Kediaman Keluarga Castano de La Vega, Kensington, London
Rumah warna putih megah dengan arsitek gaya baroque dan taman seluas lapangan bola menghiasi kediaman keluarga Castano de La Vega, satu dari lima pebisnis yang paling berpengaruh tak hanya di Inggris tapi juga seluruh dunia dengan perusahaan pembiatan senjata apinya. Sang Kakek, Romero de La Vega merupakan mantan seorang prajurit era Perang Dunia 1 yang kemudian menjajal peruntungannya di dunia persenjataan. Bak durian runtuh, perusahaan yang awalnya hanya berupa sebuah rumah kecil bak gubuk reot kini menjelma menjadi perusahaan paling dicari dan menjadi partner banyak agen-agen pemerintah, tak terkecuali tempat di mana Adley bertugas. Kini, setelah sang kakek wafat, perusahaan tersebut telah diturunkan selama beberapa generasi dan saat ini, Lucas Castano de La Vega yang menjadi pucuk pimpinan perusahaan senjata api yang bernama 'AERO' tersebut.
Lucas tak lain dan tak bukan adalah ayah dari Adley Britta Calla, seorang CEO dan juga kolektor berbagai jenis senjata api, mulai dari yang kuno hingga paling mutakhir. Tak heran, jika di rumah yang lebih tepat dikatakan sebagai istana itu terdapat sebuah ruangan khusus untuk menyimpan berbagai koleksi pribadinya dan juga mendiang sang kakek buyut, Romero Castano de La Vega.
"Bagaimana dengan produksi senjata kita yang baru? Apa sudah sesuai dengan kualitas dan prosedur yang kita miliki?" tanya Lucas pada salah satu staff-nya melalui layar komputer besar yang ada di ruang belajarnya.
"Sudah, Tuan. Kami sudah memeriksa bahan-bahan yang akan kita pergunakan kali ini dan saya bisa jamin, bahan-bahan yang kita gunakan adalah bahan terbaik dari yang terbaik, Tuan," sahut salah satu staff tersebut.
"Hnnn, bagus ... bagus. Lanjutkan kerja kalian. Ingat! Klien kita saat ini adalah salah satu agen rahasia top dunia, jadi aku tak mau ada kesalahan, walau sekecil apapun! Paham?" tegas dan berat suara yang dikeluarkan pria berusia 55 tahun tersebut dan tak lama mengakhiri rapat jauhnya dengan para karyawannya.
Bukan tanpa alasan jika perusahaan senjata api milik keluarga De La Vega menjadi nomor satu tak hanya di dalam, tapi juga di luar negeri. Bahan baku yang terjamin mumpuni, kecerdasan Lucas dalam berkomunikasi dan negosiasi serta kesempatan yang selalu dapat ia gunakan sebaik mungkin membuat klan De La Vega semakin berkembang pesat, selain itu sikap dan sifat perfeksionis sang CEO menambah rentetan daftar panjang keberhasilan AERO.
Namun sayang, kini Lucas dihadapkan dengan dilemma yang cukup serius. Sang putri tercinta, Adley Britta Calla lebih memilih meninggalkan nama besar De La Vega dan tak ingin meneruskan perusahaan yang sekarang masih dipegang oleh sang ayah.
"Hah, Britta ..." ucap Lucas menarik napas panjang sambil memandangi foto lawas Adley semasa kecil dengan jari-jari tangan mengusap wajah jelita kenari emasnya itu.
Klik ....
Suara pintu ruangan belajarnya tiba-tiba dibuka oleh sang istri, Judith yang datang dengan ekspresi cemas dan menyematkan tanda tanya besar bagi Lucas.
"Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ..." Lukas segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Judith, sang istri yang tampak gundah gulana.
"Sayang, apa kita tak salah langkah telah memberikan Britta kesempatan untuk memilih jalan hidupnya sendiri?" tanya Judith menghela napas panjang.
"Maksudmu?"
Judith menatap sang suami dengan netra sendu, mengajaknya duduk dan menggenggam erat tangan Lucas seraya berkata, "Aku bertemu Beruang Tua hari ini ..."
"Lalu?" sahut Lucas dengan wajah tak menyenangkan.
"Dia memberitahuku jika Adley diminta untuk mundur dari pekerjaannya sekarang."
"Apa? Benarkah?" tanya Lucas terkejut.
Judith menganggukkan kepalanya.
Lucas bergeming, dia menatap sang istri lekat dan sedetik kemudian berkata, "Hubungi Adley, suruh dia kembali ke rumah."
"Sa--Sayang ..." Judith melepaskan genggaman tangannya dari Lukas.
"Kenapa? Bukankah ini berita yang sangat bagus? Dari awal aku memang tak setuju dia ikut menjadi anggota interpol! Kenapa dia harus bersusah payah ingin menjadi kaki jika dia bisa menjadi kepala?" sahut Lucas angkuh.
"Sayang, kau juga tahu bagaimana masa laluku dan apa diriku yang dulu! Kenapa kau bisa berkata seperti itu sekarang pada anakmu, putri kita? Apa kau tak berpikir bagaimana perasaannya ..."
"Perasaan? Jika aku memikirkan segala sesuatu dengan perasaan, maka audah hancur perusahaan milik klan De La Vega! Apa kau paham, Judith? Sekarang, aku ingin kau menghubungi Adley dan suruh dia pulang ke sini! Sekarang!" perintah Lucas tanpa bisa ditentang oleh Judith.
Judith hanya bisa mengepalkan tangan menahan kesal atas sikap egois sang suami. Dia lantas mengeluarkan ponsel dari dalam long dress warna coklatnya dan menghubungi Adley di depan Lucas.
****
Taman Kota London
Adley yang kini telah berpakaian sipil, tampak duduk di depan sebuah danau yang dihuni sekawanan angsa liar warna putih. Matanya menyeloroh melihat sekeliling tempatnya kini berada, netra coklat gelap itu terlihat tajam namun sendu. Sesekali, suara napas dengan tarikan panjang dan berat keluar dari wanita berparas cantik jelita itu. Adley kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi yang sedang ia duduki sekarang, kepalanya ia dongakkan dan dengan mata terpejam ia membiarkan terpaan mentari mengenai kulitnya yang sedikit putih kecoklatan.
Ting
Ting
Ting
Bunyi nada pesan masuk ke dalam ponselnya sangat jelas terdengar, namun dihiraukan olehnya dan sekali lagi, ia membenamkan dirinya ke dalam lamunannya.
Drrtzz ... drrtzz ....
Kali ini ponsel Adley berdering dengan cukup kencang. Mau tak mau, ia membuka matanya dan melenyapkan lamunannya. Tangannya merogoh ke dalam saku skinny jeans warna putih yang dikenakannya, matanya terbuka lebar ketika Adley melihat nama 'Judith' sang mama sedang menghubunginya.
"Iya, Ma."
[Adley, bagaimana kabarmu?]
"Baik, Ma. Bagaimana kabar Mama?"
[I"m good. Mama dan Papa sangat merindukanmu. Apa kita bisa makan malam bersama malam ini?]
Adley bergeming, ia memang sudah lama tak bertemu dengan kedua orangtuanya setelah menjadi anggota satuan polisi khusus dan menyembunyikan identitasnya.
"Aku ..."
[Tak ada penolakan!]
Adley terkejut! Suara sang papa sangat jelas ia dengar di balik telinganya. Suara seseorang yang tak dapat ia tolak segala perintahnya.
"P--Pa--Papa,"
[Papa ingin kau pulang sekarang! Ada hal yang harus kita bicarakan!]
Lucas langsung mematikan ponsel yang sedang Adley terima. Dia tak heran dengan sikap arogan sang papa, namun ia juga tak bisa menolak semua perintah dan keinginan sang papa yang terkadang membuat Adley muak!
"SIAL ... SIAL ... SIAL!!! SIAL BETUL HIDUPKU DILAHIRKAN DALAM KLAN DE LA VEGA!!" geram Adley segera bangun dari duduknya dan menuju mobilnya.
BRUK!!
"Ouch ...,"
Adley membalikkan tubuhnya dan menegur seorang pria yang telah menabraknya namun tak meminta maaf padanya. Pria dengan setelan jas warna hitam dan jam tangan mewah warna kuning keemasan keluaran brand ternama itu terus berjalan santai menjauhi Adley. Tanpa pikir panjang, mood Adley yang telah rusak sepanjang hari itu menambah rentetan kejadian tak menyenangkan yang harus ia alami.
"Sorry, Sir." Adley menegur pria itu dengan sopan.
"Ya, ada apa?" netra biru laut meneduhkan bertemu dengan netra coklat gelap milik Adley.
"Apa Anda tak pernah diajarkan sopan santun?" tanya Adley ketus.
"Mak--sud Anda?" tanya pria itu tersenyum.
"Anda sudah menabrak saya dan seenaknya pergi begitu saja! Anda punya etika atau tidak?" sedikit emosi Adley.
"Wo ... wo ... wo Nona, tunggu sebentar. Kenapa Anda marah-marah ya? Saya tidak mengenal Anda tapi Anda tahu-tahu marah pada saya. Dengar, Nona cantik, saya bisa melaporkan sikap dan perbuatan yang tak menyenangkan yang Anda lakukan pada saya," ucap pria itu yang menyentuh dada Adley dengan jari telunjuknya.
Terkejut dengan sikap pria itu, Adley kemudian mengunci pergelangan tangan pria itu dan memelintir lengan kanannya hingga ia tersungkur ke tanah.
"Hei, apa yang kau lakukan, wanita gila!" teriak pria itu mengerang kesakitan.
"Sekarang Anda yang bisa saya laporkan atas perbuatan tak senonoh Anda pada saya," sahut Adley masih mengunci lengan pria itu.
Beberapa orang kemudian datang menghampiri Adley dan sang pria menawan itu. Tak ada yang berani melerai, hanya melihat dan berbisik-bisik dengan yang lain. Tak lama kemudian, tiga orang berbadan tegap berpakaian serba hitam datang menghampiri keduanya dan langsung menyeret Adley dengan kasar hingga tersungkur ke tanah.
"Tuan, Anda tak apa-apa?" tanya salah seorang diantara mereka.
"Kenapa kalian lama sekali, hah! Dasar bodoh!" umpat pria itu dengan bisik-bisik dan menarik baju salah satunya.
Setelah dibangunkan oleh ketiga pria berbadan tegap tadi, pria misterius itu kemudian mendatangi Adley yang masih tersungkur di tanah dengan beberapa luka di wajah serta celananya yang sobek di bagian lutut.
"Nona, apa Anda ingin menjadi pahlawan kesiangan, hah? Apa Anda tahu yang sudah Anda lakukan benar-benar membuat saya malu! Saya tak kenal Anda, tapi tiba-tiba Anda melakukan kekerasan pada saya." Sang pria kemudian jongkok menyeringai dan netra mereka berdua kembali saling bertemu.
"Apa Anda tahu siapa saya?" sambung pria itu.
Adley bergeming dan menatap tajam ke arah sang pria.
"Hah, sudahlah! Lagipula, kenapa juga saya harus membuang waktu berbicara dengan wanita gila dan aneh macam Anda!" pria itu dan beberapa orang berbadan tegap meninggalkan Adley dan sekilas, sang pria membalikkan badannya menatap Adley seraya mendengar bisikan dari salah satu pengawalnya. Senyum seringai pun dilontarkan pria itu tatkala melihat Adley masih bersimpuh akibat perbuatan kasar para pengawal pria misterius itu sambil menganggukkan kepalanya.
Adley yang memarkir mobilnya di sebuah taman kota tengah Kota London, langsung menyelasar tempat itu dengan teliti. Suasana yang tak begitu ramai memudahkan netranya menemukan target yang ia cari. "Bingo, gotcha!" Ucapnya langsung melangkah cepat menghampiri kerumunan sekelompok remaja yang tengah bergumul dan menenggak bir lokal sambil bernyanyi-nyanyi. "Selamat malam, Tuan-tuan. Apa aku menggangu pesta kalian?" Tanya Adley tersenyum di hadapan para pemuda tanggung tersebut. "Hey, babe. Apa kau datang ke sini untuk memanaskan malam kami?" tanya salah seorang di antara mereka sambil tertawa lebar. "Anggap saja begitu, Tuan." Jawab Adley sembari mengamati ketujuh remaja itu. "Hei, teman-teman! Sepertinya malam ini akan menjadi malam 'panas'. Hottie ini akan menjadi tungku kita." Ucap remaja itu lagi tambah tertawa lebar. Di saat para remaja tanggung itu tertawa lebar, netra Adley langsung menangkap visual salah satu di antara mereka yang berusa
"Tuan Cleon!" Seorang wanita dengan dress one-shoulder hitam di atas lutut dan ketat serta anting-anting besar di kedua telinganya menyambangi Syden dan Cleon yang tengah minum di depan meja bartender. "Sst ... sst." Senggol Syden ke siku Cleon. "Benar, ternyata ini Anda! Tuan, bagaimana kabar Anda? Sudah lama sekali Anda tak datang ke sini." Wanita itu, Mady mengulas senyumnya lebar dan sesekali melirik Syden. "Hi, Nona. Siapa nama Anda?" tanya Syden tersenyum tipis sambil menatap genit Mady. "Madeleine. Panggil saja aku Mady, Tuan ...," "Syden. Itu namaku." "Syden? Bukankah Anda model terkenal itu, Anda yang sering berada di halaman depan majalah pria, Famous Magazine? Dan juga, anak seorang perancang tas ternama, Lilith Jude?" tanya Mady terkesiap. "Itu ..." Syden hanya tertawa sembari menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal. "Mau apa kau kemari?" Cleon menyela mereka dengan nada dingin. "S-
Kring ... kring ... kring Ponsel dengan volume dering nyaring terdengar di salah satu kantong jaket jenis hoodie milik seorang pemuda plontos dengan piercing telinga sebelah kanan. Pemuda yang tengah asyik minum dengan beberapa orang teman wanitanya di sebuah kafe pinggir Kota London mengacuhkan panggilan yang datang dari seseorang yang paling ditakutinya. "Brengsek! Bajingan! Cari mati dia!" Adley yang tampak kesal langsung menuju parkiran Blue House dan membuka pintu mobil sport merahnya. Kring ... kring ... kring Kali ini giliran ponsel Adley yang berdering. "Rupanya masih mau hidup dia, hah!" ucap Adley membuka kunci password gawainya dan matanya terbelalak ketika tahu siapa yang sedang menghubunginya. Beberapa menit Adley mendiamkan panggilan itu. Kini dia membisukan ponselnya dan hanya menggetarkannya, wajah kesal Adley semakin bertambah dengan panggilan masuk yang baru saja datang ke ponselnya. 'Mau apa orang
Wanita itu merendahkan tubuhnya, mensejajarkan tingginya dengan duduk di seberang meja Daria."A-Anda ... Nona Teonna!" serunya.Adley hanya mengulas senyum ramah. "Apa kabar? Kau kenal aku?" tanya Adley sok jual mahal."Eh, itu ...," Daria tampak tersipu malu menundukkan kepalanya."Hahaha, tenang saja. Aku hanya bercanda. Tapi, dari mana kau tahu namaku dan bagaimana kau yakin jika aku adalah Teonna?""Hanya menebak."Teonna mengulas senyumnya. Dia melihat wanita muda nan cantik dengan wajah eksotis itu terkesiap. "Kau itu cantik, apa kau tahu?" seloroh Adley menatap Daria lekat.Tersipu malu dan terkejut, dia membalas, "Terima kasih, Anda juga terlihat sangat cantik bahkan layaknya anugerah dewi Athena.""Hahaha, Athena, ya ... bijak dan adil. Tapi sayangnya, aku tak sebijak dan seadil dia." Ucap Adley tersenyum lepas. "Oh, ya ngomong-ngomong Daria, dari mana asalmu kemarin?""Uzbekistan, Nona.""Ah, ya.
"Bagaimana jika kita mainkan permainan yang kau mainkan sebelumnya?" bisik Cleon di telinga Adley."A--apa maksudmu?" Adley terkesiap dan memandangnya."Apa kau pikir aku tak tahu, hah! Kau yang akan mendapatkan keuntungan jika aku bekerja sebagai CEO di perusahaan keluarga! Sementara aku bekerja, kau bisa bebas dan leluasa bertemu dengan saudaraku!"Adley hanya terdiam, 'Kupikir dia curiga akan apa,' gumam Adley menatap datar ke arah sang suami."Kenapa diam? Benar begitu, kan?" tanya Cleon lantang.Adley menyeringai. "Kenapa kau senyum seperti itu? Apa yang lucu, hah?""Sejak kapan kau mulai memperhatikan gerak-gerikku, suamiku? Apa kau ... cemburu?" seloroh Adley."Jangan gila! Kita menikah tanpa cinta, tanpa mengenal satu sama lainnya, dan kini kau bilang aku cemburu? Sinting kau!""Benarkah? Jika kau memang tak ada rasa cemburu, berarti aku bebas mau pergi ke mana dan dengan siapa. Sekarang ... lepaskan tanganmu!" pe
"Aku menikahi Lucas karena satu alasan!" "Apa?" "Balas dendam!" "Apa!?" **** 'Jangan kau kira bisa lari dariku, Lucas! Aku tahu apa yang sedang kau lakukan di belakangku! Kali ini, aku tak akan membiarkan hal itu menimpa pada putriku! Nyawa pun akan kuberikan demi melindunginya.' Kediaman Graciano Mini dress warna hitam nan seksi dipilih Adley sebagai 'pembuka' untuk menyambut kedatangan sang 'suami'. Eyeliner yang tajam ditambah riasan nude dan pemerah bibir yang sangat mencolok, membuat Adley menunjukkan sisi yang lain dari dirinya. Kecantikan yang paripurna! Begitulah kiranya yang bisa menggambarkan sosok Adley Britta Calla. "Hmm, seharusnya ini bisa membuat pria itu 'jatuh cinta' denganku. Tapi kenapa sulit sekali menaklukkan Gunung Kilimanjaro, huh." Tin ... tin ... tin .... Adley melihat jam dinding yang terpasang di kamar utama mereka, "Pukul delapan, it's time for show!" Ucapnya setelah selesai m
"Kita akan lakukan black conspiracy!" Senyum tipis di bibir atas Cleon terlihat samar namun ekspresi yang menyiratkan 'ada sesuatu' tampak dengan jelas tergambar di wajahnya. "Maaf, Pak. Tapi apa itu black konspirasi?" tanya salah satu dari mereka. Cleon hanya terdiam menanggapi pertanyaan salah satu pegawainya. Ia malah mengambil telepon yang ada di meja kerjanya dan menghubungi Stacy. "Stacy, ke ruanganku. Sekarang!" [Baik, Pak.] Tok ... tok ... "Masuk." "Pak, Anda memanggil saya?" tanya sang asisten pribadi, Stacy berdiri di antara pegawai lelaki yang dipanggil Cleon. "Kalian, keluarlah! Ada yang ingin kubicarakan dengan asisten baruku ini," titah Cleon melirik Stacy. "Baik, Pak." Kini hanya tinggal Stacy dan Cleon yang ada di ruangan itu. Cleon berdiri menghampiri Stacy, memutarinya dan berkata, "Aku memiliki sebuah misi untukmu!" "Misi? Misi apa, Pak?" tanya wanita itu de
"Apa kau mau menggantikan posisi suamimu di perusahaaan yang ia pegang saat ini? Dan buat seakan itu sebagai suatu 'kecelakaan'?" Sebuah pernyataan yang entah dari mana atau siapa yang mengatakannya pada Kael, hingga dia bisa berkata seperti itu. Adley yang telah keluar dari Blue House dan menuju parkiran. Dirinya tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang mahasiswa hukum bisa mengatakan hal seperti itu! Jemari lentik nan panjang terawatnya mengetuk-ngetuk stir mobil yang semakin lama semakin kencang ketukannya, gemas juga cemas! Irisnya menyeloroh ke depan kaca mobilnya dan tiba-tiba, ia melihat Dangelo juga Amber keluar dari sebuah restoran yang berseberangan dengan Blue House. Dengan tawa lebar, sang wanita terus menggelayuti lengan Dangelo bagai lem kayu. Dan sang pria, tampak menikmati tawa lepas sang wanita. "Sudah kuduga! Mereka bukanlah klien 'biasa'! Siapa sebenarnya dua orang ini?" ucap Adley melihat keduanya bersiap akan meninggalkan tempat tersebut.
"Apa aku mengganggumu, Tuan Kael?" Suara bariton Dangelo membuat Kael terkejut dan segera merapikan pakaiannya. Dangelo hanya tersenyum satu garis menarik bibir atasnya melihat perbuatan Kael dengan salah satu 'kelinci putih' miliknya, Audrey. Dangelo melirik Audrey yang hanya mengenakan pakaian yang ada di bagian dalam tubuhnya dan terlihat kikuk di depan sang majikan. "Apa saya mengganggu Anda?" tanyanya sekali lagi. "Keluarlah, aku ada urusan." Perintah Kael seraya menepuk pelan bahu Audrey. Audrey dan Dangelo saling bertatap pandang, Dangelo mengangguk seakan memberi tanda padanya, "Ada apa, Tuan Dangelo? Kenapa Anda tiba-tiba datang ke sini tanpa memberitahu?" tanya Kael yang telah selesai berpakaian. "Jika saya memberitahu Anda, maka saya tak akan pernah tahu kelakuan seorang mahasiswa teladan universitas terkenal di negara ini dan juga seorang CEO dari tempat terkenal." Seloroh Dangelo dengan pandangan seakan memandang rendah Kael.