Hari-hari berikutnya berlalu seperti biasa. Rutinitas Emily kembali berjalan normal, seakan insiden cangung saat makan malam itu hanya menjadi kenangan buruk yang sangat memalukan, namun hal itu perlahan terkubur oleh kesibukannya bekerja. Setelah kejadian tersebut, Emily lebih fokus pada pekerjaannya, memastikan setiap tugas yang diberikan terselesaikan dengan baik.
Kabar menyebutkan bahwa Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, telah kembali ke Amerika. Meski rasa bersalah masih mengintip di sudut hatinya, Emily merasa lega karena hubungan kerja sama dengan Whiteller Corp tetap berjalan. Perusahaan mereka masih mempercayakan proyek besar itu kepada tim Emily, dan sejauh ini proyek tersebut berjalan tanpa kendala berarti.
Komunikasi antara kedua belah pihak kini sepenuhnya dilakukan secara virtual. Dalam setiap pertemuan daring, Emily tidak lagi melihat Mr. Whiteller secara langsung. Biasanya, perwakilan Whiteller Corp yang hadir adalah staf lain dari tim mereka. Meskipun begitu, setiap kali layar komputernya menampilkan logo perusahaan Whiteller Corp, Emily tidak bisa sepenuhnya mengabaikan rasa canggung yang muncul, terutama ketika ingatannya melayang kembali ke insiden malam itu. Meski terlihat sebagai kejadian sepele namun itu bukanlah hal yang bisa dibilang sepele.
…
Hari demi hari berlalu tanpa terasa, hingga suatu hari kabar mengejutkan datang menghampiri tim Emily. Mereka diminta terbang ke Amerika untuk melanjutkan dan menyelesaikan proyek di markas Whiteller Corp. Kabar ini menjadi tantangan besar bagi Emily, mungkin bahkan lebih besar daripada proyek itu sendiri.
ketika mendengar berita itu. Ekspresinya langsung berubah murung. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah baginya, berbeda dengan yang mungkin dipikirkan orang lain. Amerika terasa terlalu jauh, dan ada beban besar di hatinya yang menahan langkahnya.
Pikirannya langsung melayang pada ibunya, yang belakangan sering sakit-sakitan. Selama ini, tinggal di kota yang berbeda saja sudah cukup membuat Emily merasa bersalah karena hanya bisa menjenguk ibunya seminggu sekali—kadang bahkan dua minggu sekali jika kesibukan kantor menumpuk. Bagaimana jika ia harus tinggal di Amerika dalam waktu yang tidak sebentar? Jarak yang begitu jauh membuatnya tak mungkin bolak-balik setiap minggu.
Perusahaan memang menyediakan fasilitas transportasi untuk keberangkatan ke Amerika dan kepulangan ke Indonesia setelah proyek selesai. Namun, jika ia ingin pulang lebih awal, biaya perjalanan harus ditanggung sendiri. Emily tahu, gajinya tidak akan cukup untuk menutup biaya perjalanan mahal itu secara rutin. Hatinya semakin gelisah membayangkan semua itu.
Emily duduk termenung di meja kerjanya, menatap layar komputer tanpa fokus. Keputusan ini terasa seperti menghadapi jalan buntu. Di satu sisi, perannya dalam proyek sangat penting, dan perusahaan jelas membutuhkannya. Namun di sisi lain, ibunya adalah prioritas utama dalam hidupnya. Ia tidak bisa membayangkan meninggalkan ibunya dalam kondisi yang serba tidak pasti seperti ini.
Pikirannya berputar tanpa henti, merasakan beban yang semakin berat di hatinya. Dilema itu begitu nyata, antara kewajiban profesionalnya sebagai seorang pekerja dan tanggung jawabnya sebagai seorang anak. Keduanya sama-sama penting, dan Emily tak tahu bagaimana cara memilih tanpa menyakiti salah satu pihak.
Waktu terus berjalan, dan Emily tahu bahwa keputusan harus segera diambil. Namun semakin lama ia memikirkannya, semakin sulit rasanya untuk menemukan jalan keluar. Setiap opsi terasa seperti mengorbankan sesuatu yang tak tergantikan. Emily hanya bisa berharap, semoga ada jalan tengah yang bisa membuat segalanya lebih mudah untuk dijalani.
Malam itu, Emily tak kunjung bisa memejamkan mata. Pikirannya terus berputar, mencoba mencari cara untuk menghadapi situasi rumit yang kini menghantui hidupnya. Ia duduk di tepi tempat tidurnya, menggenggam ponsel dengan erat. Layar yang temaram menampilkan pesan dari manajernya, pesan yang sudah dibacanya berulang kali namun tetap membuat dadanya terasa sesak:
"Tim kita diminta terbang ke Amerika 2 minggu dari sekarang. Tolong persiapkan dokumenmu, Emily."
