Share

Gelora asmara

"Enggak, Bu Edi. Rania masih di Salatiga, bulan depan mungkin nyusul saya ke sana." Alex menjelaskan pada Bu Edi, salah satu tetangga Alex dan Mira di kampung Gejayan.

"O, begitu. Ya, sudah, mari, Mas, Mbak, saya duluan," pamit Bu Edi pada Alex dan Miranda.

Sepeninggal Bu Edi, Miranda memandang Alex, tatapan matanya seolah meminta penjelasan tentang sesuatu. Alex segera tanggap. "Rania itu nama istriku, Mir. Tadi malam belum sempat ngasih tahu kamu, tantemu dah manggil kamu."

Miranda manggut-manggut, tanda mengerti.

"Boleh kulihat fotonya?" 

Alex segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Membuka galeri, lalu menunjukkan sebuah foto pada Miranda.

"Wow, cantik sekali. Anggun, berjilbab lagi. Cocok sama kamu, Mas." Miranda memuji istri Alex dengan sepenuh hati.

"Ah, bisa aja kamu, Mir." Alex tersipu, ia lalu mengalihkan arah pembicaraan. "Berhubung menurut pengakuanmu kamu ini jomlo, maka aku ingin mendengar cerita tentang keluargamu. Apakah boleh?"

Setelah menarik napas panjang, Miranda menceritakan garis besar keluarganya.

Tentang perselingkuhan sang ayah, tentang mamanya yang menderita depresi berbulan-bulan pasca perceraiannya, kematian sang nenek, hingga kematian sang papa. Tak terasa, air mata bercucuran di pipi Miranda. 

Alex meraih tangan Miranda, meremasnya dengan lembut. "Maaf, ya, aku bikin kamu nangis."

Miranda menggengkan kepalanya, seraya berucap, "Tidak apa-apa, Mas. Sudah lama berlalu, tapi saat menceritakan keadaan mama saat mengalami depresi, aku memang selalu menangis. Bagiku, itu adalah saat-saat tersulit dalam hidupku."

"Parah banget ya, kondisi mamamu saat itu?"

"Parah banget. Berbaring aja tiap hari, merenung, terus kadang nangis tiba-tiba. Kalau gak disuapi, ya gak mau makan. Bahwa akhirnya mamaku bisa pulih lagi seperti sedia kala, buatku merupakan anugerah terbesar dalam hidupku ...." Belum sempat Miranda menyelesaikan kalimatnya, ada yang membuka pagar dari luar. 

"Lho, aku datang kok malah Mas Alex mau pergi? Sini dulu lah, terusin aja ngobrolnya," ujar Mira, sambil melepas sepatu kets-nya.

"Cuma ngobrol ngalor-ngidul kok, Mbak. Saya pamit, ya, Mbak. Mari semuanya ...." Alex berpamitan pada Mira dan Miranda.

Miranda memberi kode kepada Alex jika nanti ia akan mengubunginya via ponsel. Alex menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

Pukul 10 pagi, Miranda mengambil ponselnya.

[Aku boleh ke rumahmu gak, Mas?] Miranda menulis pesan, lalu dikirimkan kepada Alex.

[Boleh, dong. Langsung masuk rumah saja, ya. Pintunya gak dikunci.] balasan dari Alex.

Miranda segera beranjak keluar kamar, lalu berpamitan pada sang tante. 

"Nonton apa, Mas?" sapa Miranda pada Alex yang tengah asyik menonton sebuah film di laptopnya.

"Film lama, 'The curious case of Benjamin Button'. Tahu film-nya gak?" jawab Alex seraya mengajak Miranda duduk di sampingnya. Miranda menggelengkan kepalanya, ia memang jarang nonton film. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan membaca.

Mereka berdua duduk di lantai, menekuri laptop yang diletakkan Alex di meja ruang tengah.

"Mau minum apa, Mir?"

"Gak usah deh. Makasih."

Mereka melanjutkan menonton film. " Cantik banget ya, yang jadi Daisy. Keren banget lah aktingnya Brad Pitt." Miranda mengomentari film itu.

"Masih cantikan kamu, kok."

Miranda terbahak. Ditatapnya Alex, seraya berkata, "Gombal mukiyo!"

Alex tertawa. "Lha wong kenyataan, kok malah dibilang gombal."

Mereka kembali melanjutkan menonton. Alur cerita yang romantis, membuat mereka semakin terhanyut. Pada saat Miranda menitikkan air mata karena sebuah adegan sedih, Alex tak segan-segan mengusap air mata Miranda. Lalu diusapnya rambut gadis itu.

Anehnya, Miranda tak mampu menolak perlakuan manis Alex padanya. Ia justru malah menikmatinya. Miranda merasa ada sesuatu yang salah, yang seharusnya tak ia lakukan, tapi ia tak mampu melawannya. Hingga pada suatu ketika, tiba-tiba Alex merengkuh Miranda ke dalam pelukannya, lalu melumat bibir gadis itu dengan penuh gairah.

