Share

BAB 3

Author: Sang Penulis
last update Huling Na-update: 2024-11-28 02:36:12

Emily, yang sejak tadi berusaha fokus pada pekerjaannya, akhirnya bisa memperhatikan Mr. Whiteller dengan lebih jelas. Selama rapat tadi, pria itu hampir tidak berbicara. Ia hanya duduk diam, mengamati dengan cermat, dan sesekali berbisik pada Beni. Namun, sekarang, saat ia berjalan menjauh, Emily merasa ada sesuatu yang memancarkan wibawa dari dirinya—sesuatu yang membuat pria itu sulit untuk diabaikan.

Dia tampak begitu tenang, begitu percaya diri, seolah-olah tidak ada yang bisa mengguncang dirinya. Mata hijau itu... Emily tidak bisa melupakan tatapan tajamnya yang sempat bertemu dengan matanya beberapa kali.

Namun lamunan itu tidak berlangsung lama. Leni, yang tampaknya masih senang memanfaatkan momen untuk memberikan komentar, membungkuk sedikit ke arah Emily dan berbisik dengan nada sarkastik.

"Jangan berkhayal, Emi. Melirikmu saja mungkin dia tidak tertarik."

Komentar itu terasa seperti paku yang menusuk gelembung lamunan Emily. Ia menoleh pelan ke arah Leni, menahan emosi yang perlahan muncul di dadanya.

"Aku tidak berkhayal," jawab Emily datar, suaranya lebih tegas daripada yang ia kira.

Emily kembali mengalihkan pandangannya ke arah pintu yang kini sudah tertutup. Mr. Whiteller dan timnya telah pergi, tapi bayangan pria itu masih melekat di benaknya.

Namun, Emily menggelengkan kepala perlahan, mencoba mengembalikan fokusnya.

Beberapa saat kemudian, Pak Boy mendekat dengan langkah cepat. Senyum profesional di wajahnya menyiratkan antusiasme yang biasanya ia tunjukkan saat membicarakan hal-hal penting.

"Emily, nanti malam kamu harus ikut makan malam," katanya dengan nada tegas namun ramah.

Emily menelan ludah. Ia merasa ragu. Makan malam dengan klien besar seperti Whiteller Corp sepertinya lebih dari sekadar acara makan malam biasa.

"Pak, maaf, sepertinya saya tidak bisa ikut nanti malam," ucap Emily hati-hati, mencoba mencari alasan tanpa terdengar tidak sopan.

Pak Boy mengerutkan dahi, jelas bingung dengan penolakannya. "Kenapa? Kamu harus datang, ini penting. Kamu punya andil besar dalam proyek ini, Emily. Presentasimu tadi sangat memukau. Klien pasti ingin mengenalmu lebih jauh."

Sebelum Emily sempat menjawab, Leni yang berdiri di dekat mereka segera menyela dengan nada santai, tapi tajam. "Aku rasa nggak apa-apa kalau Emily nggak ikut, Pak. Ini kan cuma makan malam. Toh, bukan rapat kerjaan yang harus banget dihadiri."

Pak Boy menatap Leni dengan sorot mata tajam yang membuat suasana sedikit tegang. "Bukan begitu, Leni. Mereka adalah klien penting, dan kita harus menghormati undangan mereka. Ini tentang menjaga hubungan baik, bukan sekadar pekerjaan. Emily, kamu harus datang. Urusan apa pun itu, tunda."

Tanpa menunggu jawaban Emily, Pak Boy berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan suasana yang tiba-tiba terasa sunyi.

Leni, yang sejak tadi memasang ekspresi puas, mendekat dan berbisik dengan nada dingin. "Jangan lupa mandi dulu," katanya pelan, Setelah itu, Leni melenggang pergi dengan langkah santai, meninggalkan Emily sendirian di tempatnya.

Emily tetap berdiri di sana. Sekilas, rasa marah muncul—marah pada Leni, Ia menunduk, tangannya mengepal di samping tubuhnya.

Sore itu, suasana kantor mulai lengang. Beberapa rekan kerja sudah berkemas dan beranjak pulang, sementara sebagian lainnya masih duduk di depan meja mereka, menyelesaikan sisa pekerjaan. Emily berjalan menuju ruang kerja Pak Boy. Langkahnya sedikit berat karena rasa lelah yang mulai menguasai tubuhnya setelah seharian bekerja.

Sesampainya di depan pintu, ia mengetuk perlahan sebelum masuk. Pak Boy tampak sibuk, matanya terpaku pada layar komputer, sementara tumpukan berkas di mejanya menambah kesan sibuk yang selalu melekat padanya.

"Pak, saya pamit dulu. Nanti saya langsung menyusul ke restoran, ya," ucap Emily dengan nada sopan, berdiri di dekat pintu.

Pak Boy tidak langsung menoleh. "Oke, nanti saya kirimkan alamat restorannya lewat grup," jawabnya singkat, matanya masih terpaku pada monitor.

"Baik, Pak," sahut Emily, menahan keinginan untuk meminta waktu lebih banyak. Ia tahu, mengganggu di saat seperti ini bukan ide yang bagus. Dengan langkah pelan, ia berbalik dan keluar dari ruangan, membiarkan Pak Boy kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

Di luar, Emily menghela napas panjang. Udara sore terasa berat di dadanya. matanya menatap kosong ke arah koridor yang sudah mulai sepi.

Ia berjalan keluar kantor dengan langkah lambat. Langit sore mulai gelap, dan jalanan Jakarta seperti biasa—macet, ramai, dan penuh dengan suara klakson yang bersahutan.

Setibanya di kamar kosnya yang mungil, Emily langsung meletakkan tas di kursi, merentangkan tangan, dan memejamkan mata sejenak. Rasa lelah begitu nyata, namun waktu terus berjalan. Ia tidak punya banyak waktu untuk bermalas-malasan.

Dengan langkah cepat, Emily masuk ke kamar mandi. Air hangat mengalir, membantu menghilangkan penat di tubuhnya. Ia mencuci rambutnya dengan sampo yang wangi, memastikan setiap sudut tubuhnya bersih. Dalam hati, ia bertekad bahwa malam ini, ia harus tampil sebaik mungkin.

Selesai mandi, Emily mengenakan handuk dan berdiri di depan cermin. Ia memandangi bayangannya sendiri.Tangan kirinya menyentuh wajahnya, dan mulai melakukan kegiatan perskinkeran.

Sambil berdandan di depan cermin, Emily memutuskan untuk menelepon keluarganya melalui video call. Wajahnya yang letih mulai tampak sedikit segar setelah makeup, namun ada sesuatu di hatinya yang terasa berat. Ia tahu, suara ibunya selalu bisa menenangkan, jadi ia mengambil ponselnya dan memulai panggilan.

"Kakak mau pergi ke mana?" suara lembut ibunya terdengar begitu panggilan tersambung. Wajah ibunya muncul di layar, menampilkan senyum hangat yang selalu menjadi pelipur lara Emily.

"Tim kami dapat undangan makan malam, Bu, dengan klien," jawab Emily sambil mengoleskan blush on tipis di pipinya, berusaha menutupi jejak kelelahan yang masih membekas.

"Oh, baguslah. Bagaimana pekerjaanmu, Kak? Baik-baik saja, kan?" tanya ibunya dengan suara penuh perhatian, seperti biasa.

"Pekerjaan lancar, Bu. Teman-teman di kantor baik semua, aku banyak dibantu mereka," jawab Emily, meskipun dalam hatinya ada rasa bersalah karena tidak sepenuhnya jujur.

"Syukurlah," jawab ibunya sambil mengangguk, senyum lega terpancar jelas di wajahnya. Senyum itu selalu membuat Emily merasa tenang, seolah semua masalahnya bisa ia simpan jauh-jauh.

"Ibu tidak perlu khawatir, ya. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Kakak," ucap Emily, tersenyum sambil menambahkan eyeliner di matanya

"Harusnya Ibu yang bilang begitu. Kamu jangan terlalu khawatir. Ibu baik-baik saja di sini bersama adikmu," balas sang ibu dengan lembut, membuat Emily tersenyum tipis.

"Adik mana, Bu? Kenapa nggak kelihatan?" tanya Emily sambil menatap layar, menyadari bahwa wajah adiknya tidak muncul di panggilan itu.

"Dia pergi, temannya mengajaknya main," jawab ibunya santai, seperti itu adalah hal biasa.

"Aduh, itu anak benar-benar. Bukannya menemani Ibu di rumah, malah pergi main!" ucap Emily dengan nada sedikit kesal, alisnya berkerut.

"Huss, jangan begitu. Biarkan saja, namanya juga anak remaja," tegur ibunya lembut, berusaha membela si adik.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 144

    Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 143

    Setelah sarapan selesai dan suasana hati sang ibu mulai mencair, Emily mencuci piring di dapur sambil bersenandung kecil. Sylvester membantu menyapu lantai, dan Elio yang baru bangun muncul dari kamarnya sambil meregangkan badan."Akhirnya weekend juga," gumam Elio sambil duduk di kursi ruang makan. "Kak, aku ada ide, gimana kalau kita jalan-jalan hari ini?"Emily menoleh sambil mengeringkan tangannya. "Kemana emangnya?""Ada tempat bagus di luar kota. Cuma satu jam naik mobil. Ada kebun teh dan air terjun kecil. Nggak terlalu ramai, jadi cocok buat refreshing." jelas Elio semangat. "Aku sering ke sana kalau lagi suntuk ngerjain tugas."Sylvester yang mendengar itu langsung tertarik. "Kedengarannya menyenangkan. Udara segar bisa bantu kita semua."Emily melirik ke arah ibunya, yang sedang duduk sambil membaca koran."Bu, Ibu ikut?"Sang ibu mendongak, tersenyum kecil. "Boleh juga. Lagipula kalian semua butuh udara segar. Tapi Ibu nggak ikut naik ke air terjun, ya. Ibu tunggu di bawah

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 142

    "Listriknya turun, tapi aku reset di meterannya," jelasnya."Aneh… tidak ada alat berat yang dinyalakan," kata sang ibu sambil menggeleng pelan."Selama tinggal di sini, belum pernah listrik turun tanpa sebab."Mereka akhirnya melanjutkan makan malam. Namun suasana tak lagi sehangat tadi. Hanya suara sendok dan piring yang beradu pelan, serta desir angin dari luar jendela yang kini terdengar makin jelas.Sylvester duduk tenang, tapi matanya tetap awas, mengamati sekitar.Emily menatapnya sesekali. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang mengganggu pikirannya."Syl… kamu pikir ini cuma kebetulan?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester menggeleng pelan. Tangannya meraih tangan Emily di bawah meja, menggenggamnya erat."Jangan khawatir. Aku akan berjaga malam ini."Emily mengangguk kecil. Tapi di dalam hatinya, rasa tidak tenang itu belum juga pergi.…Malam semakin sunyi. Setelah makan malam dibereskan dan Elio kembali tenggelam dalam tugas-tugas kuliahnya, Emily pun masuk ke kamarnya. I

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 141

    Sang ibu lalu berkomentar lagi, saat melihat amore selesai dengan makannya dan bersiap akan pergi"Eh, tapi kok temanmu ini cepat sekali makannya. Baru datang langsung pulang?"Sylvester mengangkat wajah dan menjawab,"Dia hanya mampir makan siang, Bu. Setelah ini dia harus kembali.""Kenapa nggak menginap saja? Biar bisa ngobrol lebih lama," ucap ibu Emily, terlihat sungguh-sungguh.Sylvester menatap Amore, lalu berbicara dalam bahasa Inggris agar ibu Emily tidak menangkap isi pembicaraannya,"Kau bisa cari penginapan di sekitar sini. Aku dan Emily masih beberapa hari di sini."Emily mendengar dan tampak sedikit heran."Kenapa dia nggak tidur di sini saja? Toh, kita bertiga sudah biasa bersama. Lagipula, kenapa kamu ke kota ini? Hanya ingin bertemu denganku? Kalau iya, kenapa nggak tidur sekamar denganku saja?"Amore tersenyum tipis, lalu menjawab dengan tenang,"Aku sekalian kerja, Em. Butuh sedikit ruang dan privasi juga

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 140

    Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 139

    ...Mobil melaju perlahan melewati jalanan kota kecil yang mulai ramai. Di dalam mobil, Sylvester menyetir, sementara Emily duduk di kursi depan, dan sang ibu di belakang, memandangi keluar jendela dengan tenang.Mereka tiba di pasar tradisional yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai oleh pedagang dan pembeli. Udara pagi terasa segar, meski sedikit bau rempah dan ikan asin menyengat dari beberapa sudut pasar."Kita ke bagian sayur dulu," ujar sang ibu sambil menyesuaikan tas belanja di pundaknya.Sylvester dan Emily mengangguk dan mengikuti. Emily menggenggam lengan Sylvester tanpa berkata apa-apa, dan Sylvester membalasnya dengan senyum kecil.Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, melewati pedagang sayur, buah, dan bumbu dapur. Sang ibu terlihat sangat lihai memilih bahan—mengetuk-ngetuk semangka, mencium daun bawang, dan menawar harga sambil sesekali bercanda dengan pedagang langganannya."Ibu kamu jago sekali menawar," bisik Sylvester ke Emily sambil terkagum-kagum.Emily terki

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 138

    Setelah makan malam selesai dan dapur dirapikan, malam kembali sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan dengung halus dari luar jendela.Pintu kamar Emily terbuka sedikit, cahaya lampu dari lorong mengintip masuk. Ibu Emily berdiri di ambang pintu, lalu mengetuk pelan sambil memanggil dengan suara lembut,"Kak..."Emily menoleh dari tempat tidurnya."Belum tidur, Bu."Sambil tersenyum tipis, sang ibu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Emily bergeser sedikit, memberi ruang. Sang ibu meraih tangan putrinya, menggenggamnya dengan hangat."Bagaimana kondisi Kakak? Ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?""Enggak, Bu. Aku baik-baik saja," jawab Emily sambil tersenyum tipis.Sang ibu diam sejenak, seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya bertanya,"Kalian… sudah berapa lama menjalin hubungan?"Emily menarik napas sebentar, mencoba mengingat."Mungkin sekitar sebulan atau dua bulan, Bu. Aku sendiri nggak terlalu menghitung.""Kenapa kalian memutuskan berpaca

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 137

    Sebuah tamparan mendarat di pipi Sylvester."Ibu!" seru Emily terkejut."Itu untukmu—yang membawa pengaruh buruk pada anakku."PLAK!"Untukmu—yang merenggut mahkota anakku."PLAK!"Untuk kehamilan ini yang menghancurkan hati seorang ibu."PLAK!"Dan ini, kalau kau sampai lepas tanggung jawab."Sylvester tidak mengelak. Ia menerima semuanya dengan kepala tertunduk."Saya terima, Bu. Saya pantas menerimanya."Suasana hening beberapa detik. Sang ibu memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu berkata pelan:"Boleh Ibu duduk?"Emily langsung berdiri dan mempersilakan."Tentu, Bu. Silakan duduk."Sang ibu duduk di kursi seberang mereka. Tatapannya tajam tapi tidak lagi penuh amarah, hanya kelelahan seorang ibu yang sedang mencoba memahami."Ibu... maafkan aku," ucap Emily dengan suara bergetar."Aku tahu ini mengejutkan. Aku tahu aku mengecewakan Ibu."Sang ibu menggeleng perlahan."Kamu tidak mengecewakan Ibu, Emily. Kamu hanya membuat Ibu sangat takut."Emily tertunduk. Sylvester masih me

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 136

    Emily menoleh, lalu menggenggam tangan Sylvester."Bu, ini Sylvester..."Sylvester menunduk sopan."Selamat siang, Bu. Saya kekasih Emily."Emily menatapnya terkejut—bukan karena kata-katanya, tapi karena... Sylvester berbicara dalam bahasa Indonesia."Weh, hebat! Kamu udah berapa lama tinggal di Indonesia, kok bisa bahasa Indonesia?" tanya sang ibu sambil terkekeh."Semenjak bersama Emily, Bu. Saya masih belajar." jawab Sylvester ramah."Loh, kamu kok nggak bilang-bilang, Emily? Punya pacar bule!" goda ibunya sambil menepuk pelan lengan anaknya.Emily hanya meringis, lalu tertawa."Yasudah, ayo masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak sang ibu hangat.Emily menggandeng tangan Sylvester masuk ke dalam rumah, sambil berbisik,"Sejak kapan kamu bisa bahasa Indonesia? Kenapa aku nggak tahu?""Masih tahap belajar," bisik Sylvester sambil tersenyum. "Tapi aku yakin, seminggu lagi aku akan fasih.""Sangat tidak adil," gumam Emily sambil duduk di sofa ruang tamu. "Kau kaya, kau tampan, dan sekara

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status