia kelaparan sedari tadi.
"Duh, yang lapar ...," ejek sang tante.
Miranda meringis.
"Kamu dari tadi nongkrong di rumah Mas Alex, ya?"
"Iya. Habis rumah Tante penuh orang, sumpek. Perasaan terakhir ke sini, rumah itu dikontrak sama tiga mahasiswi kan, Tante?"
"Iya, mereka dah wisuda. Terus sekarang rumah itu dikontrak sama Mas Alex" jelas sang tante.
"Dia orang mana, Tante?" Miranda penasaran.
"Salatiga. Dia kerja di kafe."
"Dah menikah?"
"Katanya sih sudah. Tapi selama beberapa bulan di sini, kayaknya Tante belum pernah lihat istrinya deh. Belum nyusul mungkin. Kenapa nanya-nanya tentang Mas Alex melulu?"
"Gak apa-apa, Tante. Orangnya ramah soalnya. Dah, itu aja." Miranda tersipu-sipu. Ia segera menyingkir dari ruang makan.
Sedang enak-enaknya makan, sang tante datang. 'Duh, bakalan diinterogasi nih', pikir Miranda.
"Mir, Tante nanya serius nih. Miranda sampai sekarang beneran belum pernah pacaran?"
Miranda yang sedang mengunyah makanan, menggelengkan kepalanya.
"Memangnya selama ini gak ada cowok yang mendekatimu?" sang tante mengajukan pertanyaan lagi.
"Ada sih, beberapa. Tapi Miranda cuekin aja," jawab Miranda jujur.
"Kenapa?"
"Gak ada yang Miranda taksir, Tante. Astaga, nanyanya dah kaya' jaksa aja deh ...." Miranda meninggalkan tantenya. Ia sudah selesai makan.
"Habis naruh piring, ke sini lagi, ya, Mir!" teriak sang tante.
"Terusin nanti aja deh ngobrolnya. Miranda mau ngadem di kamar Hani," jawab Miranda dari dapur.
Mira menarik napas panjang. Ia merasa kasihan pada sang kakak, Larasati. Walaupun jarang berkeluh kesah, tapi Mira tahu dengan pasti jika sang kakak tengah merisaukan Miranda.
Masa' iya, sampai umur segini dia belum pernah dekat dengan seorang pria barang satu pun? Larasati takut, jika perceraian orang tuanya memberikan efek trauma yang mendalam bagi Miranda. Sehingga ia membenci laki-laki bahkan enggan menikah.
Pukul tujuh malam, Miranda bersiap-siap pulang ke Magelang. Ia baru saja mengeluarkan motor dari garasi, ketika ada seseorang menyapa.
"Mau pulang, Mbak?" sapa lelaki itu.
"I-iya, Mas. Mas sendiri mau ke mana?"
"Mau ke masjid dong, Mbak. Bawa sajadah masa' iya mau ke sawah?"
Astaga! Miranda merasakan pipinya memanas. Bodoh ... bodoh! Miranda merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Mari, Mbak, saya permisi. Hati-hati dalam perjalanan, semoga selamat sampai tujuan!" Lelaki itu berpamitan pada Miranda, Lalu meneruskan langkahnya ke arah utara.
Miranda duduk di jok motornya. Senyum-senyum sendiri kaya' orang gila.
"Mir, Tante perhatikan dari tadi nih, kamu malah bengong aja di atas motor. Kenapa, Non? Kesambet? Nginep aja deh, pulang besok pagi!" ujar Mira dari teras rumah.
"Gak ah, Miranda mau pulang sekarang aja. Kasihan Mama di rumah gak ada teman. Bye Tante! Salam buat Andri dan Hani, ya!" Miranda berpamitan, lalu melakukan motornya pelan-pelan, meninggalkan rumah sang tante.
Satu setengah jam kemudian, Miranda sampai di rumahnya. Ia sempat berhenti sebentar tadi, membelikan martabak telur untuk sang mama.
Setelah mengobrol sebentar dengan mamanya, Miranda segera mandi, lalu masuk ke kamarnya. Tubuhnya terasa lelah, setelah menempuh jarak yang lumayan jauh, Jogja-Magelang. Tapi hatinya justru malah tengah diliputi kebahagiaan, karena pertemuan pertamanya dengan Alex tadi.
