Emily melangkah ke pantry dengan botol minum di tangan, tapi langkahnya melambat saat ia mendengar suara-suara dari dalam. Beberapa rekannya sedang bercakap-cakap, dan meskipun mereka berbicara pelan, Emily bisa menangkap potongan kalimat mereka.
“Serius deh, aku nggak kuat lagi kalau duduk di dekat dia,” suara itu terdengar dari Dina, salah satu rekannya.
“Memangnya dia nggak sadar, ya? Masa tiap hari kayak gitu terus?” balas leni, setengah berbisik. “Kayaknya sih enggak sadar. Mungkin dia nggak tahu, atau... ya, gimana ya bilangnya ke dia?” tambah jesselyn, sambil menghela napas.Dina terkekeh kecil. “Bilang? Kamu bercanda? Bisa jadi dia malah tersinggung, terus drama. Mending nggak usah deh.”
“Tapi kita yang jadi korban, kan?” jesselyn menimpali. “Aku sampai bawa parfum ekstra, tahu. Kalau dia lewat, langsung aku semprot meja aku.”Dina tertawa kecil, tapi suaranya terdengar setengah bersalah. “Iya sih, aku juga pernah pura-pura keluar meeting cuma buat nyari udara segar. Jujur aja, baunya tuh…”
“Ampun, parah banget,” potong lina sambil menahan tawa. “Tapi ya bener, gimana kalau dia nggak pernah sadar? Masa kita harus tahan kayak gini terus?”
Emily berdiri kaku di balik pintu pantry. Hatinya berdebar kencang. Ia tidak perlu bertanya siapa yang mereka bicarakan semua itu jelas mengarah padanya. Ia ingin masuk dan membela diri, tapi kakinya tidak mau bergerak. Ia hanya bisa berdiri di sana, mendengar semuanya dengan rasa malu yang tak tertahankan.
“Eh, diam-diam aja. Jangan sampai dia dengar,” kata Rina tiba-tiba, menurunkan suaranya.
Emily panik. Dengan cepat, ia berbalik dan melangkah pergi sebelum mereka menyadari keberadaannya. Botol minumnya masih kosong, tapi itu tidak lagi penting. Ia hanya ingin keluar dari situ, sejauh mungkin dari mereka dan komentar-komentar yang menusuk hatinya.
Lagi, dan terjadi lagi. Emily mempercepat langkahnya, menunduk, berusaha menahan tangis yang mulai membuncah. Tapi sia-sia. Air mata yang sejak tadi ia coba tahan kini jatuh tanpa henti, mengaburkan pandangannya. Ia berlari kecil keluar dari gedung kantor, melewati trotoar yang sepi, menuju hutan kecil di dekat kantor, tempat pelariannya, tempat satu-satunya di mana ia merasa cukup aman untuk menangis tanpa takut dilihat siapa pun.
Begitu tiba, Emily duduk di bawah pohon besar, Kepalanya ia benamkan dalam kedua lututnya, dan isak tangisnya pecah, memenuhi kesunyian. Hatinya terasa berat, seolah seluruh dunia sedang menekan dadanya.
Ia mencoba mengatur napas, tapi pikirannya terus memutar ulang kata-kata dari pantry pagi tadi—bisikan-bisikan yang tajam seperti belati. “Aku nggak kuat lagi duduk dekat dia.” “Dia nggak sadar, ya?” Kalimat-kalimat itu bergema, menghantamnya berkali-kali.
Emily mendongak, menatap daun-daun yang bergoyang diterpa angin. “Aku sudah coba segalanya…” gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar.
Ia teringat rutinitasnya setiap pagi—mandi dua kali sehari, menggosok tubuhnya sekuat tenaga hingga kulitnya memerah, memakai deodoran mahal yang direkomendasikan influencer, bahkan menyemprotkan parfum yang katanya bisa bertahan sepanjang hari. Tapi semua itu sia-sia. Bau itu tetap ada. Ia tidak tahu dari mana asalnya, atau mengapa ia tidak bisa menghilangkannya? Itu seperti bayang-bayang gelap yang selalu membuntutinya, membayangi setiap hari.
