Setelah kejadian yang tak menyenangkan di taman pusat kota London, Adley segera bergegas pergi menuju parkiran mobil sambil tertatih-tatih. Dia terus merutuki dirinya yang ditimpa kemalangan bertubi-tubi. Ketika dia akan membuka pintu mobilnya, secara tak sengaja dia melihat Zee, sang informan yang sudah lama ia pekerjakan terlihat sedang duduk-duduk di pojokan taman dekat dengan parkir mobil. Tanpa basa-basi dan banyak kata, Adley langsung menghampiri Zee yang tengah menghisap serbuk berwarna putih melalui pipa bong bersama beberapa orang temannya.
"Hei, keparat!" ucap Adley yang tiba-tiba berdiri di hadapannya.
Zee yang melihat kedatangan Adley sangat terkejut dan ingin melarikan diri, namun malang berkata lain, Adley dengan mudah melumpuhkan Zee yang sedang berada di antara titik kenikmatan dunia dan surga. BeberPa temannya tak mengetahui identitas asli Adley dan ingin menghajar wanita cantik itu, namun setelah ia menunjukkan dengan sengaja Glock 45 GAP hitam miliknya yang terpasang di sisi sebelah kanan pinggangnya, mereka pun segera bergegas pergi meninggalkan Zee.
"M---Mam," ucap Zee takut.
"Keparat kau, Zee! Kau berani mempermainkanku, hah? Kau berikan aku informasi palsu mengenai keberadaan obat dan mafia itu! Kau mau cari mati denganku, hah!?" Adley mengencangkan kuncian pada pergelangan tangan Zee.
"Aarrgghhhhh ... a--ampun--ampun, Mam ... tapi sungguh, saya tidak berbohong. Memang gudang itu tempat para mafia menyimpan produksi mereka," terang Zee mengerang kesakitan.
"BOHONG!!" kesal Adley tambah mengencangkan kunciannya.
"Arrgghhhhh ...." Teriak Zee yang membuat beberapa orang melihat ke arah mereka berdua.
"Hey, apa kau baik-baik saja?" tanya seorang laki-laki setengah baya memperhatikan gelagat Zee dan Adley.
"We're fine!" sahut Adley memaksa tersenyum.
"DIAM ATAU KAU AKAN KUHAJAR HABIS-HABISAN!" ucap Adley dengan mata melotot dan senyum paksa.
"B--baik, Mam."
Laki-laki itu kemudian pergi dari hadapan mereka berdua dan Adley kemudian melepaskan kuncian di pergelangan tangan Zee serta menyiram dia dengan sebotol air mineral yang ada di sebelahnya.
"Sekarang katakan padaku, di mana obat-obatan itu disimpan?" tanya Adley mendudukkan Zee dengan paksa.
"Sudah berapa kali saya katakan, Mam ... gudang itulah tempat penyimpanan berbagai jenis obat-obatan terlarang. Saya lihat sendiri," terang Zee dengan mata cekung karena efek obat-obatan terlarang yang ia gunakan mulai menghilang.
Adley mengangkat kerah kaos Zee dan berkata, "Gara-gara ketololanmu aku yang menanggung akibatnya! Karirku dipertaruhkan! Apa kau tahu itu, bedebah kecil!?"
Zee hanya bergeming seraya menundukkan kepalanya, "Lalu, Anda ingin saya bagaimana, Mam?"
"Ternyata otakmu masih bisa kau gunakan untuk berpikir, hah?" seringai Adley.
Dia kemudian duduk di sebelah Zee yang basah karena siraman air mineral yang dilakukan oleh Adley dan berkata, "Cari informasi mengenai kepala mafia yang menyelundupkan obat-obatan terlarang di negara ini, dan satu hal lagi ... sekali informasimu salah soal ini, akan kucabik dan kukoyak tubuhmu hingga menjadi beberapa bagian! Paham?"
Zee mengangguk. Adley pun segera meninggalkan informannya itu dan berjalan menuju parkiran mobil. Tak lama, mobil sport warna putih buatan Jerman itu pun melaju dengan kencang di jalanan kota London yang agak lengang.
****
Kensington, Kediaman Lucas Castano de la Vega
Pintu gerbang warna hitam yang menjulang tinggi dan runcing telah menunggu kedatangan Adley. Melalui interkom, Adley menunjukkan identitasnya pada penjaga yang ada di balik pagar besar itu. Tak lama, pagar pun terbuka secara otomatis dan Adley dengan menarik napas dalam, mulai melajukan mobilnya pelan dan tepat di hadapannya, mansion megah berwarna putih siap dijejaki langkahnya.
"Finally, I come back again," ujar Adley melihat mansion mewah namun seperti pemakaman itu.
"Selamat datang, Nona Britta ... selamat datang kembali ke rumah," sebuah sapaan hangat dilontarkan oleh seorang pria paruh baya yang bernama Oswald dan merupakan kepala asisten rumah tangga di keluarga Castano de la Vega.
"Oh, Paman Oswald. Bagaimana kabarmu? Long time no see." Adley segera memeluk Oswald dan melepaskan senyuman manisnya.
"Saya baik-baik saja, Nona. Bagaimana kabar Nona? Sudah lama Nona Besar tak pulang ke rumah."
Adley hanya tersenyum tanpa membalas pertanyaan Oswald.
"Adley ...."
Suara seorang wanita dengan boots yang nyaring di lantai menghampiri Adley yang masih berdiri di pintu masuk rumahnya.
"Mama," ucap Adley ke arah Judith.
"Sayang, Mama rindu sekali denganmu. Bagaimana kabarmu?" peluk Mama langsung pada Adley.
"Adley juga rindu Mama. I'm good, Mom. How about you?"
"I'm good. Come, let's go inside. Papa sudah menunggu kamu," ujar Judith merangkul pundak Adley sambil terus tersenyum.
"Mmmmmm," jawab Adley singkat.
Di ruang keluarga, Lucas sang papa tengah menanti kedatangan burung kenari emasnya itu. Sambil menghisap cerutu khas Kuba, Lucas tampak asyik membaca beberapa surat kabar yang ada di mejanya.
"Sayang, Adley sudah datang," Judith menghampiri Lucas dan berdiri di hadapannya bersama dengan Adley.
"Pa," sapa Adley menatap sang papa yang masih membaca surat kabar.
"Sayanggggg ...," Judith menarik paksa surat kabar yang masih dipegang oleh Lucas.
"Aku sudah dengar dari langkah kakinya. Bagaimana kabarmu, Adley?" tanya Lucas dengan suara beratnya.
"Baik, Pa. Papa ..." terdiam sejenak, "Bagaimana kabar Papa?" lanjut Adley.
"Seperti yang kau lihat, Papa sangat sehat dan senang."
"Se--senang? Senang ...." Adley melihat ke arah sang mama seakan sedang memberikan kode.
"Kenapa? Kenapa ekspresimu begitu? Sini, duduk dekat Papa Adley," perintah Papa menunjukkan wajah bahagianya.
Adley tak banyak cakap, dia langsung menuruti kemauan sang papa dan duduk di sampingnya.
"Mama akan siapkan makan malam kesukaanmu ya, Sayang." Judith segera berlalu dan meninggalkan ayah dan putrinya tersebut.
"Ada apa, Pa? Kenapa Papa menyuruhku pulang?"
"Apa itu salah, Adley?"
"Tidak, Pa. Hanya saja sekarang bukanlah waktu yang tepat bagi Adley untuk pulang," terang Adley.
"Papa sudah mendengar apa yang terjadi dengan pekerjaanmu."
Adley membelalakkan matanya dan menatap ke arah sang papa.
"M--maksud Papa ...?"
"Bukankah sudah jelas, Adley ... dari awal Papa tidak setuju dengan keputusanmu! Tapi kau tetap memaksa, dan sekarang lihat apa yang terjadi!"
"Bukan seperti itu, Pa," ucap Adley meyakinkan sang papa.
"Lalu, mengapa Ignacio sampai bisa berkata seperti itu, hah?" Lucas semakin mempertajam kata-katanya.
"Itu ..." Adley bergeming. Dia tak mungkin mengatakan yang sesungguhnya meskipun kepad kedua orangtuanya.
"Adley, mengapa kau ingin menjadi kaki jika kau bisa menjadi kepala?" tanya Lucas sembari menatap tajam putrinya.
"Apa maksud Papa?"
"Kau tahu betul apa maksud Papa! Papa ingin kamu meneruskan perusahaan keluarg kita, Adley. Perusahaan yang telah membuat nama Castano de La Vega begitu terkenal dan mendunia."
"Tapi aku tak menginginkannya, Pa. Adley punya jalan Adley sendiri. Bukankah Papa sudah setuju dengan keputusan Adley?"
"Tadinya. Tapi sekarang tidak!" tegas Lucas berdiri dan membalikkan badannya membelakangi Adley.
"Adley tak 'kan menyerah, Pa! Adley akan tetap menjadi anggota interpol, suka atau tak suka! Dengan atau tanpa identitas Castano de La Vega!" Adley langsung meninggalkan kediaman mewah itu dan melangkah ke pintu keluar menuju mobilnya.
Di sisi lain, Judith yang melihat kejadian itu hanya merapatkan tangannya ke dada, menahan segala sesak, emosi, sedih karena jalan yang dipilih sang putri menimbulkan prahara dalam keluarga konglomerat itu.
Sementara itu, Lucas sang papa tampak tengah menghubungi seseorang secara diam-diam dan berkata, "Sudah saatnya. Berikan sesuatu yang menarik dari yang kita punya!" perintah Lucas pada salah satu anak buahnya dan langsung mematikan teleponnya.
Adley yang memarkir mobilnya di sebuah taman kota tengah Kota London, langsung menyelasar tempat itu dengan teliti. Suasana yang tak begitu ramai memudahkan netranya menemukan target yang ia cari. "Bingo, gotcha!" Ucapnya langsung melangkah cepat menghampiri kerumunan sekelompok remaja yang tengah bergumul dan menenggak bir lokal sambil bernyanyi-nyanyi. "Selamat malam, Tuan-tuan. Apa aku menggangu pesta kalian?" Tanya Adley tersenyum di hadapan para pemuda tanggung tersebut. "Hey, babe. Apa kau datang ke sini untuk memanaskan malam kami?" tanya salah seorang di antara mereka sambil tertawa lebar. "Anggap saja begitu, Tuan." Jawab Adley sembari mengamati ketujuh remaja itu. "Hei, teman-teman! Sepertinya malam ini akan menjadi malam 'panas'. Hottie ini akan menjadi tungku kita." Ucap remaja itu lagi tambah tertawa lebar. Di saat para remaja tanggung itu tertawa lebar, netra Adley langsung menangkap visual salah satu di antara mereka yang berusa
"Tuan Cleon!" Seorang wanita dengan dress one-shoulder hitam di atas lutut dan ketat serta anting-anting besar di kedua telinganya menyambangi Syden dan Cleon yang tengah minum di depan meja bartender. "Sst ... sst." Senggol Syden ke siku Cleon. "Benar, ternyata ini Anda! Tuan, bagaimana kabar Anda? Sudah lama sekali Anda tak datang ke sini." Wanita itu, Mady mengulas senyumnya lebar dan sesekali melirik Syden. "Hi, Nona. Siapa nama Anda?" tanya Syden tersenyum tipis sambil menatap genit Mady. "Madeleine. Panggil saja aku Mady, Tuan ...," "Syden. Itu namaku." "Syden? Bukankah Anda model terkenal itu, Anda yang sering berada di halaman depan majalah pria, Famous Magazine? Dan juga, anak seorang perancang tas ternama, Lilith Jude?" tanya Mady terkesiap. "Itu ..." Syden hanya tertawa sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal. "Mau apa kau kemari?" Cleon menyela mereka dengan nada dingin. "S-
Kring ... kring ... kring Ponsel dengan volume dering nyaring terdengar di salah satu kantong jaket jenis hoodie milik seorang pemuda plontos dengan piercing telinga sebelah kanan. Pemuda yang tengah asyik minum dengan beberapa orang teman wanitanya di sebuah kafe pinggir Kota London mengacuhkan panggilan yang datang dari seseorang yang paling ditakutinya. "Brengsek! Bajingan! Cari mati dia!" Adley yang tampak kesal langsung menuju parkiran Blue House dan membuka pintu mobil sport merahnya. Kring ... kring ... kring Kali ini giliran ponsel Adley yang berdering. "Rupanya masih mau hidup dia, hah!" ucap Adley membuka kunci password gawainya dan matanya terbelalak ketika tahu siapa yang sedang menghubunginya. Beberapa menit Adley mendiamkan panggilan itu. Kini dia membisukan ponselnya dan hanya menggetarkannya, wajah kesal Adley semakin bertambah dengan panggilan masuk yang baru saja datang ke ponselnya. 'Mau apa orang
Wanita itu merendahkan tubuhnya, mensejajarkan tingginya dengan duduk di seberang meja Daria."A-Anda ... Nona Teonna!" serunya.Adley hanya mengulas senyum ramah. "Apa kabar? Kau kenal aku?" tanya Adley sok jual mahal."Eh, itu ...," Daria tampak tersipu malu menundukkan kepalanya."Hahaha, tenang saja. Aku hanya bercanda. Tapi, dari mana kau tahu namaku dan bagaimana kau yakin jika aku adalah Teonna?""Hanya menebak."Teonna mengulas senyumnya. Dia melihat wanita muda nan cantik dengan wajah eksotis itu terkesiap. "Kau itu cantik, apa kau tahu?" seloroh Adley menatap Daria lekat.Tersipu malu dan terkejut, dia membalas, "Terima kasih, Anda juga terlihat sangat cantik bahkan layaknya anugerah dewi Athena.""Hahaha, Athena, ya ... bijak dan adil. Tapi sayangnya, aku tak sebijak dan seadil dia." Ucap Adley tersenyum lepas. "Oh, ya ngomong-ngomong Daria, dari mana asalmu kemarin?""Uzbekistan, Nona.""Ah, ya.
"Bagaimana jika kita mainkan permainan yang kau mainkan sebelumnya?" bisik Cleon di telinga Adley."A--apa maksudmu?" Adley terkesiap dan memandangnya."Apa kau pikir aku tak tahu, hah! Kau yang akan mendapatkan keuntungan jika aku bekerja sebagai CEO di perusahaan keluarga! Sementara aku bekerja, kau bisa bebas dan leluasa bertemu dengan saudaraku!"Adley hanya terdiam, 'Kupikir dia curiga akan apa,' gumam Adley menatap datar ke arah sang suami."Kenapa diam? Benar begitu, kan?" tanya Cleon lantang.Adley menyeringai. "Kenapa kau senyum seperti itu? Apa yang lucu, hah?""Sejak kapan kau mulai memperhatikan gerak-gerikku, suamiku? Apa kau ... cemburu?" seloroh Adley."Jangan gila! Kita menikah tanpa cinta, tanpa mengenal satu sama lainnya, dan kini kau bilang aku cemburu? Sinting kau!""Benarkah? Jika kau memang tak ada rasa cemburu, berarti aku bebas mau pergi ke mana dan dengan siapa. Sekarang ... lepaskan tanganmu!" pe
"Aku menikahi Lucas karena satu alasan!" "Apa?" "Balas dendam!" "Apa!?" **** 'Jangan kau kira bisa lari dariku, Lucas! Aku tahu apa yang sedang kau lakukan di belakangku! Kali ini, aku tak akan membiarkan hal itu menimpa pada putriku! Nyawa pun akan kuberikan demi melindunginya.' Kediaman Graciano Mini dress warna hitam nan seksi dipilih Adley sebagai 'pembuka' untuk menyambut kedatangan sang 'suami'. Eyeliner yang tajam ditambah riasan nude dan pemerah bibir yang sangat mencolok, membuat Adley menunjukkan sisi yang lain dari dirinya. Kecantikan yang paripurna! Begitulah kiranya yang bisa menggambarkan sosok Adley Britta Calla. "Hmm, seharusnya ini bisa membuat pria itu 'jatuh cinta' denganku. Tapi kenapa sulit sekali menaklukkan Gunung Kilimanjaro, huh." Tin ... tin ... tin .... Adley melihat jam dinding yang terpasang di kamar utama mereka, "Pukul delapan, it's time for show!" Ucapnya setelah selesai m
"Kita akan lakukan black conspiracy!" Senyum tipis di bibir atas Cleon terlihat samar namun ekspresi yang menyiratkan 'ada sesuatu' tampak dengan jelas tergambar di wajahnya. "Maaf, Pak. Tapi apa itu black konspirasi?" tanya salah satu dari mereka. Cleon hanya terdiam menanggapi pertanyaan salah satu pegawainya. Ia malah mengambil telepon yang ada di meja kerjanya dan menghubungi Stacy. "Stacy, ke ruanganku. Sekarang!" [Baik, Pak.] Tok ... tok ... "Masuk." "Pak, Anda memanggil saya?" tanya sang asisten pribadi, Stacy berdiri di antara pegawai lelaki yang dipanggil Cleon. "Kalian, keluarlah! Ada yang ingin kubicarakan dengan asisten baruku ini," titah Cleon melirik Stacy. "Baik, Pak." Kini hanya tinggal Stacy dan Cleon yang ada di ruangan itu. Cleon berdiri menghampiri Stacy, memutarinya dan berkata, "Aku memiliki sebuah misi untukmu!" "Misi? Misi apa, Pak?" tanya wanita itu de
"Apa kau mau menggantikan posisi suamimu di perusahaaan yang ia pegang saat ini? Dan buat seakan itu sebagai suatu 'kecelakaan'?" Sebuah pernyataan yang entah dari mana atau siapa yang mengatakannya pada Kael, hingga dia bisa berkata seperti itu. Adley yang telah keluar dari Blue House dan menuju parkiran. Dirinya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang mahasiswa hukum bisa mengatakan hal seperti itu! Jemari lentik nan panjang terawatnya mengetuk-ngetuk stir mobil yang semakin lama semakin kencang ketukannya, gemas juga cemas! Irisnya menyeloroh ke depan kaca mobilnya dan tiba-tiba, ia melihat Dangelo juga Amber keluar dari sebuah restoran yang berseberangan dengan Blue House. Dengan tawa lebar, sang wanita terus menggelayuti lengan Dangelo bagai lem kayu. Dan sang pria, tampak menikmati tawa lepas sang wanita. "Sudah kuduga! Mereka bukanlah klien 'biasa'! Siapa sebenarnya dua orang ini?" ucap Adley melihat keduanya bersiap akan meninggalkan tempat tersebut.
"Apa aku mengganggumu, Tuan Kael?" Suara bariton Dangelo membuat Kael terkejut dan segera merapikan pakaiannya. Dangelo hanya tersenyum satu garis menarik bibir atasnya melihat perbuatan Kael dengan salah satu 'kelinci putih' miliknya, Audrey. Dangelo melirik Audrey yang hanya mengenakan pakaian yang ada di bagian dalam tubuhnya dan terlihat kikuk di depan sang majikan. "Apa saya mengganggu Anda?" tanyanya sekali lagi. "Keluarlah, aku ada urusan." Perintah Kael seraya menepuk pelan bahu Audrey. Audrey dan Dangelo saling bertatap pandang, Dangelo mengangguk seakan memberi tanda padanya, "Ada apa, Tuan Dangelo? Kenapa Anda tiba-tiba datang ke sini tanpa memberitahu?" tanya Kael yang telah selesai berpakaian. "Jika saya memberitahu Anda, maka saya tak akan pernah tahu kelakuan seorang mahasiswa teladan universitas terkenal di negara ini dan juga seorang CEO dari tempat terkenal." Seloroh Dangelo dengan pandangan seakan memandang rendah Kael.