Miranda terperangah. Terpaku. Tak tahu harus berbuat apa. Tapi salah satu sisi hatinya menjerit, meminta Miranda untuk tidak menolak Alex. Miranda pun membalas ciuman Alex. Bibir keduanya saling berpagutan. Miranda merasakan darahnya berdesir, jantungnya berdegup kencang, merasakan sensasi aneh akibat berciuman dengan Alex. 

Alex melepaskan pagutannya. Ia merengkuh kedua tangan Miranda, diletakkannya di dadanya. "A-aku minta maaf, Miranda. Ini terjadi begitu saja. Aku tidak bisa mengendalikan diriku. I'm so sorry ...."

Miranda tersipu. 

"It's oke. Aku menikmatinya kok. Dalam hal ini, aku juga bersalah." Miranda menundukkan kepalanya.

"Aku tidak tahu. Sepertinya kamu telah membiusku, Mir. Kamu membuatku terpesona. Kurasa ... mmm ... kurasa, aku sudah jatuh cinta padamu, Mir." Alex tergagap-gagap mengungkapkannya perasaannya.

Miranda terlonjak. Ia tak menyangka Alex secepat ini bertindak, mengungkapkan isi hatinya pada dirinya.

"Sebenarnya, a-aku ... mmm ... aku datang ke Jogja hanya untuk sekedar bisa melihatmu, Mas." Miranda mengungkapkan isi hatinya, dengan kepala tertunduk malu.

"Really?" 

Miranda mengganggukkan kepalanya. Alex mengajak gadis itu berdiri. Lalu direngkuhnya lagi gadis itu ke dalam pelukannya. Bibir mereka kembali berpagutan. Kedua tangan Miranda memeluk erat leher Alex. Kedua tangan Alex mengelus lembut rambut Miranda yang tergerai. Lalu turun, menggerayangi punggung Miranda, mengelus-elusnya dengan lembut. 

Alex dan Miranda semakin terlarut dalam buaian api asmara yang tengah membakar keduanya. Alex menelusupkan kedua tangannya ke dalam kaos Miranda. Bibirnya kini menciumi leher Miranda yang jenjang. Lalu kembali lagi memagut bibir Miranda dengan penuh nafsu.

Miranda terhanyut ke dalam suatu sensasi rasa yang luar biasa, yang baru pertama kali ini dirasakannya. Ia menikmati setiap sentuhan Alex. Napas keduanya memburu. Ketika Alex tengah meremas dada Miranda, terdengar suara yang sangat berisik dari arah rumah tetangga Alex. 

Praaang

Alex dan Miranda sama-sama tersentak. Mereka saling berpandangan. Napas mereka masih memburu. 

"So sorry, aku tidak bisa menahan nafsuku. Aku tidak bermaksud melecehkanmu, memanfaatkammu atau apalah. I'm so sorry, Miranda ...." Alex menundukkan kepalanya. Ia berusaha mati-matian memadamkan napsu kejantanannya yang masih membara, menuntut kepuasan. Keringat mengalir dari pelipisnya. Ia merasa bersalah pada Miranda. Dengan susah payah, ia mengatur laju napasnya. 

Miiranda tertunduk lesu. "Aku ingin mengatakan sesuatu, Alex. Kuharap setelah mendengar pengakuanku, kamu tidak serta-merta menganggapku wanita murahan."

"Katakanlah, Mir ...."

"A-a-aku, aku tidak menyesal, Mas. Sama sekali tidak menyesal. Aku justru menikmatinya. Aku mencintaimu, Alex. Aku mencintaimu sejak pertama kali aku melihatmu. Mungkin terdengar naif, tapi itulah faktanya."

Mereka kembali berpelukan, saling membelai, dan berciuman lagi. Kali ini, lebih hangat dan lebih intens.

"Sudah jam setengah 12, Mas. Kamu harus siap-siap berangkat kerja kan?" Miranda mengingatkan Alex, ia menarik bibirnya dari pagutan Alex.

Alex melirik jam dinding. Ah, sialan. Seandainya saja hari ini tak ada rapat, tentu ia akan memilih menghabiskan hari ini dengan Miranda. "Jadi, ini pertemuan terakhir kita hari ini? Tidak bisakah kamu menginap lagi, Mir?"

Miranda menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Mas. Besok kerjaanku banyak."

"Tapi kita akan tetap berhubungan, kan? Aku ingin bertemu denganmu lagi, secepatnya."

Miranda meraih tangan Alex, menggengamnya erat. "Just call me, oke? We're gonna meet again, soon. I promise you."

"Halah, gombal mukiyo!"