Kalimat itu terasa seperti beban berat yang menghimpit hati dan pikirannya. Ia tahu kesempatan ini adalah hal besar yang seharusnya membuatnya bangga. Tapi di sisi lain, pesan itu seperti sebuah lonceng peringatan yang terus menggema, mengingatkannya akan segala hal yang akan ia tinggalkan—terutama ibunya.
Emily mendesah panjang, meletakkan ponselnya di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia memandang ke luar jendela, menatap bulan yang menggantung di langit malam. Keheningan malam biasanya menenangkan, tapi kali ini hanya menambah kegelisahan di hatinya.
Berbagai skenario terus melintas di kepalanya, namun tak satu pun terasa sebagai solusi yang tepat. Emily tahu bahwa menolak tugas ini bukanlah pilihan. Tapi bagaimana dengan ibunya? Bagaimana jika sesuatu terjadi saat ia jauh di Amerika?
Emily meraih ponselnya kembali, membuka galeri foto, dan melihat foto ibunya yang tersenyum hangat.
Malam semakin larut, tapi Emily masih terjaga, pikirannya bergulat antara karir atau keluarga
Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan membungkus mereka seperti selimut hangat. Hanya suara detik jam dan hembusan angin malam yang menemani. Sylvester memandangi Emily, seolah masih tak percaya bahwa wanita ini—yang telah melewati luka, kehilangan, dan bahaya—kini berada di sampingnya. Dan lebih dari itu, akan menjadi istrinya.Emily meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu menyandarkan kepala di dada Sylvester."Kau selalu membuatku merasa dicintai," ucapnya pelan, "bahkan ketika dunia seolah menentang kita."Sylvester membelai pipi Emily, menyibakkan helai rambut yang menutupi wajahnya."Aku mencintaimu karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik. Bukan hanya untuk diriku… tapi untukmu, dan untuk keluarga kecil kita."Emily menahan napas sejenak, lalu mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca."Dan aku mencintaimu... karena kamu membuatku merasa seperti pulang."Sylvester membungkuk, mencium bibir Emily dengan lembut—sebuah ciuman y
Kembali di rumah sakit…Sylvester duduk di luar ruang tindakan, kepalanya tertunduk. Ketika dokter akhirnya keluar, wajahnya serius."Kondisinya stabil. janinnya lemah, tapi ada peluang bertahan jika tidak terjadi pendarahan lagi. Kami akan awasi 24 jam ke depan."Sylvester menghela napas, hampir roboh oleh lega dan ketakutan sekaligus.Ia masuk ke ruang rawat, duduk di samping Emily yang terbaring lemah namun sadar."Aku takut, Syl…" bisiknya pelan.Sylvester meraih tangannya dan mengecupnya lembut.…Beberapa jam telah berlalu…Langit di luar rumah sakit mulai cerah, pertanda pagi menjelang. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai kamar rawat, membasuh wajah Emily yang kini tertidur tenang di ranjang.Di sampingnya, Sylvester masih duduk setia, matanya sembab namun kini lebih tenang. Ia belum beranjak sejak Emily masuk ke ruang perawatan.Pintu kamar terbuka pelan. Seorang dokter wanita masuk dengan tablet data di tangan, tersenyum ramah.“Tuan Sylvester?”Sylvester langsung berd
BRAK! BRAK!Tembakan terus meletus dari berbagai sudut rumah. Kayu-kayu pecah, dinding bergetar, dan debu berterbangan di udara. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu akibat granat asap yang dilemparkan.“ASAP!! DIA MAU KABUR!!” teriak Sylvester sambil menunduk, melindungi Emily yang memeluk perutnya erat-erat, ketakutan.Salah satu pria bertopeng menerobos masuk dari jendela samping. Ia berlari melintasi lorong menuju dapur sambil melepaskan tembakan ke segala arah. Tapi Sylvester sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia berbalik, mengangkat pistol dan—DOR!!Pria itu terhempas ke belakang, menabrak dinding dan ambruk tanpa suara.“Satu lagi!” serunya.Dari atas, terdengar suara langkah kaki di lantai dua. Mereka tidak hanya menyerang dari bawah—mereka juga menguasai loteng.Sylvester menyambar senjata panjang yang disimpan di balik lemari dan mendorong Emily ke bawah meja dapur yang kini menjadi benteng
Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan