Share

Talak Aku, Mas!
Talak Aku, Mas!
Penulis: Edka22

Aku Minta Uang!

Namaku Ayu lengkapnya Ayunindya. Aku seorang ibu rumah tangga berusia 28 tahun, aku memiliki satu orang anak perempuan bernama Nazma alfatunisa ia berusia 7 tahun dan seorang suami namanya Raka Rafanka 35 tahun.

Aku menikah dengan Mas Raka delapan tahun lalu. Ada satu hal yang membuat aku jatuh cinta padanya—perhatiannya—. Perhatian yang tidak pernah aku dapat dari sosok seorang ayah dan aku bisa menemukannya pada diri suamiku.

Awalnya rumah tanggaku berjalan dengan baik-baik saja. Bahkan setelah menikah perhatian Mas Raka semakin besar saja. Dia juga seorang pekerja keras, mandiri. Dan rajin ibadah itu menjadi nilai plus untuk suamiku.

Menginjak tiga tahun pernikahanku semuanya berubah. Kata-kata manis suamiku hilang berubah dengan kata-kata penuh racun. Janji -janji manisnya berubah menjadi janji penuh kepalsuan. Surga yang selalu ia janjikan justru neraka yang ia berikan.

Selama kurung waktu itu, ia berubah menjelma menjadi suami yang tidak aku kenali lagi. Dia berubah jadi seorang yang pemalas, tempramen dan jauh dari agama. Aku tidak tahu apa penyebab perubahan drastis suamiku ini.

Hari – hariku hanya penuh dengan air mata, penuh rasa sakit dan penuh dengan derita.

Dan ...

Inilah kisahku perjalanan berumah tangga penuh dengan perjuangan dan menguras air mata. Dan drama rumah tanggaku pun dimulai.

***

“Aku minta uang!”

Suara bariton itu terdengar tepat di telingaku. Mataku menatap sedih ke arah tangan yang terulur di depan wajahku.

Aku mengikuti ke arah tangan yang terulur itu hingga aku bisa melihat wajah tak berdosa milik suamiku –Mas Raka. Wajah yang tidak pernah terlihat tersenyum kepadaku. Wajah yang selalu terlihat masam padaku.

“Kenapa malah menatapku seperti itu? Aku minta uang!” tegasnya lagi dengan nada yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Aku mencoba untuk bersikap tak acuh. Aku sudah lelah dengan semua drama yang selalu ia lakukan. Di mana harga dirinya sebagai seorang suami? Apakah pantas seorang suami hanya berpangku tangan dan terus mengulurkan tangan meminta uang?

Sudah hampir lima tahun dia—suamiku—tidak pernah memberiku nafkah lahir. Selama Ini hanya aku yang kerja. Sebenarnya ini tidak layak disebut bekerja. Karena aku hanya mengandalkan hobiku untuk menulis online dan menjadi dropshiper berbagai barang. Ya, dari sana aku bisa berpenghasilan.

“Aku gak punya uang, Mas. Bukankah kemarin aku sudah memberimu uang?”

Mas Raka terlihat mengeraskan rahangnya. Aku tahu sekarang dia sedang marah.

“Uang darimu sudah habis. Lagian mana cukup uang dua ratus ribu. Kebutuhanku banyak,” terangnya dan aku rasanya ingin tertawa.

Kebutuhan? Kebutuhan apa? Bukankah semua kebutuhannya aku yang penuhi? Mulai dari rokok, pulsa, kuota dan kebutuhan kecil lainnya. Dan sekarang dia bilang banyak kebutuhan? Lucu sekali suamiku ini.

“Kebutuhan mana yang Mas maksud? Bukankah semua kebutuhan Mas sudah aku penuhi?”

“Kamu jadi istri pelit sekali! Kamu mau berbuat kurang ajar sama suami sendiri? Kualat nanti kamu.”

Ya Allah... perkataan Mas Raka sungguh sangat mengusik telingaku. Di sini seolah-olah akulah yang salah dan dirinya yang benar. Apa enggak ke balik? Bukankah dirinya yang sudah zalim kepadaku dan anakku Nazma?

Dia sudah lari dari tanggung jawab. Mana sosok suami yang akan selalu membahagiakan anak istrinya? Mana sosok suami yang akan selalu melindungi anak dan istrinya? Mana sosok suami yang menjadi teladan untuk anak dan istrinya? Tidak ada! Semua tidak ada padanya.