Miranda melirik jam dinding di kamarnya, ternyata sekarang sudah hampir tengah malam. Itu artinya, sudah hampir tiga jam ia berbaring di ranjangnya. Membayangkan sosok Alex. Wajahnya yang manis, senyumnya yang menawan, dan sikapnya yang ramah, benar-benar telah membius Miranda.
Inikah yang disebut jatuh cinta? Beginikah rasanya? Benarkah ia telah jatuh cinta pada Alex pada pandangan pertama? Berjuta tanya muncul di benak Miranda, hingga membuat gadis itu ketiduran.
"Lho, kenapa matamu, Nak? Kaya' anak panda aja."
"Masa' sih, Ma?"
"Ngaca gih, sono!"
Miranda menuruti sang mama. Tampak jelas di cermin, ada lingkaran hitam di kantung matanya.
"Memangnya tadi malam kamu tidur jam berapa?" Larasati bertanya sambil menyiapkan sarapan di meja makan.
"Gak tahu, Ma. Larut malam sih, kayaknya lebih dari jam 12 sih."
"Tumben, mikirin apa memangnya?"
"Gak mikirin apa-apa, Ma. Cuma kecapaian aja," jawab Miranda sambil bersiap untuk mandi pagi.
***
Seharian ini, Miranda menampakkan sikap yang ceria sekali. Banyak tersenyum, banyak tertawa. Tita, rekan kerjanya, merasa sangat heran.
"Kamu kesambet apa, Mir?"
"Kesambet apaan, ah. Kamu tuh yang kesambet penunggu Kali Progo."
"Hampir tiga tahun kerja bareng kamu, baru kali ini lho kamu seceria ini. Dilamar ya?"
"Dilamar siapa? Ngaco deh, Tita ...."
"Hmmm ... aku tahu! Kamu lagi jatuh cinta, kan?"
Tidak ada jawaban dari Miranda.
"Tuh, kan, beneran jatuh cinta. Lihat tuh, pipimu merah."
Miranda tak tahan lagi. Dicubitnya pinggang Tita. "Berisik bener deh, kamu, Ta. Malu-maluin aku aja."
"Hahaha ... lega aku, Mir, ternyata kamu normal, doyan laki. Kirain kan', kamu termasuk kaum belok, yang jeruk makan jeruk tuh."
Miranda tertawa terbahak-terbahak.
"Ngomong-ngomong, namanya siapa, trus rumahnya mana? Ganteng gak orangnya?"
"Tita! Dah kaya' wartawan aja nih, nanya-nanya melulu. Udah diem, jangan ngeledek aku lagi. Gak kelar-kelar nih, garapanku."
Usai jam kantor, pukul empat sore, Miranda mengajak Tita makan bakso.
"Tumben ngajakin nge-bakso, biasanya langsung pulang aja.
Miranda hanya tersenyum malu. Benar apa yang dikatakan Tita. Biasanya ia malas kemana-mana. Kerja, pulang, tidur, itulah rutinitas hariannya.
"Ma, besok pulang kerja, Miranda langsung ke rumah Tante Mira, ya." Miranda minta izin pada sang mama, saat sarapan pagi ini.
"Lho, tumben. Ada acara apa memangnya, Nak?"
"Gak ada apa-apa kok, Ma. Miranda hanya mau refreshing saja," kilah Amanda.
Larasati menatap Miranda. Namun wajahnya datar saja.
Di kantor, Miranda gelisah sepanjang hari ini. Tak sabar menunggu jam pulang kantor. Diliriknya kembali jam dinding, ah, baru jam dua siang. Masih dua jam lagi. Tita tak mampu lagi menahan bully-annya.
"Duh, yang mau ketemu Arjuna. Gelisah terus sepanjang hari kaya' ayam mau bertelur aja." Tita mulai meledek Miranda.
Miranda melengos, lalu menjauhi Tita menyembunyikan semburat malu di wajahnya.
Detik demi detik berlalu dengan sangat lambat. Dua jam bagaikan dua minggu.
Jam empat tepat, Miranda pamit pada Tita. Ia segera men-starter motornya ke jalan raya, ke arah Jogjakarta. Miranda menikmati kepadatan jalan raya Jogja-Magelang sore ini, dengan hati gembira. Tak sabar ingin segera sampai di Gejayan, lalu bertemu Alex.
"Nah, gitu dong, sering-sering ke sini, ya, Cantik!" Mira menyambut kedatangannya. "Nginep sini, kan?"
Miranda mengangguk.
"Masuk, yuk, sebentar lagi Maghrib," ajak sang Tante, sambil menggandeng tangan Miranda.
"Kok sepi, Tante? Andri sama Hani ke mana?" Miranda celingak-celinguk.
"Om Heri pulang ke Klaten, anak-anak pada ikut."
"Kenapa Tante gak ikut?"
"Tente ada rapat pengurus PKK nanti pukul setengah delapan, di rumah Bu RT. Harusnya sih tadi pagi, tapi banyak pengurus yang berhalangan. Gak apa-apa kan, Miranda nanti di rumah sendirian?"
"Gak apa-apa, Tante. Dah gede ini, kan."
"Oke, deh kalau begitu. Makan dulu, yuk. Hari Tante bikin pepes jamur pedas." Mira mengajak Miranda ke ruang makan.
Mira sudah berangkat rapat, kini Miranda bisa leluasa mengintip tetangga belakang rumah, Alex. Ia harap-harap cemas, bisa saja kan Alex tak ada di rumah? Bisa sia-sia perjuangannya hari ini.
Miranda mengintip rumah Alex dari kaca. Di teras tak nampak siapa pun. Tapi lampu rumahnya menyala semua. Ia termenung beberapa lama, menimbang-nimbang, langkah apa yang harus ia lakukan selanjutnya? Saking seriusnya, sampai ia tak mendengar ketukan di pintu depan.
"Permisi, Bu Mira!"
Miranda mendengar seseorang mengucap salam. Ia bergegas ke pintu depan. Ketika ia membuka pintu, ia terkejut alang bukan kepalang ....
Sesampainya di rumah, Miranda langsung menemui sang mama.“Ma, besok pagi bantuin Miranda berkemas-kemas, ya!”Larasati nampak bingung. “Memangnya dah mau pindah?”“Iya, Ma. Miranda cocok sama pondok yang Tita bilangin kemarin. Miranda dah ketemu sama pemilik pondok. Mereka ramah sekali. Pokonya Miranda mantap mau mondok di situ,” ujar Miranda berapi-api.Larasati merasa terenyuh dengan tekad putrinya. “Kehidupan di pondok itu keras, Nak, jadwalnya padat. Kamu pandai-pandailah beradaptasi di sana.”“Iya, Ma,” jawab Miranda singkat.Tak terasa, sehari telah berlalu. Semua kebutuhan pokok Miranda selama akan berada di pondok, sudah dikemas dalam sebuah travelling bag. Sekarang, waktunya berangkat ke pondok, memulai hidup baru. Larasati memandangi putrinya dengan penuh kasih. Untuk sementara, ia akan berpisah dengan putrinya. Ia menahan air matanya agar tak tumpah. Ia tak ingin nampak
Lagi-lagi, Miranda terjaga dari tidurnya. Diliriknya jam dinding di kamarnya, masih jam dua pagi. 'Sialan!' rutuk Miranda dalam hati. Bagaiamana bisa ia mimpi buruk tiga hari berturut-turut dengan mimpi yang sama pula? Apakah ini hanya kebetulan semata? Ataukah sebuah pertanda buruk?Tiba-tiba, Miranda merasa ketakutan. Untuk pertama kalinya, ia melakukan salat malam--tahajud--untuk menenteramkan hatinya yang gelisah. Ia segera mengambil air wudhu, lalu memulai salatnya. Air matanya bercucuran, karena ia merasa bersalah, telah meninggalkan Allah selama ini. Ia bahkan melakukan zina hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.Setelah selesai dua rakaat, ia pun berdoa memanjatkan doa, meminta ampun kepada Allah atas semua dosa-dosanya. Lalu ia pun duduk bersila, melafalkan zikir dengan bercucuran air mata. Ampuni aku, Ya Allah. Ampuni aku ....Malam itu, Miranda menghabiskan sisa malamnya dengan berzikir. Terus dan terus. Hingga ia jatuh tertelungkup di atas s
