Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.
Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.
Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab.
"Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.
"Ada apa, El? Tumben telepon malam-malam," tanya Emily.
"Kakak jadi ke Amerika?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Emily terdiam sesaat. "Iya, kemungkinan besar," jawabnya lirih. "Kenapa, El?"
Ada jeda di seberang. Lalu, suara Elio terdengar lagi, lebih lembut kali ini. "Kakak nggak usah khawatir soal Ibu. Aku bisa jaga Ibu di sini."
Emily menarik napas panjang. "El, kamu masih muda. Kakak nggak yakin kamu bisa mengurus semuanya sendirian. Tanggung jawab ini terlalu besar untukmu."
Keheningan di ujung telepon. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Elio melanjutkan, suaranya terdengar tegas meski pelan. "Kak, Kakak sudah ngorbanin banyak hal buat kami. Giliran aku sekarang yang gantian jagain Ibu. Kakak ambil kesempatan ini. Aku janji, aku bakal kasih kabar soal Ibu terus ke Kakak."
Emily terisak kecil, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. "Tapi, El... kalau Ibu kenapa-kenapa.. “
Suara ibunya tiba-tiba terdengar di latar belakang. "Ibu nggak apa-apa, Nak," katanya lembut. " Ini giliran kamu, Emily. Pergilah. Jangan khawatirkan kami."
Suara ibunya membuat tangis Emily semakin pecah. "Tapi, Bu... kalau aku kangen, gimana?"
Terdengar tawa kecil dari Elio dan ibunya. "Kan ada videocall," jawab Elio, mencoba mencairkan suasana.
Emily tersenyum kecil di tengah tangisnya. "Tapi kalau aku mau peluk Ibu?"
"Simpan kangenmu, Nak," ujar ibunya lembut. "Nanti kalau kamu pulang, peluk Ibu sampai puas. Ibu janji bakal peluk kamu nggak lepas-lepas. Kalau perlu, Ibu kurung kamu di rumah."
Emily tertawa kecil di antara air matanya, terhibur oleh canda ibunya. Malam itu, Emily merasa beban di pundaknya sedikit lebih ringan. Cinta dan dukungan dari keluarga memberinya kekuatan baru untuk melangkah.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Emily bisa tidur dengan nyenyak. Ia tahu keputusannya sudah bulat. Keesokan harinya, ia akan menghubungi manajernya untuk menyatakan kesiapannya berangkat ke Amerika, membawa harapan keluarga bersamanya.
…
Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Emily berjalan memasuki bandara dengan perasaan campur aduk—antara gugup, sedih, dan sedikit antusias. Di area keberangkatan, ia segera bergabung dengan rekan-rekan timnya yang juga akan berangkat ke Amerika bersamanya: Leni, Jesselyn, dan Dimas.
"Semangat dong, Em!" ucap Dimas ceria, menyadari raut wajah Emily yang tampak berat.
Emily tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. "Iya, Dim. Terima kasih," jawabnya singkat.
Sementara itu, di sisi lain, Leni dan Jesselyn sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tertawa pelan sambil sesekali melirik ke arah Emily. Namun, Emily memilih untuk tidak terlalu memerhatikan mereka. Dia sudah cukup terbiasa dengan sikap mereka yang sedikit dingin terhadapnya.
Dimas, seperti biasanya, tetap ramah dan perhatian. Ia berjalan mendekat ke sisi Emily, lalu berkata dengan suara tenang, "Di sana sekarang sedang musim dingin. Kamu sudah persiapkan baju hangat, kan?"
Emily mengangguk. "Sudah, Dim. Terima kasih sudah mengingatkan."
Suasana sempat hening sejenak, tapi Dimas kembali memecahnya dengan suara rendah namun penuh ketulusan. "Aku tahu kamu punya banyak beban, Em. Tapi kamu nggak sendirian. Kamu bisa andalkan aku di sana. Lagi pula, kita ini tim, kan? Harus saling melengkapi."
Emily menatap Dimas sejenak, hatinya terasa hangat mendengar ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Dimas melanjutkan, kali ini sambil melirik ke arah Leni dan Jesselyn, yang masih asyik berbincang. "Dan soal mereka berdua… nggak usah dipikirin. Fokus aja sama kerjaan kita."
Senyum kecil muncul di wajah Emily. Kata-kata Dimas memberikan sedikit kelegaan. "Terima kasih, Dim. Aku benar-benar menghargai itu."
Dimas mengangguk santai, lalu memberi Emily jempol. "Santai aja."