Emily memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang akan segera berakhir. Namun, ia tahu itu tidak akan terjadi. Kenyataan ini terlalu nyata, terlalu menyakitkan.
Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia kembali mendengar pembicaraan yang mungkin mereka kira ia tidak mendengarnya. leni, dina, jesselyn… mereka semua berbicara tentang dia, seolah Emily tidak punya perasaan. Seolah ia hanya sebuah masalah, sesuatu yang harus dihindari.
Setiap hari, Emily mencoba tersenyum, mencoba berpura-pura tidak peduli. Ia bekerja lebih keras, berusaha untuk tetap terlihat profesional di depan mereka. Tapi di dalam hatinya, ia hancur. Senyumnya hanyalah topeng, menutupi luka yang semakin dalam.
Di bawah naungan pohon itu, Emily mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. “Kenapa aku harus begini?” bisiknya lirih. Ia merasa sendirian dan terasing.
Angin berhembus lembut, membawa suara dedaunan yang berdesir. Untuk sesaat, Emily merasa sedikit tenang. Ia menyeka air matanya, meski isakannya belum sepenuhnya reda. Di tempat ini, ia tidak perlu berpura-pura. Tidak ada yang menatapnya dengan pandangan penuh rasa jijik. Tidak ada yang menutup hidung atau melontarkan komentar tajam.
Tangis Emily mulai mereda. Dengan napas panjang yang bergetar, ia berdiri dan mengusap sisa-sisa air mata yang masih membekas di pipinya. Langit yang mulai mendung seolah mencerminkan hatinya yang berat, tapi perlahan mereda. Emily memandang sekeliling hutan kecil yang menjadi pelariannya. Di sini, ia bisa menangis tanpa rasa takut, tapi ia tahu ia tak bisa terus bersembunyi.
Dengan langkah yang pelan namun pasti, Emily mulai berjalan meninggalkan hutan. Kakinya terasa berat, tapi ia memaksa dirinya untuk terus melangkah, menuju kantornya. Setiap langkah yang diambilnya seperti pertarungan melawan rasa malu dan luka yang masih menganga di dalam hatinya.
Ia menyeka wajahnya sekali lagi, memastikan tidak ada jejak air mata yang tersisa. Aku harus terlihat normal, pikirnya. Emily mencoba mengembangkan senyum kecil—senyum yang dipaksakan untuk menguatkan dirinya sendiri. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa senyum itu hanyalah sebuah ilusi.
Bagaimana aku bisa kembali menghadapi mereka setelah ini? pikirnya. Bisikan-bisikan tajam dari pantry masih menggema di kepalanya, dan dadanya kembali terasa sesak. Apakah ia mampu mengatasi rasa malu ini? Apakah ia bisa bertahan di tengah lingkungan yang mulai terasa asing baginya?
Langkahnya semakin melambat saat ia mendekati lobi kantor. Emily menyeka dahi dan lehernya yang mulai berkeringat. Ia tahu, keringat hanya akan memperburuk situasi. Bau yang selama ini menjadi momok baginya akan semakin menyengat. Ia berdoa dalam hati agar tubuhnya tetap tenang, agar ia bisa melewati hari ini tanpa insiden baru.
Sesampainya di lobi, Emily menarik napas dalam dan berjalan cepat menuju lift, menghindari tatapan orang-orang di sekitar. Ia menekan tombol lift, dan saat pintu terbuka, ia melangkah masuk, menunduk untuk menghindari kontak mata dengan siapa pun di dalamnya.
Lift bergerak naik ke lantai 5, membawa Emily menuju meja kerjanya—tempat yang seharusnya menjadi zona nyamannya, tetapi kini berubah menjadi medan pertempuran yang penuh bisikan dan pandangan sinis. Saat pintu lift terbuka, Emily menarik napas panjang untuk terakhir kalinya, berusaha menguatkan dirinya.
