Share

Chapter 9 : Boys Time

“Baik anak-anak, tugasnya dikumpulkan terakhir hari Sabtu sebelum kalian study tour, ya. Nanti tugasnya tinggal kalian letakan saja di meja Bapak,” jelas Pak Budi kepada para murid kelas 11 IPA 1. Beliau merupakan salah satu dari guru seni rupa yang ada di SMA Antariksa.

“Untuk temanya bebas, Pak?” tanya Rendi selaku ketua kelas di 11 IPA 1.

“Untuk tema kalian bebas memilih apa saja. Jika temanya semakin unik maka nanti nilai kalian semakin tinggi,” tambah Pak Budi. Para murid pun mengangguk menanggapi ucapan Pak Budi.

“Baik kalau begitu Bapak sudahkan pelajaran hari ini karena sebentar lagi bel istirahat berbunyi. See you next time.” Setelah itu Pak Budi segera meninggalkan kelas 11 IPA 1.

Para murid berhamburan dari tempat duduknya setelah Pak Budi keluar dari kelas. Hal yang sudah biasa Pak Budi lakukan ketika pelajarannya adalah mendahului istirahat sebelum bel berbunyi. Oleh karena itu, banyak murid yang menyukai guru seni rupa tersebut karena pengajarannya yang santai dan tidak terlalu disiplin. Beberapa murid segera keluar kelas menuju kantin dan ada juga yang tetap berada di dalam kelas. Contohnya seperti para murid perempuan yang segera bergerombol untuk bergosip.

Putra kemudian mengajak ketiga temannya, Haris, Hugo dan Felix, untuk menuju ke kantin karena perutnya sudah meminta untuk diberi makan. Mereka berempat bergegas keluar dari kelas dan segera menuju ke kantin yang jaraknya tidak jauh dari kelasnya, hanya melewati tiga kelas saja. Suasana kantin saat ini masih sepi karena bel istirahat belum berbunyi dan di sana hanya berisi para murid kelas 11 IPA 1 saja. Mereka kemudian segera menduduki meja kosong yang berada di pojok.

“Lo pada mau makan apa? Sekalian gue pesenin, nih,” tanya Putra kepada tiga temannya yang sekarang sedang fokus dengan ponselnya masing-masing.

“Gue batagor sama es jeruk aja, Put,” jawab Haris dan disusul dengan Hugo, “Gue samain kayak Haris.”

Putra mengangguk dan beralih menatap Felix, “Kalau lo mau makan apa, Lix?”

Felix terlihat sedang berpikir sejenak, “Siomay ada nggak?” tanyanya kepada Putra. Putra pun mengangguk.

“Lah orang Australia kok tau makanan siomay?” tanya Hugo.

“Di Ausie juga ada siomay kali, itu juga makanan asal Cina. Cuma kalau di Ausie nggak ada sambal kacangnya,” jelas Felix. Ucapannya itu sontak membuat ketiga temannya tertawa.

“Terus minumnya mau apa?” tanya Putra dan dibalas oleh Felix, “Samain aja.”

Setelah semua temannya memesan makanan, Putra segera menuju ke warung yang menjual siomay dan batagor. Tidak lupa sebelumnya ia menuju ke warung yang menjual mie ayam karena dirinya sudah merasa sangat lapar padahal saat ini jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.

“Eh, by the way kita mau ambil tema apa buat tugasnya Pak Budi?” ucap Hugo membuka obrolan. Haris dan Felix kini sudah beralih dari ponselnya dan menatap temannya itu.

“Gimana kalau nature aja? Kayak hutan pepohonan gitu.” Kini Haris membuka bibirnya. Tugas dari Pak Budi adalah melukis di atas kanvas putih berukuran 80 x 100 cm yang cukup besar dengan media cat minyak. Namun, hal itu jadi tidak terlalu menjadi masalah karena lukisan tersebut akan dilukis oleh empat orang yang akan membuat pekerjaan menjadi lebih mudah.

“Boleh tuh, jadi nanti kita beli cat minyaknya warna hijau aja,” sambung Putra yang kini sudah datang dengan satu mangkuk mie ayam dan satu gelas es jeruk di tangannya.

“Punya gue mana?” tanya Haris. Ia hanya melihat temannya ini membawa satu mangkuk mie ayam dan segelas es jeruk, tidak lupa dengan satu keping kerupuk di atas mie ayamnya.

“Nanti dianter, Sayang. Tangan gue cuma dua.” Putra kemudian duduk di sebelah Haris dan membuatnya bergidik ngeri, “Najis.”

Tepat setelah ucapan Haris tiba-tiba datang penjual siomay dan batagor yang membawa nampan berisi dua piring batagor dan satu piring siomay serta tiga gelas es jeruk. Haris, Hugo, dan Felix segera mengucapkan terima kasih kepada penjual itu karena telah mengantarkan makanan kepada mereka.

“Nanti pulang sekolah ke rumah gue aja. Kakak gue punya perlengkapan lukis yang lumayan lengkap. Kayaknya di studionya juga masih ada kanvas besar,” tukas Felix. Laki-laki berdarah Australia-Indonesia ini ternyata memiliki seorang kakak perempuan yang tiga tahun lebih tua darinya. Saat ini kakaknya sedang mengemban pendidikan di bidang seni lukis tepatnya di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Bandung. Oleh karena itu, tidak heran jika di rumahnya terdapat banyak peralatan melukis.

“Emangnya boleh sama kakak lo, Lix?” tanya Hugo. Felix kemudian mengangguk dan menjawab, “Santai aja, nanti gue izin ke kakak gue. Hari ini juga dia nggak ada di rumah.”

Haris, Putra, dan Hugo hanya mengangguk perkataan Felix, “Oke deh, nanti pulang sekolah berarti tancap gas ke rumah lo, ya, Lix,” ucap Putra.

“Eh, tapi nanti gue ada jadwal bimbel gimana? Atau gini aja, nanti lo bertiga mulai ngelukis terus besok kanvasnya kasihin ke gue biar gue finishing,” tukas Hugo.

“Ya udah kalau gitu, Go,” tambah Haris. Putra dan Felix menyetujui saran dari Hugo. Mereka bertiga kemudian melanjutkan untuk menghabiskan makanan yang ada di meja karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

Haris, Felix, dan Putra kini sudah berada di parkiran motor sekolah. Mereka bertiga akan segera pergi menuju ke rumah Felix. Putra sendiri tidak membawa kendaraan sehingga ia membonceng di belakang Haris. Felix yang sudah siap di depan segera menancapkan gas sepeda motornya menuju ke rumahnya dan diikuti oleh Haris dan Putra di belakang. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di rumah Felix, mereka hanya menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumah Felix.

Di depan mereka sudah ada rumah yang berukuran cukup besar dengan desain eksteriornya yang minimalis tetapi masih terlihat elegan. Felix beranjak turun dari motornya dan membuka gerbang rumahnya yang masih terkunci dengan gembok. Ia mengeluarkan kunci dari kantong seragamnya dan segera membuka gemboknya. Ia kemudian mendorong gerbang agar terbuka lebar. Felix kembali menaiki motornya dan mempersilakan Haris dan Putra untuk memarkirkan motornya di dalam sebelum ia kembali menutup gerbangnya.

“Rumah lo kok sepi banget, Lix. Di dalem nggak ada orang apa?” tanya Putra setelah melepas helm yang ada di kepalanya dan diikuti juga oleh Haris.

“Enggak ada. Bokap sama nyokap di kantor,” jawab Felix. Ia lalu segera membuka pintu rumahnya yang terkunci dan menyuruh Haris dan Putra untuk masuk.

“Mau minum apa?” tanya Felix kepada dua temannya yang sekarang sudah duduk di sofa ruang tamu.

“Terserah lo aja, Lix.” Putra kemudian berjalan menuju ruang keluarga yang masih satu ruangan dengan ruang tamu tetapi hanya diberikan sekat dengan lemari kayu yang besar. Di sana terdapat satu televisi dengan ukuran besar serta dua pengeras suara di sebelahnya.

Mata Putra langsung membulat ketika melihat salah satu barang yang menarik perhatiannya ada di sebelah televisi, “Wih! Ternyata lo punya PS5 juga, Lix! Main yuk lah,” ucapnya bersemangat.

“Heh, kerjain tugas Pak Budi dulu baru boleh main,” omel Haris. Ia kemudian bertanya kepada Felix di mana letak studio lukis milik kakaknya itu. Setelah meletakkan minuman untuk kedua temannya di meja, Felix segera menuju ke lantai atas untuk mengambil kanvas dan berbagai macam cat minyak serta kuas milik kakaknya. Sebelumnya ia sudah menelpon kakaknya untuk meminta izin meminjam cat minyak dan mengambil salah satu kanvasnya. Kakaknya pun membolehkan adiknya itu untuk menggunakan alat lukis miliknya dengan catatan harus dirapikan kembali setelah digunakan.

Felix kembali dari studio lukis kakaknya dengan membawa satu kanvas yang cukup besar dan berbagai macam cat minyak dan kuas di tangannya. Karena kesulitan membawa sendiri ia meminta bantuan kepada temannya. Haris dengan inisiatif langsung menyusul ke atas untuk membantu Felix. Ia kemudian membawa turun kanvas yang cukup besar itu sedangkan Felix membawa berbagai macam cat minyak dan kuas yang ditempatkan pada sebuah kotak besar.

“Butuh easel nggak?” tanya Felix kepada Haris.

Easel tuh apa?” tanya Haris karena ia tidak mengetahui istilah yang ada di dunia perlukisan itu.

Easel tuh stand kayu biar kanvasnya bisa berdiri,” jelasnya. Haris kemudian berpikir sejenak, “Nggak usah kali, ya? Nanti malah jadi susah soalnya kita kan mau ngelukis bertiga,” jawab Haris.

Felix mengangguk dan menutup lagi pintu studio kakaknya. Mereka berdua beranjak turun. Ternyata sudah ada Putra yang duduk dengan santai di sofa sambil memegang stik game. Ia tersenyum menunjukkan giginya ke arah Haris, “Main sekali aja, ya, Ris? Hehehe.”

Akhirnya, Haris, Putra, dan Felix mulai bermain game di PS5 milik Felix. Awalnya Putra berjanji jika hanya bermain satu ronde saja. Namun, ternyata mereka sudah menghabiskan waktu selama dua jam untuk bermain game. Haris yang awalnya tidak membolehkan Putra bermain game malah ikut terhanyut ke dalam permainan dan tidak sadar akan ucapannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status