Saat itu, pengumuman untuk penerbangan mereka terdengar. Mereka segera bersiap menuju pintu keberangkatan. Emily menarik napas panjang, menatap sekali lagi ke arah layar ponselnya—foto ibunya dan Elio yang ia pasang sebagai wallpaper kemudian melangkah mantap bersama timnya menuju pesawat. Perjalanan baru ini baru saja dimulai.
…
Pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Udara dingin langsung terasa begitu Emily dan timnya turun dari pesawat. Ini pertama kalinya ia merasakan musim dingin secara langsung.
Di pintu kedatangan, seorang pria yang sudah tak asing berdiri menunggu mereka. Beni, asisten Mr. Whiteller, melambaikan tangan sambil tersenyum tipis begitu melihat rombongan mereka.
"Selamat datang di New York," sapanya dengan nada sopan namun formal. "Semoga perjalanan kalian menyenangkan."
Dimas menyambut dengan ramah, "Halo, Beni! Terima kasih sudah menjemput kami."
Beni hanya mengangguk sebelum beralih ke Emily. Matanya menatapnya sesaat, lalu berkata, "Kabar baik melihat mu di sini, Emily."
Emily hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Beni."
Setelah memastikan semua barang bawaan tim sudah diangkut, Beni mengantar mereka ke sebuah van hitam yang sudah menunggu di luar. Perjalanan ke apartemen yang akan mereka tinggali memakan waktu sekitar satu jam. Selama perjalanan, Emily memandangi pemandangan kota New York melalui jendela. Gedung-gedung pencakar langit yang megah membuatnya terpesona, meskipun kelelahan masih terasa di tubuhnya.
Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan membungkus mereka seperti selimut hangat. Hanya suara detik jam dan hembusan angin malam yang menemani. Sylvester memandangi Emily, seolah masih tak percaya bahwa wanita ini—yang telah melewati luka, kehilangan, dan bahaya—kini berada di sampingnya. Dan lebih dari itu, akan menjadi istrinya.Emily meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu menyandarkan kepala di dada Sylvester."Kau selalu membuatku merasa dicintai," ucapnya pelan, "bahkan ketika dunia seolah menentang kita."Sylvester membelai pipi Emily, menyibakkan helai rambut yang menutupi wajahnya."Aku mencintaimu karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik. Bukan hanya untuk diriku… tapi untukmu, dan untuk keluarga kecil kita."Emily menahan napas sejenak, lalu mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca."Dan aku mencintaimu... karena kamu membuatku merasa seperti pulang."Sylvester membungkuk, mencium bibir Emily dengan lembut—sebuah ciuman y
Kembali di rumah sakit…Sylvester duduk di luar ruang tindakan, kepalanya tertunduk. Ketika dokter akhirnya keluar, wajahnya serius."Kondisinya stabil. janinnya lemah, tapi ada peluang bertahan jika tidak terjadi pendarahan lagi. Kami akan awasi 24 jam ke depan."Sylvester menghela napas, hampir roboh oleh lega dan ketakutan sekaligus.Ia masuk ke ruang rawat, duduk di samping Emily yang terbaring lemah namun sadar."Aku takut, Syl…" bisiknya pelan.Sylvester meraih tangannya dan mengecupnya lembut.…Beberapa jam telah berlalu…Langit di luar rumah sakit mulai cerah, pertanda pagi menjelang. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai kamar rawat, membasuh wajah Emily yang kini tertidur tenang di ranjang.Di sampingnya, Sylvester masih duduk setia, matanya sembab namun kini lebih tenang. Ia belum beranjak sejak Emily masuk ke ruang perawatan.Pintu kamar terbuka pelan. Seorang dokter wanita masuk dengan tablet data di tangan, tersenyum ramah.“Tuan Sylvester?”Sylvester langsung berd
BRAK! BRAK!Tembakan terus meletus dari berbagai sudut rumah. Kayu-kayu pecah, dinding bergetar, dan debu berterbangan di udara. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu akibat granat asap yang dilemparkan.“ASAP!! DIA MAU KABUR!!” teriak Sylvester sambil menunduk, melindungi Emily yang memeluk perutnya erat-erat, ketakutan.Salah satu pria bertopeng menerobos masuk dari jendela samping. Ia berlari melintasi lorong menuju dapur sambil melepaskan tembakan ke segala arah. Tapi Sylvester sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia berbalik, mengangkat pistol dan—DOR!!Pria itu terhempas ke belakang, menabrak dinding dan ambruk tanpa suara.“Satu lagi!” serunya.Dari atas, terdengar suara langkah kaki di lantai dua. Mereka tidak hanya menyerang dari bawah—mereka juga menguasai loteng.Sylvester menyambar senjata panjang yang disimpan di balik lemari dan mendorong Emily ke bawah meja dapur yang kini menjadi benteng
Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan