Mobil brio merah yang dikemudikan dokter Yudi melaju kencang membelah aspal jalanan. Dari rumah makan Padang tempat Iza dan sang dokter makan malam tadi, menuju ke rumah Iza. Tidak ada alunan musik yang diputar dari MP3 player mobil. Hanya ada siaran radio tentang keadaan lalu lintas jalanan, dan berita aktual seputar Jawa Timur lainnya.
"Dokter Yudi banget ya, gak suka musik tapi malah dengerin berita." Iza membatin dalam hati. Sambil duduk canggung di kursi penumpang sebelah Yudi yang sedang menyetir mobillnya.
Sejak duduk dan memasuki mobil brio merah itu, baik Iza maupun Yudi hanya terdiam. Keduanya sibuk dengan permainan pikiran masing-masing, terlalu sungkan untuk memulai pembicaraan. Bingung memilih topik apa yang sekiranya bisa dibahas atau dibicarakan.
"Dokter Ceicillia mulai Senin depan sudah kembali bekerja." Dokter Yudi yang pertama memecahkan keheningan di antara mereka.
"Ehm, beliau sudah pulang ya dari umroh?" Iza balik bertanya memastikan. Baru sadar jika sudah hampir tiga Minggu dokter Ceicillia cuti dan digantikan oleh dokter Yudi.
"Sudah seminggu yang lalu."
"Ohh ..." Iza bingung harus bagaimana menanggapi berita itu. Entah harus senang atau sedih, karena dengan masuknya dokter Ceicillia artinya dokter Yudi tidak akan berjaga lagi di rumah sakit tempatnya bekerja.
"Besok adalah hari terakhir saya jaga." Yudi menegaskan apa yang ada di kepala Iza.
Iza kembali terdiam, tidak menanggapi ucapan Yudi. Besok dirinya mendapat jatah libur, yang berarti tidak akan hadir di rumah sakit. Entah mengapa ada rasa tidak rela di dadanya jika tidak bisa bertemu lagi dengan dokter sedingin kulkas itu.
'Apa nanti kami masih bisa ketemu lagi?'
Selama beberapa detakan waktu, Iza dan Yudi kembali diam membisu. Lebih memilih untuk tenggelam dalam permainan pikiran di kepala masing-masing. Hanya berita dari radio yang terdengar meramaikan suasana.
"Dokter Yudi setelah ini jaga di mana?" Iza memberanikan diri untuk bertanya. Daripada memupuk rasa penasaran yang akan membuatnya sulit tidur nanti malam.
"Saya?" Yudi sedikit melirik kepada gadis berhijab di sebelahnya dari kaca spion. "Saya masih bertugas di RSUD."
Iza menanggapi dengan anggukan kepala, dia sudah tahu bahwa dokter Yudi adalah dokter yang bertugas di RSUD sekaligus residen spesialis paru. Kemudian kembali terjadi kebungkaman yang membuat canggung untuk bertanya atau memulai pembicaraan lagi. Iza hanya sesekali menunjukkan arah yang harus mereka tempuh untuk bisa sampai ke rumahnya.
"Nanti saya turun di depan gang saja, Dok." Iza berkata kepada Yudi saat mobil brio merah yang mereka tumpangi sudah memasuki kawasan desanya.
"Kenapa tidak di depan rumah saja?" Yudi balik bertanya.
"Gang saya sempit, Dok." Iza mencari alasan. Padahal alasan sebenarnya dia tidak ingin menjadi bahan gosip tetangga. Karena diantarkan pulang oleh seseorang dengan membawa mobil.
Yudi diam saja tidak merespons jawaban Iza., merasa tidak enak untuk menurunkan seorang gadis di depan gang. Namun dokter muda itu juga tidak memprotes karena menghormati keputusan Iza.
"Nah itu gang rumah saya, Dok. Turunkan di situ saja." Iza menunjuk sebuah gang yang jaraknya hanya sekitar seratus meter dari tempat mereka saat ini.
"Terima kasih ya, Dok. Sudah dianterin pulang, masih ditraktir makan pula." Iza melepaskan sabuk pengaman saat mobil Brio merah itu berhenti di gang.
"Sama-sama." Yudi menjawab singkat. Namun kemudian dia kembali memanggil Iza yang sudah hendak membuka pintu mobil. "Eeehm, Mbak Iza ..."
"Iya, Dok?" Iza mengurungkan gerakannya untuk membuka pintu.
"Kalau saya masih butuh data tentang pasien TBC, boleh gak saya hubungi kamu?"
Kedua pupil mata Iza melebar demi mendengar ucapan sang dokter. Namun cepat-cepat dia mengatasi kekagetan dan memberikan jawaban. "Boleh, Dok."
"Terima kasih." Yudi menyunggingkan senyuman tipis yang sangat mahal. Saking jarangnya terlihat menghiasi wajahnya.
'Kirain dia mau nanya apa. Ternyata kembali lagi nanyain masalah kerjaan ... Udah deh, lebih baik jangan berharap lagi!' Iza membatin, entah mengapa sedikit kecewa dengan pertanyaan Yudi yang diluar harapan.
"Saya duluan dok," Iza kembali berpamitan dan melangkah keluar dari mobil. Mobil brio merah itu pun tak lama kemudian berlalu, berputar balik kembali melaju ke arah datangnya tadi.
"Cieeee, dianterin siapa tuh Mbak Iza?" sapa salah satu tetangganya yang kebetulan lewat di depan gang saat dirinya keluar dari mobil Yudi.
Iza hanya memberikan senyuman indah sebagai jawaban pertanyaan kepo itu. Merasa sial karena niatan tidak menjadi pusat pembicaraan emak-emak kampung ternyata gagal total. Iza berani bertaruh bahwa tetangganya itu pasti akan langsung menyebarkan gosip tentangnya dengan heboh kepada tetangga lain yang sedang nongkrong di pos kamling.
'Kayaknya apapun yang aku lakukan bakal jadi gosip hangat deh.' Iza berjalan cepat untuk kembali ke rumahnya sendiri.
***
"Za gimana hubungan kamu sama si Rio?" Sri bertanya kepada putrinya setelah sesi makan malam bersama keluarga mereka.
"Ya gak gimana-gimana." Iza menjawab kalem.
"Lho piye to?" Sang ibu merasa tidak puas.
"Setiap hari kita selalu bertukar kabar kok bu."
"Begitu saja? Gak ada acara keluar bareng?"
Iza hanya menggelengkan kepala sebagai jawban. Dan Sri kembali bertanya menyelidik, "Rio gak ngajakin? Atau kamunya gak mau?"
"Masa iya saya yang nolak?"
"Jadi si Rio yang gak jelas?"
"Mungkin RIo masih sibuk, Bu."
"Haduuuh, piye toh kalian berdua ini?" Sri yang merasa semakin gemas dengan putrinya yang terkesan tidak bersemangat dengan perjodohan yang sudah dengan susah payah dia canangkan.
Sekali lagi Iza tidak memberikan jawaban, kecuali sebuah senyuman canggung.
"Za, jujur sama ibu, kamu sudah punya pacar ya?"
"Kok Ibu bisa bertanya begitu? Ibu kan tahu sendiri Iza gak punya pacar." Iza mengerutkan kening demi mendengar pertanyaan ibunya yang terasa tiba-tiba.
"Lalu siapa itu yang bawa Brio merah?" Sri tidak puas dengan jawaban Iza. "Tadi sore kamu dianter mobil merah itu siapa? Sudah heboh lho yang ngomongin kamu punya pacar."
Iza akhirnya mengerti kemana arah pembicara ibunya. Pasti gosip tentang balada Brio Merah sudah menyebar di seluruh kampung, bahkan sudah sampai ke telinga ibunya sendiri. "Mobil brio merah yang tadi mengantarkan Iza itu dokter Yudi." Iza menjelaskan kepada ibunya. "Gak mungkin lah Iza punya pacar dokter, Bu. Apalagi dokter Yudi itu calon dokter spesialis."
"Beneran bukan pacarmu?"
"Bener, Bu."
Sri menghela napas lega mendengar jawaban Iza. Kemudian beliau lanjut berkata, "Mendingan kamu fokus sama si RIo saja yang sudah jelas. Nanti ibu akan coba ngomong sama ibunya RIo, biar anak itu yang ambil insiatif duluan karena kamunya pasif begini."
"Enggih." Iza mengiayakan saran dari ibunya.
"Semoga kalian berdua lekas berjodoh."
"Doakan yang terbaik saja, Bu." Iza meralat doa sang ibu.
"Yawes semoga sing apik-apik gawe kowe, Nduk." Sri menuruti koreksi dari putrinya.
"Amiiiin," Iza pun mengamini dari lubuk hati terdalam. Dia percaya doa seorang ibu untuk anaknya tidak akan pernah gagal untuk mengetuk pintu langit dan menciptakan keajaiban.
Sebuah mikrolet menepi dengan mulus di sebuah jalan pedesaan, kemudian berhenti selama beberapa menit untuk menunggu salah satu penumpangnya turun. Seorang gadis berjilbab yang mengenakan setelan seragam berwarna hijau dari sebuah rumah sakit swasta, tak lama kemudian turun dari mikrolet itu. Sebelum kendaraan umum beroda empat itu kembali melaju membelah aspal jalanan untuk mengantarkan penumpangnya yang lain. Gadis yang baru turun dari mikrolet itu adalah Iza, Oriza Sativa. Gadis itu berjalan perlahan dari arah jalan raya ke kompleks perumahan padat penduduk. Langkah kaki Iza terhenti tepat di depan gang rumahnya sendiri. Padahal hanya perlu sekitar lima puluhan meter lagi jarak yang harus ditepuhnya untuk sampai ke rumah dari posisinya saat ini. Namun Iza harus melewati cobaan berat menghadang. Kerumunan ibu-ibu kompleks sedang berkumpul di sebuah gardu siskamling "Huuuuuh ..." Iza menghela napas panjang untuk menguatkan hatinya sebelum melanjutkan langkah melewati kerumunan itu.
Butiran-butiran air turun dari langit malam yang gelap. Sebagian jatuh ke pepohonan yang menyambut dengan riang gembira, sebagian jatuh ke genting-genting yang menjadi bersih dari debu. Sebagian lainnya jatuh ke tanah atau berakhir di saluran pembuangan dan sungai.Iza mengamati tetesan air yang membentuk salur-salur tak beraturan di jendela kaca depan instalasi gawat darurat. Suasana yang dingin dan syahdu di malam hujan membuat waktu shift sore terasa lebih lama. Membuat Iza bersama Rani dan dokter Eka yang sedang berjaga di bagian gawat darurat rumah sakit Harapan Sehat menjadi bosan.Kesunyian malam itu dipecahkan oleh bunyi sebuah nada dering dari sebuah ponsel. Ketiga para medis itu pun kompak mencari-cari sumber suara yang ternyata berasal dari ponsel milik dokter Eka. Sang dokter pun segera mengangkat dan menerima panggilan di ponselnya."Aduh gimana ya, Mbak ... Jemputanku sudah datang nih di depan." Eka berkata dengan sungkan kepada Iza dan Rani beberapa saat kemudian, sete
Sang surya masih garang menebarkan sinarnya pada suatu sore. Menciptakan suasana panas yang bahkan mampu menembus tembok kubus kamar Iza. Kipas angin yang menempel di dinding kamar pun tak mampu menghadirkan udara sejuk. Malah meniupkan udarah panas yang terus diputar oleh baling-balingnya.Suasana gerah itu membuat gadis perawan pemilik kamar terbangun dari tidurnya dengan bermandikan keringat. Iza melirik jam dinding yang berbentuk micky mouse. Jarum jam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore."Wah nyenyak juga tidurku," Iza menguap dan menggeliatkan badan.Iza merasa kelelahan setelah berjaga maraton dari shift malam yang berlanjut ke Sift pagi di rumah sakit. Bayangkan saja, dia harus berjaga dan berkonsentrasi penuh mulai jam sembilan malam kemarin sampai dengan tadi siang jam dua. "Jangan tanya lagi gimana capek, jenuh dan ngantuknya ... Capek banget!" Iza menggumamkan gerutuan di bibirnya yang mungil.Sepulang dari rumah sakit tadi Iza langsung mandi dan membersihkan dir
Sekitar jam tujuh malam, tamu yang ditunggu akhirnya tiba di kediaman keluarga Iza. Para tamu itu sudah dipersilahkan untuk singgah di ruang tamu. Lek Soni bersama dengan istri dan seorang pria muda, yang pasti adalah Rio, anak laki-laki mereka.Yono, ayah Iza yang pertama menyambut mereka di ruang tamu. Untuk beramah tamah sebentar sebelum memanggil istri dan anaknya untuk bergabung bersama mereka."Bagaimana kabar semuanya? Sudah lama ya tidak pernah ketemu seperti ini? Wes pirang tahun Bu-ne? Sampai lupa kalau punya saudara jauh." Yono memulai ramah tamah."Iya ya, sudah lama sekali." Sri ikut menambahi ucapan sang suami. "Ini Mas Rio yang masih kecil dulu itu yah? Wah sudah gede dan ganteng sekarang.""Nggeh, Bu De." Rio menjawab canggung pujian dari Sri."Waktu ketemu dulu kan kalian masih kecil-kecil. Kalau begitu, sebaiknya kenalan lagi. Mas Rio, perkenalkan ini Iza anaknya Pak De." Yono memfokuskan perkenalan kepada kedua anak muda yang akan dijodohkan, Rio dan Iza. Karena ked
"Saya tidak keberatan dengan wacana untuk mempererat hubungan silaturahmi antara kedua keluarga ini. Akan tetapi Iza dan Rio kan baru saja berkenalan.""Jadi saya rasa akan lebih baik jika mereka bisa lebih saling mengenal, satu sama lainnya lebih baik lagi." Yono memberikan jawaban yang netral.Iza menghela napas lega mendengar ucapan sang ayah. Tidak seperti Sri, Yono memang lebih adem dan tidak pernah terang-terangan memaksa Iza untuk cepat-cepat menikah. Beliau lebih memahami bahwa urusan jodoh dan rejeki murni terletak di tangan Tuhan."Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksakan segala sesuatu semau kita. Biarkan anak-anak sendiri yang nanti membuat keputusan untuk kehidupan mereka. Karena semua akan berpengaruh pada masa depan mereka sendiri.""Saya percaya bahwa Iza dan Rio sudah sama-sama dewasa. Jadi mereka dapat mempertanggung jawabkan keputusan masing-masing." Yono menekankan ucapannya. Untuk memberi kebebasan sepenuhnya kepada Iza dan Rio."Benar sekali Mas Yono. Saya j
"Dokter Yudi itu idaman banyak wanita waktu jaman mahasiswa dulu, Mbak. Orangnya kan cool banget, selalu bikin penasaran siapa saja yang dekat dengannya." Ucapan dokter Eka terngiang di kepala Iza. Eka juga sedikit bercerita kepada Iza tentang Yudi yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kedua dokter itu memang belajar di kampus yang sama waktu masa pendidikan dokter. Selanjutnya tak perlu waktu bagi Iza untuk membuktikan kebenaran dari perkataan dokter Eka. Selama seminggu menggantikan shift jaga dokter Ceicillia, dokter Yudi tidak banyak bergaul dengan para perawat atau pegawai rumah sakit lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja, saat pelayanan pasien atau memberikan advice tindakan kepada para tenaga medis lainnya.'Dia benar-benar orang yang diam-diam menghanyutkan.' Iza membatin sambil menatap dari jauh sang dokter. Yudi yang sedang duduk di kursi dokter jaga. Dia berkutat dengan buku tebal tentang kedokteran yang selalu dibawanya dan dibaca saat ada waktu luang