Miranda terjaga dari tidurnya. Ia bingung berada di mana. Kepalanya masih terasa sangat berat. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. Lho, di mana Jatmiko? Miranda mengedarkan pandangannya ke kamar hotel. Tak nampak Jatmiko. Juga barang-barang yang kemarin sempat dilihatnya.Ketika hendak bangkit dari ranjang, ia terkejut mendapati dirinya telanjang. Ia juga merasakan nyeri pada alat kelaminnya. Karena penasaran, ia meraba bagian vitalnya. Ia terhenyak, ketika tangannya menyentuh lendir lengket di sekitar alat vitalnya.Miranda terhenyak, kembali membaringkan tubuhnya. Ia menutupi tubuhnya dengan selimut. Ia berusaha melogika apa yang telah terjadi dengannya. Setelah beberapa lama berpikir dengan tenang, ia pun perlahan menangis. Ia tak menyangka, Jatmiko sebejat itu. Ia tak menyangka, Jatmiko tega menjebak, lalu memperkosanya.'Oh, bodohnya aku,' rutuk Miranda dalam hati. Ia sungguh menyesal, bertemu dengan Jatmiko. Ia menyesal kemarin dengan
Setelah sarapan bersama, mereka pun kembali berjalan menuju lokasi pantai. Jatmiko mengantarkan Miranda hingga tempat parkir."Daaah ... sampai jumpa nanti siang, ya!" pamit Miranda saat melewati Jatmiko. Pria itu sedang berjalan menuju mobilnya yang diparkir di area luar pantai. Jatmiko membalas lambaian tangan Miranda, lalu melanjutkan langkahnya.Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang, Miranda sudah siap pergi dengan Jatmiko. Ia membuka pesan di aplikasi WA, ada sebuah pesan dari Jatmiko, bahwa ia sedang dalam perjalanan menuju hotel tempat Miranda menginap. Miranda mengambil tas punggung kecilnya, lalu turun ke lobi. Ia akan menunggu Jatmiko di sana.Siang ini, suasana hotel agak sepi. Hanya ada beberapa pengunjung hotel terlihat duduk-duduk di lobi hotel. Hotel tempat Miranda memang dilengkapi dengan dua set sofa untuk duduk tamu-tamu hotel.Dari kejauhan, nampak seorang pria tampan berkulit coklat berambut semi gondrong ten
Setelah menarik napas panjang, Miranda pun mulai menceritakan kisahnya. Reno mendengarkan dengan penuh simpati.“Jadi, kamu sekarang merasa insecure karena kondisimu sekarang, ya, Mir?” Reno berkomentar.“Ya, begitulah. Aku merasa hina banget, Reno.”“Jangan terlalu dipikirkan, let the gone be by the gone, yang penting kamu sudah bertaubat, menyadari kesalahanmu.”“Eh, dah hampir jam 10, pulang, yuk. Panas gila di sini,” ujar Miranda, sambil melihat jam di ponselnya.“Langsung pulang ke Magelang?”“Enggak. Balik ke rumah tanteku dulu, entar sore baru balik Magelang.”“Ya udah, bye Miranda, nice to see you,” pamit Reno pada Miranda yang sedang berkemas.Reno beranjak meninggalkan Miranda. Miranda menyusul pergi kemudian. Miranda merasa simpati dengan kisah cinta pria itu. Ia tak bisa membayangkan kesedihan Reno yang harus kehilangan kekasih hati
Alex tertunduk lesu, mendengar jawaban Miranda. Ia tak menyangka, Miranda sedalam itu mencintai dirinya. "Maafkan aku, Mir, aku sudah merusak hidupmu.""Bukan salahmu, Alex. Aku juga salah. Cinta datang di saat yang tepat, itu saja. Kita berdua salah, karena mengikuti bisikan hawa nafsu. Memang sudah seharusnya kita berpisah.""Tapi kamu perempuan, Mir. Kamu rugi ....""Karena aku sudah tak virgin, maksudmu?"Alex menjawab lirih, "Iya, Mir."Miranda menitikkan air mata. "Itu sudah terjadi, Lex. Aditya, pacarku yang terakhir, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma susila, ia kecewa mengetahui aku sudah tidak suci lagi.""Ia langsung memutuskan hubungan kalian begitu saja?""Enggak. Aku yang memutuskan hubungan. Dia mau menerimaku apa adanya, walaupun aku tidak sesuai harapannya. Tapi aku memilih mundur.""Kenapa, Mir? Kan dia menerimamu apa adanya.""Jangan naif, Alex. Oke, saat ini dia bisa bilang kaya' gitu. Tap