Share

Tarian Persembahan Sang Ratu
Tarian Persembahan Sang Ratu
Penulis: Rosa Rasyidin

Sang Penari

Bagian 1

Sang Penari

Hutan Lembah Hitam yang telah berumur ribuan tahun tersebut telah menjadi saksi bisu banyak ritual sesat di dalamnya. Salah satunya yang akan digelar malam itu. Malam di mana bulan purnama sedang bersinar dengan angkuhnya. Gusti Prabu Atma Prabangkara tengah menanti kedatangan seorang penari yang akan melengkapi ritual panjang umurnya.

Lelaki yang menjadi raja di Kerajaan Giri Dwipa tersebut telah berusia melewati 100 tahun, hanya ia sendiri yang tahu pasti berapa usianya. Meski demikian Gusti Prabu Atma Prabangkara tetap terlihat awet muda dan gagah. Kini, ritual kesekian kalinya digelar, seorang penyihir telah menanti, beserta gamelan dan alat musik lainnya. Tak luput pula sebuah persembahan yang akan membuat umur dan kesaktian sang prabu semakin bertambah panjang.

Gendang ditabuhkan, sang penyihir mengangkat kedua tangannya. Ia memuja ke arah bulan purnama, gamelan pun tak luput dibunyikan. Sang prabu memperhatikan dari singgasananya sembari menarik napas panjang. Sudah menjadi tradisi penari yang akan berlenggak-lenggok di depannya akan ia jadikan permaisuri berikutnya. Menggantikan istrinya yang sudah tua terlebih dahulu dan mati.

Hentak irama gamelan dan gending semakin naik, lalu muncul seorang penari perempuan mengenakan kemben dan kain panjang sampai ke mata kaki dan belahan tinggi sampai ke betis. Hiasan di kepalanya berasal dari rangkaian bulu merpati yang disususun rapi. Tak lupa pula melati disematkan di atas kepala. Sang penari mulai bergerak. Awalnya gerakan tangan dan kakinya masih lemah lembut sesuai dengan alunan gending yang terdengar.

Penari tersebut menghaturkan hormat pada sang prabu. Perempuan itu tersenyum, bibirnya yang masih ranum merekah hingga membuat penguasa di depannya tak dapat mengatur degup jantungnya. Penari yang memiliki lekuk tubuh amat sempurna, melenggak-lenggokkan pinggulnya dengan perlahan hingga akhirnya ia bersujud di hadapan sang prabu.

Gustri Prabu Atma Prabangkara memintanya bangkit, kemudian penari itu melemparkan senyum kembali, tak lupa pula mengalungkan selendangnya ke leher sang penguasa. Lelaki mana yang tak akan tergoda dengan gerakan sedemikian rupa?

“Selesai ritual pemujaan ini, siapkan dia langsung di kamarku. Aku tak peduli, persetan dengan semua upacara penobatan. Aku ingin dia malam ini juga,” ujar sang prabu pada patihnya. Tangan itu saling meremas jemari melihat gerakan indah sang penari yang ia belum ketahui namanya. Hatinya sudah tak tahan ingin segera bersama dalam lautan asmara. Sang prabu hanya memiliki satu permaisuri, tapi gundiknya juga tak terhitung jumlahnya. Semua perempuan dalam istana telah menjadi miliknya. Sesuka hati ia gunakan kapan pun ia mau. Sang prabu sesuka hati membawa wanita mana pun ke atas ranjangnya. Tak ada yang berani membantah. Sebab ia kejam dan bengis. Bahkan tumbal malam itu pun merupakan bayi laki-laki tak berdosa, tak hanya satu.

“Baik, Gusti Prabu. Setelah itu penobatan permaisuri akan tetap dilakukan. Kau dan dia seperti biasa akan menjadi sepasang kekasih seperti sebelumnya,” balas Patih Aditya pada tuannya.

“Aku sudah tak sabar memanaskan ranjangku bersamanya. Gadis muda, usianya pasti masih belasan.” Sang prabu tertawa, ia tak menghiraukan tatapan para iblis di Hutan Lembah Hitam padanya. Lagi pula mereka sama kejamnya.

Tak lama kemudian, satu entakan kaki dari sang penyihir naik menjadi lebih tinggi. Penari tersebut melempar selendangnya tepat di wajah sang prabu. Lelaki itu menyambut dan mencium wangi kain tersebut sambil memejamkan mata, membayangkan perempuan muda itu sudah jatuh ke dalam pelukannya.