Bahkan terkadang aku merasa ingin menyerah! Aku sudah tidak sanggup aku merasa akan jadi gila. Namun... aku sadar diri, ini memang sudah jadi takdir hidupku mungkin ini memang yang terbaik untukku. Bersabar! Ya, mungkin bersabar yang harus aku perbanyak.

“Aku bukan pelit, Mas. Hanya saja masih banyak kebutuhan lainnya. Besok tanggal 17 jadwal bayar listrik sama air ledeng. Belum lagi jadwal setor motor Mas. Tolong ngertiin, Mas.”

“Alah alasan! Bilang saja tidak mau ngasih. So banyak alasan segala,” sentak Mas Raka tepat di samping telingaku.

Besarkan hatiku Ya Allah. Lagi -lagi Mas Raka melempar kesalahannya padaku. Seolah -olah aku memang istri yang pelit dan perhitungan.

“Harusnya Mas Sadar diri. Apa Mas tidak malu meminta uang padaku? Ingat Mas uang istri itu tetap uang istri. Beda halnya uang darimu Mas. Uang darimu ada hak untukku. Jika memang uang dariku kurang... Mas kerja. Supaya Mas punya uang sendiri dan tidak merasa kekurangan lagi,” aku berkata dengan emosi yang tertahan.

Sudah cukup aku diam. Sudah cukup aku terus tertindas oleh perlakuan suamiku sendiri. Aku hanyalah seorang wanita. Tenagaku kalah besar dengan tenaganya. Langkahku terbatas tidak selebar langkah seorang pria. Astaghfirullah.

“Kamu berani sama aku?” Marah Mas Raka bahkan wajahnya berubah memerah karena menahan amarahnya.

“Iya , Mas. Aku berani. Aku sudah capek Mas. Capek. Kamu sama sekali tidak ingin berubah. Bukannya semakin membaik. Ini? Kekakuan kamu semakin menjadi, Mas.” Aku terisak meluapkan semua kekesalan yang sejak lima tahun lalu aku tahan.

Aku masih menghargai Mas Raka sebagai suamiku. Semua perlakuan semena-mena dirinya aku berusaha untuk menahannya. Sekarang... tidak lagi! Aku tidak sudi menghormati suami macan itu.

“KAMU!” Mas Raka mengangkat tangannya dan menampar pipiku begitu keras.

Tamparan pertama setelah delapan tahun berumah tangga. Rasanya sakit! Sakit lahir dan batin.

Aku hanya bisa menangis terisak, seraya menahan rasa perih bercampur panas di pipiku. Tega! Dia tega!

“Ingat, ya. Aku sama sekali tidak menyukai sikapmu yang seperti ini. Jangan bersikap kurang ajar.” Telunjuknya terus saja menunjuk -nunjuk wajahku.

“Aku tidak peduli, Mas. Aku tidak peduli. Silakan jika kamu ingin menyakitiku. Lahir dan batinku sudah telanjur sakit olehmu. Aku tidak peduli lagi jika pun kamu ingin meninggalkan aku dan anakku,” teriakku namun terdengar begitu lirih.

“Kamu....!” Mas Raka kembali mengangkat tangannya hendak menamparku lagi namun tertahan di udara.

Aku mendongak sedikit membusungkan dada ingin menantang Mas Raka.

“Pukul lagi, Mas. Ayo pukul. Kenapa malah diam?” tantangku.

Mas Raka lalu menurunkan kembali tangannya yang tadi sempat akan dia tamparkan pada pipiku.

“DIAMLAH!” sentak Mas Raka padaku.

Sejurus kemudian Mas Raka pergi. Aku tidak tahu dia akan pergi ke mana. Namun baguslah dia pergi, setidaknya rasa muakku padanya perlahan hilang.

Jika mau dan jika bisa pergilah yang jauh dan jangan pernah kembali lagi ke sini. Aku pasrah mungkin ini memang jalan yang terbaik untuk rumah tanggaku ke depannya .

Selepas Mas Raka pergi, aku mencoba untuk untuk menetralisir keadaanku. Menata mood setidaknya bisa lebih tenang. Hari sudah siang sudah waktunya anakku Nazma pulang sekolah. Aku tidak ingin anakku melihat keadaan mamanya seperti ini. Terlihat menyedihkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status