Saat Emily duduk di meja kerjanya, mencoba mengatur napas agar bisa melanjutkan hari dengan tenang, suara familiar memanggilnya dari belakang.
"Hei, Emi, kamu yang mengerjakan design proyek klien dari perusahaan Amerika, kan?" Tanya Leni, rekan satu tim yang seringkali tampak tenang dan percaya diri, sambil mendekat dengan langkah cepat.
"Iya, betul, Kak. Ada apa ya?" jawab Emily, sedikit bingung, berusaha menjaga nada suaranya tetap normal meskipun hatinya mulai terasa cemas.
"Siang ini perwakilan dari Whiteller Corp akan datang untuk rapat. Kita diminta untuk mempresentasikan gambaran proyek itu," jawab Leni, tanpa basa-basi, seperti memberikan instruksi rutin yang tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut.
Emily terkejut."Kenapa aku tidak tahu kalau mereka akan datang? Aku belum siap sepenuhnya," jawabnya dengan nada cemas, otaknya mulai berpacu untuk mencari-cari ide tentang bagaimana ia bisa menyiapkan materi dalam waktu yang sangat terbatas.
"Informasinya sudah dikasih di grup," sahut Leni dengan santai, seolah hal itu seharusnya sudah diketahui oleh semua orang.
"Grup yang mana, Kak?" tanya Emily, suaranya mulai terdengar kesal. Ia sering merasa ketinggalan informasi, dan kali ini perasaan itu semakin menguat. Seolah ada yang sengaja menyingkirkannya, membuatnya terisolasi.
Leni mengangkat bahu. "Kamu terlalu banyak bertanya. Jangan buang-buang waktu, cepat siapkan sketsamu. Satu jam lagi kita bertemu di meeting room lantai 2," ujarnya dengan nada tegas, seolah tidak ada ruang untuk penundaan. Leni berbalik hendak pergi, namun sebelum benar-benar berputar, ia menambahkan satu kalimat yang membuat hati Emily terasa remuk.
"Dan jangan lupa mandi dulu. Jangan malu-maluin."
Kata-kata itu bagaikan tamparan keras yang mendarat tepat di wajah Emily. Ia merasa tubuhnya seperti beku, matanya terbuka lebar, dan jantungnya terasa berhenti berdetak sesaat. Lagi-lagi... pikir Emily, wajahnya memerah karena rasa malu yang mendalam.
Emily diam di tempat, tubuhnya seperti dililit ketegangan. Matanya berkaca-kaca, namun ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kelemahannya..
Ia meremas tangan di samping tubuhnya, jari-jarinya menggenggam erat kursi, berusaha menahan air mata yang kembali menggenang di pelupuk mata. Rasanya, kata-kata Leni mengarah langsung ke pusat ketakutannya—ketakutan bahwa dia akan selalu dipandang sebelah mata, tak lebih dari sekadar masalah yang harus dihindari.
Namun, setelah beberapa detik yang terasa sangat lama, Emily menarik napas panjang. Ia menegakkan punggungnya dan mengusir rasa sakit itu dari pikirannya.
Meskipun hatinya masih diliputi amarah dan kesedihan, Emily memutuskan untuk menghiraukan ejekan Leni dan fokus pada tugasnya. Ia membuka laptopnya, menyusun presentasi dengan cepat, meskipun rasa cemas tetap menyelimutinya. Ini mungkin bukan situasi ideal, tapi ia harus melakukannya.
Ia mengatur nafasnya, berusaha untuk tidak terbawa perasaan.
…
Satu jam kemudian, ruang rapat sudah dipenuhi oleh orang-orang yang bersiap untuk mengikuti pertemuan penting itu. Emily berdiri di dekat pintu, menarik napas panjang, berusaha menguatkan dirinya. Senyum kecil terlukis di wajahnya, meski terpaksa. Ejekan dan komentar pedas yang masih segar di pikirannya berusaha ia abaikan. Dengan langkah mantap, ia melangkah masuk ke ruang rapat, mencoba terlihat percaya diri dengan kepala tegak.