Lima orang penari di bawah perintah sang penyihir masuk mengelilingi penari perempuan tersebut. Genderang semakin ditabuhkan, tengah malam sebentar lagi akan bertakhta. Sang prabu akan semakin berumur panjang. Penari tersebut melakukan gerakan tarian yang lebih keras dan tegas. Kemudian ia mengambil tombak yang telah disediakan. Melakukan gerakan memutar, serupa menghadapi musuh di medan perang. Alunan gendang pun semakin ramai dan riuh terdengar.

Satu kali penari perempuan itu melakukan kesalahan gerakan, tapi tidak ada yang menyadarinya. Ritual tetap dilanjutkan seperti biasanya. Kedua kalinya kesalahan dilakukan lagi, penari tersebut gugup, karena sayup-sayup ia dengar suara tangis bayi di telinganya. Ia tidak pernah diberi tahu menari untuk apa. Yang ia tahu hanya menerima bayaran dan setelah itu akan diboyong ke istana sebagai pemuas sang prabu. Ketiga kalinya, gerakan kakinya salah. Namun, dengan cepat penari tersebut menutupi kesalahannnya. Ia tetap berputar-putar dengan tombaknya, seumpama menghalau musuh yang hendak membunuh sang prabu.

Gusti Prabu Atma Prabangkara bertepuk tangan ketika melihat penari tersebut bergerak dengan lincahnya. Lalu satu pukulan gendang dari sang penyihir menandakan tarian persembahan tersebut telah berakhir. Sang penari bersujud, keningnya ia letakkan di tanah. Begitu pula dengan penari dan pemusik lainnya. Sang penyihir membaca mantera dengan suara lantangnya. Gusti prabu sudah paham apa langkah selanjutnya. Ia berjalan lalu berdiri tepat di depan penari perempuan tersebut sujud. Semuanya menanti dengan harap-harap cemas, termasuk Patih Aditya.

Peti yang sedari tadi berada di tengah-tengah ritual terbuka. Tangan sang penyihir bergerak memainkan tongkatnya. Lalu tiga orang bayi laki-laki terangkat dengan sendirinya dari sana. Penari perempuan tersebut berdegup kencang jatungnya bukan main. Teringat dia dengan adik laki-lakinya yang belum lama lahir.

‘Kenapa aku harus terjebak dalam ritual keji ini,’ ucap penari tersebut dalam hatinya.

“Lakukanlah. Aku sudah siap.” Gusti Prabu Atma Pranbangkara membuka kedua tangannya. Kemudian sang penyihir mengambil belati dari pinggangnya. Ia tusuk punggung bayi itu tanpa ampun. Pecah sudah tangis di dalam hutan tersebut. Darah tersebut digunakan sang prabu untuk mandi dan membasuh seluruh tubuhnya, sampai bayi laki-laki tanpa dosa tersebut tewas tanpa tahu apa kesalahannya.

“Kau akan berumur amat panjang, Gusti Prabu. Jangan lupa ulangi lagi ritual ini 12 purnama kemudian. Dengan bayi laki-laki sehat dan darah yang terjaga. Kau tak akan mati dan sakti sampai kapan pun,” ujar sang penyihir. Kaki tangan iblis itu kemudian menghilang, masuk ke dalam Hutan Lembah Hitam bersama lima penari bawahannya.

Bayi laki-laki tersebut jatuh di kaki sang prabu. Penari perempuan itu melirik sekilas, pucat wajahnya, kemudian ia pun jatuh tak sadarkan diri.

“Patih Aditya, kau urus semua ini. Aku ingin pulang dan bersama dengannya. Wajahnya halus sekali. Dia pasti merawat dirinya sejak kecil. Siapa namanya?” tanya sang prabu pada wakilnya.

“Arunika Baiduri, Gusti Prabu. Dia berasal dari pulau seberang. Penari terbaik yang dibesarkan dengan sopan santun, tata krama juga terjaga kesuciannya. Aku sudah membelinya dengan harga yang mahal. Dia pasti bisa melayanimu malam ini, Gusti Prabu.”

“Baguslah kalau begitu. Aku tak pernah bisa kekurangan satu wanita walau satu malam pun.” Sang prabu mengangkat tubuh Arunika yang tak sadarkan diri, lalu masuk ke dalam kereta kencananya. Kendaraan itu berjalan sesuai titah sang penguasa. Terus membelah hutan bersama beberapa pengawal terpilih, hingga sampai ke Kerajaan Giri Dwipa. Tak sabar sang prabu ingin mencicipi gadis dalam pangkuannya. Namun, saat Arunika telah dipersiapkan dengan sutra dan bunga-bunga harum merekah dan sang prabu juga sudah membersihkan dirinya, sesuatu yang tak pernah diperhitungkan terjadi.

***

Enam orang rombongan ulama muda dari Kerajaan Samudra Pasai sedang beristirahat di tepi sungai. Sungai yang merupakan terusan dari Hutan Lembah Hitam. Rombongan itu dipimpin oleh Syarif Hidayatullah. Mereka baru saja usai menunaikan shalat Ashar. Salah satunya kemudian melihat seorang laki-laki hanyut, lalu membawanya ke tepian.

“Bang Syarif, bagaimana ini, sepertinya dia masih hidup. Tapi betisnya hitam begini. Apa mungkin terluka?” tanya Fajar pada yang memimpin perjalanan.

Syarif melipat kain alasnya sholat, lalu berjalan ke sana. “Yang kudengar, wilayah ini memiliki penyihir yang amat kejam tapi kita tidak bisa juga berprasangka. Lebih baik kita tolong saja. Bawa ke desa dan cari tabib sampai dia sadar,” ujar lelaki itu. Ia pindahkan tubuh lelaki yang tak sadarkan diri ke atas kudanya.

Tiga orang ulama muda lainnya datang mendekat. Mereka mendengarkan apa kata sang pemimpin dengan baik. Namun, apa yang dikatakan Syarif sedikit membuat seseorang terkejut. Seseorang yang belum siap diberi amanah yang amat berat. Ia merasa tak mampu mengembannya.

“Kita bagi rombongan menjadi dua. Tiga orang ke Kerajaan Hambu Aer, dalam hal ini aku, Fajar dan Mahesa. Tiga lagi ke Kerajaan Giri Dwipa, dalam hal ini, Azam, Nuh dan Rahmat.” Syarif menyerahkan surat penawaran kepada Azam, sebab lelaki itu yang usianya berada di bawahnya. Yang lain masih sangat muda dan belum cakap dalam memimpin. Ia sudah kenal betul bagaimana Azam.

“Kenapa harus aku, Bang. Aku belum siap memimpin perjalanan seorang diri. Aku ikut denganmu saja, bagaimana?” Azam mencoba tawar-menawar. Ia sudah dua kali ikut Syarif selama perjalanan, rasanya belum siap dilepas seorang diri.

“Siap. Kapan lagi kau akan belajar kalau tidak dari sekarang. Bismillah saja, lakukan sebisamu. Kerajaan Giri Dwipa hanya sedikit yang kudengar tentang mereka. Rajanya sudah berusia lebih dari 100 tahun. Jika mereka melakukan ritual sesat. Tugasmu menyadarkan, jika tak mau juga minta bantuan pada Sultan agar mengirim pasukan tambahan. Aku juga punya tugas sendiri, Kerajaan Hambu Aer juga bukan mudah untuk ditaklukkan. Semoga Allah merahmati langkah kita. Semoga kita semua selamat dalam menyebarkan Islam.” Syarif kemudian memanjatkan doa-dosa keselamatan, dan diamini oleh yang lain.

Mereka berpisah, tiga orang rombongan Syarif mengambil arah kanan, sedangkan Azam masih berdiam diri di tepi sungai.

“Kenapa diam saja, Bang, ayo, engkau yang diberi kepercayaan oleh Bang Syarif.” Teguran dari Rahmat membuat Azam menarik napas panjang. Lekas ia naik kuda dan diikuti oleh dua orang adik seperguruannya. Mereka berkuda selama beberapa waktu, dan akhirnya sampai di desa yang berada dalam Kerajaan Giri Dwipa. Desa itu begitu suram, wajah penduduknya terlihat sedih dan bermuram durja. Azam dan dua orang ulama tersebut memutuskan turun dari kuda, berjalan kaki demi mencari tahu apa yang sedang terjadi.

“Kenapa dari tadi aku hanya melihat anak perempuan saja, ya? Apa anak laki-laki tidak ada yang lahir?” bisik Nuh.

“Tidak tahu juga. Tak banyak kabar yang didapatkan tentang kerajaan ini. Semoga saja tidak banyak kesulitan yang menerpa kita.” Azam melirik ke kiri dan kanan, setiap rumah tersebut diikat oleh kain merah. Entah untuk apa.

Mereka berjalan kaki dan beristirahat ketika waktu sholat sudah masuk, begitu terus hingga beberapa desa dilewati dan semuanya sama saja. Sama-sama suram dan tampak layu. Hingga akhirnya tiga orang ulama utusan Samudra Pasai itu sampai di depan gerbang kerajaan. Kerajaan Giri Dwipa yang kini diperintah oleh seorang ratu.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status