Share

06. Pesona Sang Dokter

"Dokter Yudi itu idaman banyak wanita waktu jaman mahasiswa dulu, Mbak. Orangnya kan cool banget, selalu bikin penasaran siapa saja yang dekat dengannya." Ucapan dokter Eka terngiang di kepala Iza.

Eka juga sedikit bercerita kepada Iza tentang Yudi yang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun yang lalu. Kedua dokter itu memang belajar di kampus yang sama waktu masa pendidikan dokter. Selanjutnya tak perlu waktu bagi Iza untuk membuktikan kebenaran dari perkataan dokter Eka.

Selama seminggu menggantikan shift jaga dokter Ceicillia, dokter Yudi tidak banyak bergaul dengan para perawat atau pegawai rumah sakit lain. Dia hanya berbicara seperlunya saja, saat pelayanan pasien atau memberikan advice tindakan kepada para tenaga medis lainnya.

'Dia benar-benar orang yang diam-diam menghanyutkan.' Iza membatin sambil menatap dari jauh sang dokter. Yudi yang sedang duduk di kursi dokter jaga. Dia berkutat dengan buku tebal tentang kedokteran yang selalu dibawanya dan dibaca saat ada waktu luang.

'Jadi dokter spesialis itu memang susah ya? Hidupnya diwarnai dengan belajar dan belajar terus setiap hari?' Iza tersenyum sendiri melihat dahi Yudi yang sering berkerut saat membaca buku. Entah mengapa ekspresi dokter Yudi dapat menarik perhatian Iza.

"Hei-hei, jangan dilihatin terus babang dokter Yudi. Nanti bisa cuil dia lama-lama." Lia, seorang bidan yang kebetulan mendapatkan shift jaga siang bersama Iza berkata. Membuyarkan lamunan Iza tentang dokter Yudi.

"Eh? Apa sih Mbak Lia?" Iza mengelak, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah buku register di atas meja.

"Naksir ya? Emang keren sih dokter Yudi." Lia malah ikut memandang si cowok kulkas secara terang-terangan.

"Jangan kesemsem lho, inget suami di rumah." Iza mengingatkan ibu dua anak itu.

"Aman. Kalau lagi kerja begini kan statusku berubah jadi single happy." Lia tergelak geli, membela dirinya.

"Dasar!" Iza ikut tertawa bersama Lia. Memang pesona dokter Yudi bisa membuat wanita manapun teryudi-yudi.

"Tapi kayaknya cuma bisa dipandang dari jauh, Za. Tidak untuk dimiliki." Lia mengingatkan kepada rekannya, tidak ingin Iza benar-benar terbawa perasaan.

"Nah kalau itu setuju!" Iza menanggapi. Dia juga masih tahu diri untuk tidak bermimpi terlalu tinggi. Takut jatuh dan sakit sendiri nantinya.

Selanjutnya Iza dan Lia melewati jadwal jaga siang dengan damai. Tidak banyak pasien yang datang siang itu, namun pada akhir sesi, terjadi sesuatu yang tidak baik untuk kesehatan jantung. Dokter Yudi yang tiba-tiba datang menghampiri kedua perawat perempuan itu.

"Mbak, saya boleh bertanya?" Sang dokter bertanya kepada Iza dan Lia dengan nada formal.

"Boleh banget, Dok!" Lia menjawab dengan sangat bersemangat. Karena jarang sekali dokter Yudi mengajak ngobrol para perawat atau bidan. Sementara Iza lebih memilih diam karena penasaran dengan apa yanh kira-kira akan ditanyakan oleh Yudi.

"Pemegang program penyakit menular di rumah sakit ini siapa ya?" Yudi akhirnya mengutarakan pertanyaannya.

"Eeeeh?" balas kedua perawat hampir bersamaan.

Baik Iza maupun Lia merasa cegek dengan pertanyaan yang sangat tidak terduga itu. Pertanyaan yang memang sesuai dengan image dokter Yudi. Si dokter lempeng selempeng jalan tol.

"Yah misalnya pasien TBC (tuberkulosis) dan HIV AIDS. Siapa yang melaporkan ke dinas kesehatan?" Yudi melanjutkan bertanya dengan nada lebih serius.

"Saya, Dok." Iza yang akhirnya memberi jawaban. Kerena lebetulan dirinyalah yang memegang program penyakit menular di rumah sakit Hartanto Medika.

"Untuk kasus HIV AIDS masih jarang terjadi di sekitar sini, dan biasanya akan dirujuk ke rumah sakit jika ada. Namun untuk pasien TBC, bisa langsung dilayani di sini." Iza memberikan penjelasan.

"Kalau untuk pencarian suspek TBC, pemberian pot dahak dan tes laboratorium juga bisa lewat sini?" Yudi bertanya dengan semakin antusias.

"Bisa." Iza dan Lia saling berpandangan bingung dengan reaksi sang dokter.

"Jadi kalau ingin tahu data tentang pasien TB atau HIV AIDS di wilayah ini, dan yang sedang perawatan bisa minta ke kamu?" Kali ini Yudi memfokuskan pertanyaan kepada Iza.

"Iya." Iza menjawab dengan anggukan kepala.

Jawaban Iza dibalas dengan rekahan senyum yang indah oleh Yudi. Senyuman yang mampu membuat kedua wanita di hadapannya menjadi salah tingkah.

'Deg! Aduh tolong, jangan senyum kayak gitu, Dok ... Bisa meleleh.'

"Memangnya kenapa, Dok?" Iza bertanya setelah dapat mengendalikan perasaanya.

"Nggak, saya cuma butuh beberapa data untuk keperluan tugas residensi." Yudi menjelaskan alasannya bertanya. Untuk keperluan residensi paru yang sedang dia tempuh saat ini.

"Owalah." Kedua perawat itu akhirnya mengerti kenapa sang dokter dingin tiba-tiba menjadi hangat. Kebahagiaan mereka yang telah dilambungkan tinggi ke awang-awang sekaan dihempaskan lagi ke tanah.

'Buat keperluan sekolah spesialnya toh?'

***

Iza mengira bahwa interaksinya dengan dokter Yudi hanya akan terjadi di sore itu. Saat pria sang dokter bertanya tentang pasien-pasien TBC dan HIV AIDS. Betapa kagetnya Iza saat mereka kembali bertemu dalam shift jaga dan Yudi kembali mengajaknya untuk berbicara.

Kali ini Yudi meminta untuk ditunjukkan data pasien yang sedang melakukan perawatan TBC kepada Iza. Bahkan dia juga minta dijelaskan tentang prosedur penanganan dan mekanisme droping obat jatah dari dinas kesehatan. Serta tentang aplikasi pencatatan secara nasional yang sudah berbasis online. Tidak hanya sampai di sana, Yudi bahkan memberikan sebuah permintaan yang tak terduga kepada Iza.

"Mbak Iza, bisa tolong antarkan saya ke rumah pak Mustari?"

"Pak Mustari yang mana ya, Dok?" Iza balik bertanya kepada Yudi, sambil mengemasi barang-barangnya di atas meja. Persiapan pulang dan pergantian shift jaga siang.

"Pak Mustari, pasien dengan TBC Resistensi obat."

"Ooh yang itu ..." Iza mengangguk mengerti.

Gadis itu teringat bahwa Mustari adalah pasien TBC spesial yang tidak mempan dengan obat-obatan biasa. Sehingga harus memakai obat khusus yang diberikan kepadanya setiap satu Minggu sekali langsung ke rumahnya.

"Mbak Iza pulang naik apa?" Yudi kembali bartanya karena melihat Iza berkemas.

"Eh? Naik mikrolet, Dok." Iza sedikit kaget dengan pembicaraan Yudi yang tiba-tiba melenceng. Motor kesayangan Iza belum selesai diperbaiki di bengkel, sehingga Iza masih harus naik kendaraan umum setiap hari ke rumah sakit.

"Yaudah, nanti pulang sama saya saja ya. Sekalian mampir ke rumah Pak Mustari." Yudi berkata dengan enteng. Sementara Iza semakin terbengong bertukar pandang dengan perawat lain yang sama bingungnya.

"Yaudah, sampai nanti."

Sikap diam Iza sepertinya diartikan sebagai kata 'iya' oleh Yudi. Pria itu pun segera kembali ke ruangan dokter, mengambil buku dan barang-barangnya yang lain. Kemudian dia mengajak mengajak Iza pulang bersama, begitu jadwal jaga siang berakhir. Menggiring gadis itu masuk ke mobil Brio Satya berwarna merah.

Iza dengqb ditemani Yudi melakukan kunjungan rumah kepada pasien yang dimaksud. Iza juga membawakan jatah obat dan masker untuk pasien sebagai alibi kunjungan mendadak ini. Sementara Yudi sangat antusias dalam memeriksa dan mewawancarai pasien itu. Maklum saja kasus TB Resistens memang sangat jarang, dan bisa menjadi objek penelitian yang baik baginya.

"Terima kasih banyak ya, Mbak Iza." Ujar Yudi setelah mereka menyelesaikan kunjungan ke rumah pasien itu. Dan kini mereka telah kembali duduk berdua di dalam mobil Brio milik Yudi.

"Iya, Dok. Sama-sama." Iza menanggapi ucapan sang dokter. "Saya juga terima kasih karena dokter sudah bersedia memeriksa dan memberi edukasi kepada pasien dan keluarganya."

"Tidak masalah ..." Yudi menggantungkan kalimat sebelum lanjut berkata. "Tapi yang jadi masalah sekarang adalah perut kita yang lapar."

"Eeeeh?" Sekali lagi Iza dibuat kebingungan dengan arah pembicaraan Yudi yang sering berubah-ubah topik.

"Kalau begitu kita cari makan dulu. Sebelum saya antarkan kamu pulang." Yudi membalas dengan senyuman setipis kertas dari bibirnya.

"Aduh, gak usah Dok. Nanti ngerepotin." Iza merasa sungkan atas ajakan sang dokter.

"Anggap saja sebagai ucapan terima kasih, karena Mbak Iza sudah membantu dalam tugas residensi saya." Yudi bersikeras tanpa mengindahkan protes Iza.

Bahkan dokter muda itu telah membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan Padang yang mereka lewati di jalan.

"Ayo, turun. Kita makan yang banyak!" Yudi mendahului Iza turun dari mobil.

"I, iya Dok." Iza mau tidak mau ikut turun dari mobil. Dia mengikuti langkah Yudi memasuki rumah makan Padang untuk makan sore bersama.

'Yaampun Dokter Yudi, please jangan bikin saya baper begini.' Iza membatin dalam hati. Dia tahu dan sadar diri bahwa sang dokter adalah sosok yang tak terjangkau dan tidak mungkin untuk bisa dimiliki.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status