Miranda terkekeh. Setelah itu, ia berpamitan. "Ya udah, aku pulang dulu, ya, Mas."

"Oke, and please be careful. I'm gonna miss you soon. Dan ..."

"Apa, Mas?" 

"Panggil aku Alex saja, ya. Gak pakai 'Mas', deal?"

Miranda mengedipkan sebelah matanya, tanda setuju. Ia lalu kembali ke rumah sang tante. Makan siang, istirahat sebentar, lalu pamit pulang ke Magelang lebih awal. Untuk apa berlama-lama di rumah sang tante, jika sudah tidak bisa bertemu Alex lagi. 

***

Beberapa hari setelah di rumah, Larasati merasa heran, sejak kepulangannya dari Jogja, ia melihat anak gadisnya begitu ceria. Selalu tersenyum, tidak pernah merengut sama sekali. 

"Mama perhatikan, akhir-akhir ini kamu selalu ceria, Nak. Mau cerita sama Mama, Sayang?" Larasati penasaran, ia berusaha mengorek keterangan dari Miranda.

"Tidak ada apa-apa, Mama. Miranda gak menyembunyikan sesuatu pun dari Mama." Miranda mengelak, padahal dalam hatinya ia menyesal karena harus berbohong pada sang mama.

Larasati memasang wajah tak percaya. Miranda pun merajuk. "Ah, Mama ...."

Larasati hanya geleng-geleng kepala, melihat tingah anaknya. 'Anakku sedang jatuh cinta', ujar Larasati dalam hati. Ia pun tersenyum lega.

Di kamarnya, Miranda tengah berbalasan pesan di aplikasi WA dengan Alex.

[Jangan lupa, jam 5 sore. Di lobi hotel Orchid. I miss you so much.] pesan dari Alex.

[Can't wait. Miss you too.] Miranda menambahkan emot love, lalu menekan tanda kirim.

Masih centang dua, mungkin Alex masih sibuk, tak bisa sering-sering membuka ponselnya. Miranda merasa gelisah di kamarnya. Berulangkali ia membalikkan tubuhnya di ranjang. Ia merindukan Alex setengah mati. Ia merindukan belaian Alex, ciuman Alex yang sanggup membakar tubuhnya. 

Ia tak sabar menunggu besok sore. Baginya, itu terlalu lama. Dibukanya lagi ponselnya, sudah centang biru. Ia lega. 'See you soon, Alex', ucapnya dalam hati. 

Malam itu Miranda memutar 'Arms' dari ponselnya, untuk menemaninya tidur. Malam semakin larut. Miranda tengah tertidur nyenyak, ia memimpikan Alex. Sayup-sayup, terdengar alunan merdu dari Christina Perry dari kamar Miranda.

I never thought that You 

would be the one to hold my heart

But you came around

And you knocked me off the ground

from the start

You put your arms around me

And I believe that it's easier for you

to let me go

You put your arms around me

and I'm home

How many times will let you

me change my mind and turn around

I can't decide if I'll let you

save my life or if I'll drown

I hope that you see right through my walls

I hope that you catch me, 'cause I'm already falling

I'll never let a love get so close

You put your arms around me and I'm home

The world is coming down on me

And I can't find a reason to be loved

I never wanna leave you

But I can't make you bleed if I'm alone

You put your arms around me

And I believe that it's easier for you to let me go

I hope that you see right through my walls

I hope that you catch me, 'cause I'm already falling

I'll never let a love get so close

You put your arms around me and I'm home

I tried my best to never let you in to see the truth

And I've never opened up

I've never truly loved 'till you put your arms around me

And I believe that it's easier for you to let me go

I hope that you see right through my walls

I hope that you catch me, 'cause I'm already falling

I'll never let a love get so close

You put your arms around me and I'm home

You put your arms around me

and I'm home

***

"Bangun, Nak! Sudah jam tujuh pagi sekarang." Larasati mengetuk pintu kamar Miranda.

Tidak ada jawaban. Dipanggilnya sekali lagi, masih tak ada jawaban lagi. Dibukanya pintu kamar, terlihat Miranda masih tertidur pulas. 

"Bangun, Nak. Sudah siang." Larasati menowel tubuh Miranda beberapa kali.

Miranda menggeliat, menguap lebar, lalu duduk di ranjang. Sambil mengucek-ucek mata, ia bertanya pada sang mama, "Jam berapa ini, Ma?"

"Jam tujuh lebih. Ayo cepetan mandi. Katanya ada meeting hari ini," jawab Larasati sambil merapikan kasur anaknya. 

Ketika Miranda hendak keluar kamar, ponselnya berbunyi, terdengar dering nada panggil.

"Nduk, ini ada telepon dari Alex." Teriak sang mama pada Miranda.

Miranda seketika menghentikan langkahnya. Waduh, bagaimana ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status