Ia berjalan ke meja kerjanya, mencoba terlihat sibuk dan tidak peduli. Tetapi setiap langkah terasa berat, seperti berjalan di tengah ruangan yang penuh dengan tatapan tak terlihat. Emily tahu, hari ini tidak akan mudah.
Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan
Setelah makan di tepi danau—ditemani semilir angin dan suara gemericik air—mereka berempat bersandar santai di atas tikar. Tawa dan percakapan ringan masih mengalir, sampai akhirnya langit mulai berubah warna menjadi jingga keemasan."Ayo kita beres-beres, udah sore," ucap Emily sambil mulai melipat taplak kecil bekas makan."Iya, nanti keburu gelap. Jalannya lumayan juga turun naik," sahut Elio sambil mengemasi botol minuman.Sylvester membantu membawa keranjang, sementara ibu Emily memeriksa kembali barang-barang mereka agar tidak ada yang tertinggal.Mereka mulai berjalan pulang melewati jalur setapak kecil yang lebih sepi dari sebelumnya. Angin berembus agak kencang, dan suasana hutan ringan di sekeliling mereka terasa sedikit lebih hening dari biasanya.Saat mereka mencapai tikungan kecil di tengah jalan, tiba-tiba Sylvester berhenti. Ia menajamkan pendengaran."Tunggu sebentar."Emily menatapnya dengan dahi berkerut."Kenapa?""Aku dengar sesuatu..." jawab Sylvester pelan, matan
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah
Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah
"Listriknya turun, tapi aku reset di meterannya," jelasnya."Aneh… tidak ada alat berat yang dinyalakan," kata sang ibu sambil menggeleng pelan."Selama tinggal di sini, belum pernah listrik turun tanpa sebab."Mereka akhirnya melanjutkan makan malam. Namun suasana tak lagi sehangat tadi. Hanya suara sendok dan piring yang beradu pelan, serta desir angin dari luar jendela yang kini terdengar makin jelas.Sylvester duduk tenang, tapi matanya tetap awas, mengamati sekitar.Emily menatapnya sesekali. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Syl… kamu pikir ini cuma kebetulan?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester menggeleng pelan. Tangannya meraih tangan Emily di bawah meja, menggenggamnya erat."Jangan khawatir. Aku akan berjaga malam ini."Emily mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, rasa tidak tenang itu belum juga pergi.…Malam semakin sunyi. Setelah makan malam dibereskan dan Elio kembali tenggelam dalam tugas-tugas kuliahnya, Emily pun masuk ke kamarnya. I
Sang ibu lalu berkomentar lagi, saat melihat amore selesai dengan makannya dan bersiap akan pergi"Eh, tapi kok temanmu ini cepat sekali makannya. Baru datang langsung pulang?"Sylvester mengangkat wajah dan menjawab,"Dia hanya mampir makan siang, Bu. Setelah ini dia harus kembali.""Kenapa nggak menginap saja? Biar bisa ngobrol lebih lama," ucap ibu Emily, terlihat sungguh-sungguh.Sylvester menatap Amore, lalu berbicara dalam bahasa Inggris agar ibu Emily tidak menangkap isi pembicaraannya,"Kau bisa cari penginapan di sekitar sini. Aku dan Emily masih beberapa hari di sini."Emily mendengar dan tampak sedikit heran."Kenapa dia nggak tidur di sini saja? Toh, kita bertiga sudah biasa bersama. Lagipula, kenapa kamu ke kota ini? Hanya ingin bertemu denganku? Kalau iya, kenapa nggak tidur sekamar denganku saja?"Amore tersenyum tipis, lalu menjawab dengan tenang,"Aku sekalian kerja, Em. Butuh sedikit ruang dan privasi juga
Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve