Share

BAB 7

Author: Sang Penulis
last update Last Updated: 2024-12-02 23:13:03

Proyek Whiteller Corp adalah yang terbesar dalam karier Emily, kesempatan emas yang bisa membawa perubahan besar dalam hidupnya. Namun, setiap kali pikirannya melayang ke Amerika, bayangan wajah ibunya selalu datang menghantui. Ia merasa terjebak di antara tanggung jawab karier dan cinta yang mendalam untuk keluarganya.

Malam itu, Emily duduk termenung di tepi tempat tidurnya, menatap layar ponselnya yang menampilkan foto keluarga—ibunya dan Elio, adik laki-lakinya, tersenyum hangat di depan rumah mereka yang sederhana. Itu adalah dunianya, sumber kekuatannya untuk bertahan di tengah kerasnya kehidupan kota besar. Tapi, saat ini, dunia itu terasa begitu jauh dari keputusan yang harus diambilnya.

Tiba-tiba, teleponnya bergetar. Nama Elio muncul di layar, mengejutkannya. Elio jarang menelepon, apalagi di malam hari seperti ini. Emily segera menggeser layar untuk menjawab.

"Halo, Kak," suara Elio terdengar ragu, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.

"Ada apa, El? Tumben telepon malam-malam," tanya Emily.

"Kakak jadi ke Amerika?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Emily terdiam sesaat. "Iya, kemungkinan besar," jawabnya lirih. "Kenapa, El?"

Ada jeda di seberang. Lalu, suara Elio terdengar lagi, lebih lembut kali ini. "Kakak nggak usah khawatir soal Ibu. Aku bisa jaga Ibu di sini."

Emily menarik napas panjang. "El, kamu masih muda. Kakak nggak yakin kamu bisa mengurus semuanya sendirian. Tanggung jawab ini terlalu besar untukmu."

Keheningan di ujung telepon. Tapi sebelum ia bisa berkata lebih banyak, Elio melanjutkan, suaranya terdengar tegas meski pelan. "Kak, Kakak sudah ngorbanin banyak hal buat kami. Giliran aku sekarang yang gantian jagain Ibu. Kakak ambil kesempatan ini. Aku janji, aku bakal kasih kabar soal Ibu terus ke Kakak."

Emily terisak kecil, air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh. "Tapi, El... kalau Ibu kenapa-kenapa.. “

Suara ibunya tiba-tiba terdengar di latar belakang. "Ibu nggak apa-apa, Nak," katanya lembut. " Ini giliran kamu, Emily. Pergilah. Jangan khawatirkan kami."

Suara ibunya membuat tangis Emily semakin pecah. "Tapi, Bu... kalau aku kangen, gimana?"

Terdengar tawa kecil dari Elio dan ibunya. "Kan ada videocall," jawab Elio, mencoba mencairkan suasana.

Emily tersenyum kecil di tengah tangisnya. "Tapi kalau aku mau peluk Ibu?"

"Simpan kangenmu, Nak," ujar ibunya lembut. "Nanti kalau kamu pulang, peluk Ibu sampai puas. Ibu janji bakal peluk kamu nggak lepas-lepas. Kalau perlu, Ibu kurung kamu di rumah."

Emily tertawa kecil di antara air matanya, terhibur oleh canda ibunya. Malam itu, Emily merasa beban di pundaknya sedikit lebih ringan. Cinta dan dukungan dari keluarga memberinya kekuatan baru untuk melangkah.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Emily bisa tidur dengan nyenyak. Ia tahu keputusannya sudah bulat. Keesokan harinya, ia akan menghubungi manajernya untuk menyatakan kesiapannya berangkat ke Amerika, membawa harapan keluarga bersamanya.

Hari keberangkatan itu akhirnya tiba. Emily berjalan memasuki bandara dengan perasaan campur aduk—antara gugup, sedih, dan sedikit antusias. Di area keberangkatan, ia segera bergabung dengan rekan-rekan timnya yang juga akan berangkat ke Amerika bersamanya: Leni, Jesselyn, dan Dimas.

"Semangat dong, Em!" ucap Dimas ceria, menyadari raut wajah Emily yang tampak berat.

Emily tersenyum tipis, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan. "Iya, Dim. Terima kasih," jawabnya singkat.

Sementara itu, di sisi lain, Leni dan Jesselyn sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tertawa pelan sambil sesekali melirik ke arah Emily. Namun, Emily memilih untuk tidak terlalu memerhatikan mereka. Dia sudah cukup terbiasa dengan sikap mereka yang sedikit dingin terhadapnya.

Dimas, seperti biasanya, tetap ramah dan perhatian. Ia berjalan mendekat ke sisi Emily, lalu berkata dengan suara tenang, "Di sana sekarang sedang musim dingin. Kamu sudah persiapkan baju hangat, kan?"

Emily mengangguk. "Sudah, Dim. Terima kasih sudah mengingatkan."

Suasana sempat hening sejenak, tapi Dimas kembali memecahnya dengan suara rendah namun penuh ketulusan. "Aku tahu kamu punya banyak beban, Em. Tapi kamu nggak sendirian. Kamu bisa andalkan aku di sana. Lagi pula, kita ini tim, kan? Harus saling melengkapi."

Emily menatap Dimas sejenak, hatinya terasa hangat mendengar ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Dimas melanjutkan, kali ini sambil melirik ke arah Leni dan Jesselyn, yang masih asyik berbincang. "Dan soal mereka berdua… nggak usah dipikirin. Fokus aja sama kerjaan kita."

Senyum kecil muncul di wajah Emily. Kata-kata Dimas memberikan sedikit kelegaan. "Terima kasih, Dim. Aku benar-benar menghargai itu."

Dimas mengangguk santai, lalu memberi Emily jempol. "Santai aja."

Saat itu, pengumuman untuk penerbangan mereka terdengar. Mereka segera bersiap menuju pintu keberangkatan. Emily menarik napas panjang, menatap sekali lagi ke arah layar ponselnya—foto ibunya dan Elio yang ia pasang sebagai wallpaper kemudian melangkah mantap bersama timnya menuju pesawat. Perjalanan baru ini baru saja dimulai.

Pesawat akhirnya mendarat di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York. Udara dingin langsung terasa begitu Emily dan timnya turun dari pesawat. Ini pertama kalinya ia merasakan musim dingin secara langsung.

Di pintu kedatangan, seorang pria yang sudah tak asing berdiri menunggu mereka. Beni, asisten Mr. Whiteller, melambaikan tangan sambil tersenyum tipis begitu melihat rombongan mereka.

"Selamat datang di New York," sapanya dengan nada sopan namun formal. "Semoga perjalanan kalian menyenangkan."

Dimas menyambut dengan ramah, "Halo, Beni! Terima kasih sudah menjemput kami."

Beni hanya mengangguk sebelum beralih ke Emily. Matanya menatapnya sesaat, lalu berkata, "Kabar baik melihat mu di sini, Emily."

Emily hanya tersenyum kecil. "Terima kasih, Beni."

Setelah memastikan semua barang bawaan tim sudah diangkut, Beni mengantar mereka ke sebuah van hitam yang sudah menunggu di luar. Perjalanan ke apartemen yang akan mereka tinggali memakan waktu sekitar satu jam. Selama perjalanan, Emily memandangi pemandangan kota New York melalui jendela. Gedung-gedung pencakar langit yang megah membuatnya terpesona, meskipun kelelahan masih terasa di tubuhnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 8

    "New York ini luar biasa ya," gumamnya pelan.Dimas, yang duduk di sampingnya, menoleh. "Iya, Em. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Kita harus menikmatinya."Sementara itu, Leni dan Jesselyn tampak sibuk memotret pemandangan dari dalam mobil, mengunggah foto-foto mereka ke media sosial sambil sesekali tertawa kecil. Emily memilih untuk diam, membiarkan dirinya menikmati momen ini dalam ketenangan.Tak lama kemudian, van berhenti di depan sebuah gedung apartemen modern yang menjulang tinggi. Beni keluar lebih dulu, membukakan pintu untuk mereka."Ini tempat kalian selama di New York," kata Beni sambil memimpin mereka masuk ke lobi apartemen yang tampak mewah. "Tuan Whiteller memastikan tempat ini nyaman untuk kalian."Leni dan Jesselyn tampak terkesan, terlihat dari mata mereka yang berbinar. "Wah, mewah banget!" seru Jesselyn.Dimas mengangguk setuju. "Kayaknya bakal betah tinggal di sini."Beni membawa mereka ke lantai dimana tempat unit apartemen mereka berada. Saat pintu u

    Last Updated : 2024-12-03
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 9

    Mr. Whiteller sedang berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tertuju ke arah mereka berdua—atau lebih tepatnya, ke arah Emily. Terkejut, Emily segera menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat, merasa canggung karena tertangkap basah.Wanita itu, tanpa terlihat terganggu, justru melanjutkan dengan santai, “Aku dengar dia tidak suka perempuan.”Emily menoleh dengan ekspresi kaget, alisnya terangkat. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.Wanita itu terkekeh kecil, seolah puas dengan reaksi Emily. “Kudengar dia sangat keras dalam hal pekerjaan, terutama kepada perempuan. Tapi itu hanya gosip kantor, sih,” ujarnya sambil mengedikkan bahu, seolah tidak peduli apakah gosip itu benar atau tidak.Emily merasa tak nyaman mendengar pembicaraan seperti itu, apalagi di satu ruangan yang sama dengan Mr. Whiteller. Tapi sebelum ia sempat merespons, wanita itu sudah mengulurkan tangannya dengan senyum ramah.“Ngomong-ngomong, aku Amore,” katanya memperkenalkan diri.Emily, meski masih sediki

    Last Updated : 2024-12-04
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 10

    “Emily, kamu bisa nggak sih lebih cepat sedikit? Kita nggak mau proyek ini tertunda gara-gara kamu, loh,” ucap Jesselyn suatu hari, dengan nada yang lebih merendahkan daripada membantu.“Iya, Jess benar. Lagian, ini kan konsep kamu. Harusnya kamu sudah tahu semuanya luar kepala, kan?” tambah Leni, dengan senyum mengejek.Emily hanya mengangguk kecil, berusaha menahan diri agar tidak terpancing emosi. Ia tahu bahwa terlibat dalam konflik hanya akan memperburuk situasi, terutama di lingkungan kerja seperti ini.Namun, ejekan dan sindiran itu tidak berhenti di situ. Di depan karyawan Whiteller Corp, Leni dan Jesselyn sering membuat komentar yang membuat Emily merasa tidak dihargai.“Emily ini tipe yang suka kerja sendirian. Jadi, jangan kaget kalau dia jarang ngomong,” ujar Leni suatu kali, disusul tawa kecil dari Jesselyn.“Ya, mungkin dia butuh waktu adaptasi lebih lama,” tambah Jesselyn dengan nada sinis.Emily merasa semakin terpojok. Di ruangan yang seharusnya menjadi tempat kolabor

    Last Updated : 2024-12-05
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 11

    Setelah beberapa saat, Mr. Whiteller bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah mereka. Emily langsung duduk tegak, merasa seperti seorang siswa yang dipanggil guru di depan kelas."Emily, Dimas," sapa Mr. Whiteller dengan suara tenang namun tegas."Good evening, sir," jawab Emily, suaranya sedikit bergetar.Mr. Whiteller mengangguk sopan. "Saya tidak menyangka akan bertemu kalian berdua di sini. Makan malam yang menyenangkan?""Ya, sir. Kami hanya mencoba menikmati waktu luang," jawab Dimas dengan senyum santai, mencoba mencairkan suasana.Mr. Whiteller mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum di wajahnya. "Bagus. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan Antara pekerjaan dan kehidupan pribadi"Perempuan yang bersama Mr. Whiteller berjalan mendekat. Ia tersenyum ramah sambil memperkenalkan diri. " Halo, Alice” ucapnya sambil mengulurkan tangan.Emily dan Dimas segera menjabat tangannya. "Emily," ucap Emily singkat."Dan saya Dimas," tambah Dimas.Setelah perbincangan singkat i

    Last Updated : 2024-12-05
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 12

    Dengan kepala sedikit terangkat, Leni melangkah keluar dari kantin. Teman temannya, yang sejak tadi hanya mendukungnya dari belakang, segera mengikuti tanpa banyak bicara. Mereka meninggalkan kantin dengan suasana yang masih dipenuhi bisik-bisik kecil, namun Leni merasa telah berhasil menenangkan situasi—setidaknya untuk dirinya sendiri.Insiden di kantin, meskipun terlihat selesai, namun kejadian ini mulai menyebar ke seluruh lingkungan kantor, menjadi bahan perbincangan orang orang.…Setelah berganti pakaian dan merapihkan kembali penampilannya. Emily memutuskan untuk ke rooftop kantor, sambil berjalan pelan ia memakan sebungkus kue untuk mengisi perutnya dikarenakan ia belum sempat makan saat di kantin tadi. Udara sejuk menyambutnya saat ia tiba, sedikit menusuk kulit namun justru terasa menenangkan. Pemandangan gedung-gedung tinggi dan kota membuatnya merasa lebih ringan, meski hanya sedikit. Suasana yang sunyi dan jauh dari keramaian kantor adalah apa yang ia butuhkan.Namun, sa

    Last Updated : 2024-12-06
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 13

    Jesselyn, yang merasa situasi semakin panas, mencoba mengalihkan perhatian. "Bagaimana kalau kita selesaikan pembicaraan ini nanti, setelah semua lebih tenang?"Namun, Leni tidak peduli. Ia menunjuk ke arah Dimas. "Kamu ini kenapa, sih? Bukannya mendukung tim sendiri, kamu malah berpihak pada dia! Apa kamu nggak sadar, Dimas? Dia cuma beban buat kita! Karyawan disini banyak yang tidak nyaman dengan bau badannya dia"Dimas mengepalkan tangannya, berusaha keras menahan amarahnya. "Kalau ada yang membuat tim kita terlihat buruk, itu bukan Emily, Itu kamu. Dengan sikapmu yang tidak profesional, dengan mulutmu yang tidak bisa dijaga. Kita ke sini untuk bekerja, bukan untuk drama seperti ini. aku tidak melihat orang orang merasa tidak nyaman, hanya kamu saja yang melebih lebihkan"Leni membuka mulutnya untuk membalas, tetapi Jesselyn segera menengahi, "Oke, cukup! Leni, Dimas. Kita tim, ingat? Dan kalau kita terus bertengkar seperti ini, yang rugi adalah kita sendiri."“ kamu pun terlibat

    Last Updated : 2024-12-07
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 14

    “Jadi, kau belum pernah berpacaran?” tanya Amore dengan nada penasaran, sambil mengaduk minumannya.“Ya,” jawab Emily singkat, tanpa banyak ekspresi.Amore terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu sebelum membuka suara lagi. “Sepertinya temanmu itu bukan orang yang baik.”“Yang mana?” tanya Emily, meskipun sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.“Satu tim denganmu,” jawab Amore, mengerutkan dahi.Emily hanya diam, memilih untuk tidak menanggapi.“Lalu, kau dengan Dimas?” tanya Amore lagi, kali ini dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.“Kami tidak ada apa-apa,” jawab Emily sambil tersenyum tipis. “Kami memang cukup dekat, tapi hanya sebatas rekan kerja.”“Hmm, aku kira kalian berpacaran,” ucap Amore sambil mengangguk-angguk kecil.“Tidak mungkin,” jawab Emily cepat.“Kalau begitu, siapa pria idamanmu?” tanya Amore, alisnya terangkat seolah ingin mengungkap rahasia besar.Emily tertawa kecil. “Hmm… aku sedang tergila-gila dengan Jungkook dari BTS,” jawabnya sambil tersenyum lebar.Me

    Last Updated : 2024-12-08
  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 15

    Tak lama setelah itu, mata Emily menangkap sosok yang sangat ia kenali. Mr. Whiteller berjalan ke arah mereka dengan langkah santai namun penuh wibawa. Emily langsung bangkit dari kursinya, berusaha menjaga sikap seformal mungkin."Selamat malam, Sir," sapa Emily sopan sambil sedikit menundukkan kepala."Selamat malam," balas Mr. Whiteller sambil tersenyum tipis. Kemudian matanya melirik ke arah Amore yang sudah setengah terlelap di kursinya. "Terima kasih sudah menjaganya," ucapnya sambil mengangguk rngan ke arah Emily."Ahh... tampannya aku," gumam Amore di antara tawa kecilnya, membuat Emily tersenyum canggung."Ikut kami. Aku akan mengantar ke apartemen mu," tawar Mr. Whiteller."Oh, tidak, tidak perlu, Sir. Setelah ini saya masih ingin mampir ke suatu tempat. Anda bisa pulang lebih dulu," tolak Emily sopan namun tegas.Mr. Whiteller mengangguk, menghormati keputusan Emily. "Baiklah, kami akan pergi lebih dulu," ucapnya singkat. Dengan sigap, ia membungkuk dan menggendong Amore ta

    Last Updated : 2024-12-09

Latest chapter

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 140

    Emily menoleh cepat, suaranya bergetar."Kamu pikir… dia sengaja?"Sylvester mengangguk pelan, wajahnya penuh kekhawatiran."Aku nggak suka ini. Pertama, motor tadi di pasar hampir menabrakmu. Sekarang mobil ini. Terlalu kebetulan untuk jadi kebetulan."Ibu Emily menggenggam sandaran kursi depan, wajahnya mulai cemas."Kalau begitu kita harus pulang sekarang juga. Jangan berhenti di mana pun.""Iya, Bu." Sylvester segera menyalakan lampu sein dan kembali masuk ke jalur. Ia menjaga kecepatan stabil, tapi matanya waspada, terus memeriksa spion dan jendela.Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang mencekam, sampai akhirnya Emily berbisik,"Apa ini ada kaitannya dengan Carol?"Sylvester langsung menoleh cepat, jelas terkejut mendengar Emily menyebut nama itu. Tapi ia segera menyadari sang ibu ada di belakang."aku tidak tahu tapi Itu yang aku khawatirkan," katanya pelan. "Tapi selama kamu bersamaku, kamu aman. Aku janji.""Carol? Siapa Carol?" tanya sang ibu heran dari belakang.Sylve

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 139

    ...Mobil melaju perlahan melewati jalanan kota kecil yang mulai ramai. Di dalam mobil, Sylvester menyetir, sementara Emily duduk di kursi depan, dan sang ibu di belakang, memandangi keluar jendela dengan tenang.Mereka tiba di pasar tradisional yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai oleh pedagang dan pembeli. Udara pagi terasa segar, meski sedikit bau rempah dan ikan asin menyengat dari beberapa sudut pasar."Kita ke bagian sayur dulu," ujar sang ibu sambil menyesuaikan tas belanja di pundaknya.Sylvester dan Emily mengangguk dan mengikuti. Emily menggenggam lengan Sylvester tanpa berkata apa-apa, dan Sylvester membalasnya dengan senyum kecil.Mereka menyusuri lorong-lorong pasar, melewati pedagang sayur, buah, dan bumbu dapur. Sang ibu terlihat sangat lihai memilih bahan—mengetuk-ngetuk semangka, mencium daun bawang, dan menawar harga sambil sesekali bercanda dengan pedagang langganannya."Ibu kamu jago sekali menawar," bisik Sylvester ke Emily sambil terkagum-kagum.Emily terki

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 138

    Setelah makan malam selesai dan dapur dirapikan, malam kembali sunyi. Hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan dan dengung halus dari luar jendela.Pintu kamar Emily terbuka sedikit, cahaya lampu dari lorong mengintip masuk. Ibu Emily berdiri di ambang pintu, lalu mengetuk pelan sambil memanggil dengan suara lembut,"Kak..."Emily menoleh dari tempat tidurnya."Belum tidur, Bu."Sambil tersenyum tipis, sang ibu masuk ke dalam dan duduk di tepi tempat tidur. Emily bergeser sedikit, memberi ruang. Sang ibu meraih tangan putrinya, menggenggamnya dengan hangat."Bagaimana kondisi Kakak? Ada yang sakit? Atau butuh sesuatu?""Enggak, Bu. Aku baik-baik saja," jawab Emily sambil tersenyum tipis.Sang ibu diam sejenak, seperti menimbang sesuatu sebelum akhirnya bertanya,"Kalian… sudah berapa lama menjalin hubungan?"Emily menarik napas sebentar, mencoba mengingat."Mungkin sekitar sebulan atau dua bulan, Bu. Aku sendiri nggak terlalu menghitung.""Kenapa kalian memutuskan berpaca

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 137

    Sebuah tamparan mendarat di pipi Sylvester."Ibu!" seru Emily terkejut."Itu untukmu—yang membawa pengaruh buruk pada anakku."PLAK!"Untukmu—yang merenggut mahkota anakku."PLAK!"Untuk kehamilan ini yang menghancurkan hati seorang ibu."PLAK!"Dan ini, kalau kau sampai lepas tanggung jawab."Sylvester tidak mengelak. Ia menerima semuanya dengan kepala tertunduk."Saya terima, Bu. Saya pantas menerimanya."Suasana hening beberapa detik. Sang ibu memejamkan mata, menarik napas dalam, lalu berkata pelan:"Boleh Ibu duduk?"Emily langsung berdiri dan mempersilakan."Tentu, Bu. Silakan duduk."Sang ibu duduk di kursi seberang mereka. Tatapannya tajam tapi tidak lagi penuh amarah, hanya kelelahan seorang ibu yang sedang mencoba memahami."Ibu... maafkan aku," ucap Emily dengan suara bergetar."Aku tahu ini mengejutkan. Aku tahu aku mengecewakan Ibu."Sang ibu menggeleng perlahan."Kamu tidak mengecewakan Ibu, Emily. Kamu hanya membuat Ibu sangat takut."Emily tertunduk. Sylvester masih me

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 136

    Emily menoleh, lalu menggenggam tangan Sylvester."Bu, ini Sylvester..."Sylvester menunduk sopan."Selamat siang, Bu. Saya kekasih Emily."Emily menatapnya terkejut—bukan karena kata-katanya, tapi karena... Sylvester berbicara dalam bahasa Indonesia."Weh, hebat! Kamu udah berapa lama tinggal di Indonesia, kok bisa bahasa Indonesia?" tanya sang ibu sambil terkekeh."Semenjak bersama Emily, Bu. Saya masih belajar." jawab Sylvester ramah."Loh, kamu kok nggak bilang-bilang, Emily? Punya pacar bule!" goda ibunya sambil menepuk pelan lengan anaknya.Emily hanya meringis, lalu tertawa."Yasudah, ayo masuk. Kita ngobrol di dalam," ajak sang ibu hangat.Emily menggandeng tangan Sylvester masuk ke dalam rumah, sambil berbisik,"Sejak kapan kamu bisa bahasa Indonesia? Kenapa aku nggak tahu?""Masih tahap belajar," bisik Sylvester sambil tersenyum. "Tapi aku yakin, seminggu lagi aku akan fasih.""Sangat tidak adil," gumam Emily sambil duduk di sofa ruang tamu. "Kau kaya, kau tampan, dan sekara

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 135

    Dokter hanya membalas dengan senyuman tenang, lalu mulai melakukan pemeriksaan fisik sederhana di bagian perut Emily.Beberapa menit kemudian, Emily kembali duduk di samping Sylvester, menggenggam tangannya erat. Tangannya dingin, dan wajahnya terlihat lebih pucat dari sebelumnya."Apa pun hasilnya, kita hadapi bersama," bisik Sylvester, jemarinya menyentuh pipi Emily dengan penuh kelembutan.Tak lama, pintu diketuk. Dokter masuk kembali sambil membawa sebuah amplop berisi hasil tes. Ia duduk, menatap mereka berdua dengan sorot mata hangat."Emily... selamat. Hasil tesnya positif. Kamu hamil."Seketika, waktu seolah berhenti.Emily menatap dokter itu dengan pandangan kosong, seakan otaknya butuh waktu untuk benar-benar mencerna kata-kata tersebut. Ia perlahan menoleh ke arah Sylvester, yang kini menatapnya penuh haru, tak mampu menyembunyikan campuran antara syok dan kebahagiaan."Aku... hamil?" bisiknya, hampir tak terdengar.Sylvester mengangguk perlahan, lalu merengkuhnya ke dalam

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 134

    Cahaya matahari menembus tirai kamar, membasuh ruangan dengan kehangatan lembut. Di dalam kamar, Emily tengah bersiap. Gaun sederhana berwarna biru muda membalut tubuhnya, rambutnya disisir rapi ke belakang. Tapi sebelum sempat menyentuh sepatu di dekat ranjang, perutnya tiba-tiba terasa mual.Ia buru-buru menutup mulut, lalu berlari ke kamar mandi."Ugh..." suara muntah terdengar, disusul oleh isakan kecil yang tertahan.Sylvester, yang baru saja datang membawa jaketnya, sontak panik."Emily?" Ia segera menghampiri, langkahnya cepat dan wajahnya cemas.Ia berdiri di ambang pintu kamar mandi yang terbuka setengah, melihat Emily berpegangan pada wastafel dengan wajah pucat."Em, kamu baik-baik saja?" tanyanya lembut, hampir berbisik.Emily berdiri lemas, membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia mencoba tersenyum melalui cermin"Aku nggak tahu... tiba-tiba saja mual."Sylvester masuk dan memegang bahunya dengan hati-hati, seolah takut menyakitinya."Kamu sakit? Kita nggak usah ke mana-ma

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 133

    Malam itu, Di balkon lantai dua rumah Sylvester, angin malam bertiup pelan, membawa aroma segar.Emily berdiri di sana, mengenakan sweater hangat dan syal tipis, memandang ke kejauhan. Hatinya terasa lebih ringan dibandingkan hari-hari sebelumnya.Langkah kaki ringan terdengar dari dalam."Kau kedinginan?" suara Sylvester lembut menghampiri.Emily menoleh, tersenyum kecil."Sedikit. Tapi pemandangannya terlalu indah untuk dilewatkan."Sylvester tersenyum, lalu mengangkat sesuatu di tangannya — sebotol wine merah dan dua gelas."Kupikir... kita pantas merayakan malam ini."Emily mengangkat alis."Merayakan apa?"Sylvester menuangkan wine ke dalam kedua gelas, lalu menyerahkan satu padanya. Ia menatap Emily dalam-dalam, sorot matanya begitu hangat dan tulus."Merayakan hidup." katanya pelan. "Dan kau... yang masih bersamaku di sini."Emily terdiam, dadanya menghangat. Ia menerima gelas itu, lalu mengan

  • Tatapan Mr. Whiteller Membuatku Berdebar   BAB 132

    "Gila..." gumam Ben pelan, suaranya serak."Aku nggak nyangka... tempat tadi ternyata benar-benar terpencil."Sylvester yang duduk di kursi pengemudi, melirik ke kaca spion tengah."Aku juga nggak," katanya pelan."Carol menyembunyikan tempat itu dengan sangat rapi. Bahkan GPS pun nggak bisa mendeteksi koordinatnya secara akurat."Ben menggeleng pelan, masih tak percaya."Rasanya... kayak baru keluar dari dunia lain. Aku bahkan sempat mikir kita udah bukan di kota yang sama lagi. Atau... bahkan bukan di negara yang sama.""Kita di California," ucap Sylvester tiba-tiba, nadanya datar tapi cukup membuat keheningan kembali tegang."APA?!" seru Ben dan Emily bersamaan.Sylvester mengangguk."Yah... aku pun sama terkejutnya dengan kalian saat tahu keberadaan kalian. Aku dapat koordinat kasar dari penyadapan yang nyaris tak sengaja."Ben mengerutkan kening."Kapan dia memindahkan kami? Apa kita tidak sadarkan diri selama itu?" tanyanya, menoleh pada Emily.Gadis itu menggeleng perlahan, sua

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status