Namun, begitu tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata hijau yang tajam, langkahnya terhenti sesaat. Jantungnya langsung berdegup lebih cepat. Mata hijau itu tampak begitu memikat, seperti berlian yang bersinar di bawah cahaya terang. Emily merasa aliran darahnya mendesir lebih cepat.
Tuhan... dia seperti malaikat panas yang turun dari surga, pikir Emily sambil menelan ludah. Ia sedikit terkejut dengan ketampanannya—rambutnya yang tersisir rapi, rahangnya yang tegas, dan aura wibawa yang memancar dari pria itu.
Berusaha menenangkan diri, Emily melangkah pelan menuju tempat duduknya, yang kebetulan berada tepat di samping Leni. Jari-jarinya yang dingin mengepal erat berkas presentasi yang ia bawa, seolah mencoba mengalihkan fokus dari gejolak yang tak terduga ini.
Leni, yang sejak awal memperhatikan situasi, segera membungkuk sedikit untuk berbisik. "Itu bosnya. Jangan sampai kau buat kesalahan. Dia yang memakai jas berwarna silver," ujar Leni dengan nada rendah namun tegas, matanya melirik pria yang baru saja mencuri perhatian Emily.
Emily, yang masih berusaha mengatur napasnya, menoleh perlahan ke arah pria yang dimaksud. Pria berjas silver itu sedang berbicara dengan koleganya, tetapi seolah menyadari dirinya sedang diperhatikan, ia memutar pandangannya ke arah Emily. Tatapan mereka bertemu untuk kedua kalinya.
Sejenak, waktu seperti melambat. Mata hijau tajam itu seolah menyelami Emily, membuatnya merasa terperangkap dalam kilasan waktu yang mendebarkan. Emily segera memalingkan wajah, menyembunyikan gugupnya. Namun, rasa penasaran mulai tumbuh di hatinya.
Sementara Leni sibuk mempersiapkan catatannya sendiri, Emily merapikan kertas-kertas di hadapannya dengan tangan yang sedikit gemetar
Namun, sulit baginya untuk mengabaikan kehadiran pria itu. Aura dinginnya begitu kuat, tapi di balik itu, Emily merasakan sesuatu yang aneh—seperti campuran rasa penasaran dan ketakutan. Ia menarik napas panjang, mengalihkan pandangan ke layar presentasi yang sudah disiapkan.
Saat rapat dimulai, Emily berusaha keras untuk memusatkan perhatian pada pekerjaannya. Namun, kehadiran pria berjas silver dengan tatapan hijau itu terus menghantui pikirannya, membuatnya merasa seolah-olah seluruh dunia sedang mengamatinya.
…
Saat akhirnya tiba gilirannya untuk mempresentasikan proyek, Emily menarik napas panjang, berusaha menenangkan detak jantungnya yang terasa sedikit lebih cepat. Ia melangkah maju dengan langkah yang ia coba buat mantap, meski di dalam hati, ada sedikit keraguan yang masih bergema.
Namun, begitu ia mulai berbicara, semua itu perlahan memudar. Slide demi slide ia jelaskan dengan suara yang mantap dan intonasi yang jelas. Penjelasannya terstruktur dengan baik, dan bahkan beberapa pertanyaan teknis dari peserta rapat berhasil ia jawab dengan lancar. Setiap detail yang ia sampaikan menunjukkan bahwa ia benar-benar memahami proyek ini.
Ruangan yang sebelumnya penuh tekanan kini terasa lebih tenang, dan Emily bisa merasakan tatapan beberapa orang yang tampaknya mulai menghargai pekerjaannya. Bahkan Leni, yang biasanya hanya memberikan komentar sinis, terlihat sibuk mencatat penjelasan Emily.
Ketika presentasi selesai, Emily menutup dengan senyum kecil dan sedikit membungkukkan badan. Tepuk tangan terdengar di seluruh ruangan, membuat Emily merasa lega.
Setelah rapat berakhir, suasana sedikit mencair. Orang-orang mulai berbicara satu sama lain, berdiskusi santai tentang proyek, atau sekadar membereskan dokumen mereka. Lalu, salah satu pria yang mendampingi Mr. Whiteller, seorang pria ramah bernama Beni, berdiri dan berbicara.
"Mr. Whiteller sangat senang dengan hasil rapat ini," katanya dengan nada sopan namun tegas. "Dia ingin mengundang kita semua untuk makan malam bersama nanti malam."
Emily menatap pria berjas silver itu—Mr. Whiteller—yang hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Matanya yang hijau masih tampak tajam, namun sikapnya tetap tenang, seperti seseorang yang selalu penuh kendali.
Manajer Emily, Pak Boy, segera menanggapi undangan tersebut dengan senyuman lebar. "Kami juga merasa terhormat bisa bekerja sama dengan Whiteller Corp. Terima kasih atas undangannya. Kami akan datang."
"Baiklah, sampai bertemu nanti malam," kata Beni sebelum ia dan Mr. Whiteller berjalan keluar ruangan bersama timnya.
Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan membungkus mereka seperti selimut hangat. Hanya suara detik jam dan hembusan angin malam yang menemani. Sylvester memandangi Emily, seolah masih tak percaya bahwa wanita ini—yang telah melewati luka, kehilangan, dan bahaya—kini berada di sampingnya. Dan lebih dari itu, akan menjadi istrinya.Emily meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu menyandarkan kepala di dada Sylvester."Kau selalu membuatku merasa dicintai," ucapnya pelan, "bahkan ketika dunia seolah menentang kita."Sylvester membelai pipi Emily, menyibakkan helai rambut yang menutupi wajahnya."Aku mencintaimu karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik. Bukan hanya untuk diriku… tapi untukmu, dan untuk keluarga kecil kita."Emily menahan napas sejenak, lalu mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca."Dan aku mencintaimu... karena kamu membuatku merasa seperti pulang."Sylvester membungkuk, mencium bibir Emily dengan lembut—sebuah ciuman y
Kembali di rumah sakit…Sylvester duduk di luar ruang tindakan, kepalanya tertunduk. Ketika dokter akhirnya keluar, wajahnya serius."Kondisinya stabil. janinnya lemah, tapi ada peluang bertahan jika tidak terjadi pendarahan lagi. Kami akan awasi 24 jam ke depan."Sylvester menghela napas, hampir roboh oleh lega dan ketakutan sekaligus.Ia masuk ke ruang rawat, duduk di samping Emily yang terbaring lemah namun sadar."Aku takut, Syl…" bisiknya pelan.Sylvester meraih tangannya dan mengecupnya lembut.…Beberapa jam telah berlalu…Langit di luar rumah sakit mulai cerah, pertanda pagi menjelang. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai kamar rawat, membasuh wajah Emily yang kini tertidur tenang di ranjang.Di sampingnya, Sylvester masih duduk setia, matanya sembab namun kini lebih tenang. Ia belum beranjak sejak Emily masuk ke ruang perawatan.Pintu kamar terbuka pelan. Seorang dokter wanita masuk dengan tablet data di tangan, tersenyum ramah.“Tuan Sylvester?”Sylvester langsung berd
BRAK! BRAK!Tembakan terus meletus dari berbagai sudut rumah. Kayu-kayu pecah, dinding bergetar, dan debu berterbangan di udara. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu akibat granat asap yang dilemparkan.“ASAP!! DIA MAU KABUR!!” teriak Sylvester sambil menunduk, melindungi Emily yang memeluk perutnya erat-erat, ketakutan.Salah satu pria bertopeng menerobos masuk dari jendela samping. Ia berlari melintasi lorong menuju dapur sambil melepaskan tembakan ke segala arah. Tapi Sylvester sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia berbalik, mengangkat pistol dan—DOR!!Pria itu terhempas ke belakang, menabrak dinding dan ambruk tanpa suara.“Satu lagi!” serunya.Dari atas, terdengar suara langkah kaki di lantai dua. Mereka tidak hanya menyerang dari bawah—mereka juga menguasai loteng.Sylvester menyambar senjata panjang yang disimpan di balik lemari dan mendorong Emily ke bawah meja dapur yang kini menjadi benteng
Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan