"Menarik," ujar Beni akhirnya. "Namun, saya ingin tahu, apakah insiden tadi benar-benar mencerminkan dirinya, atau justru cerminan dinamika tim Anda sendiri?"
Leni terlihat sedikit kaget, tapi dengan cepat menyembunyikan reaksi itu di balik senyum diplomatisnya. "Oh, tentu saja tim kami sangat solid, Pak. Insiden tadi hanyalah sebuah ketidaksengajaan. Saya hanya ingin memastikan Anda dan Mr. Whiteller tidak salah paham terhadap kualitas kerja kami secara keseluruhan."
Pak Boy, yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, akhirnya angkat bicara. Ia menyadari bahwa Leni mencoba menyudutkan Emily dengan cara halus di hadapan Mr. Whiteller dan Beni.
"Maaf, boleh saya menambahkan sesuatu?" ucap Pak Boy dengan nada yang tenang namun tegas. Ia menatap langsung ke arah Mr. Whiteller dan Beni, berusaha memastikan kata-katanya didengar dengan jelas.
"Tentu, silakan," jawab Mr. Whiteller sambil melipat tangannya di atas meja.
Pak Boy melanjutkan, "Saya memahami kekhawatiran yang Leni sampaikan, namun saya rasa penting untuk memberikan gambaran yang lebih seimbang tentang Emily."
Ia menoleh sekilas ke arah Leni, memberikan tatapan yang penuh arti sebelum kembali berbicara. "Emily adalah salah satu anggota tim kami yang paling berdedikasi. Dia memang masih muda, tapi saya melihat banyak potensi besar dalam dirinya. Insiden tadi mungkin terjadi karena tekanan situasi, bukan karena kurangnya kemampuan atau niat baik."
Leni terlihat gelisah di kursinya, tetapi ia tetap mencoba menjaga wajahnya agar tidak menunjukkan rasa terganggu.
"Yang saya hargai dari Emily," tambah Pak Boy dengan senyum kecil, "adalah sikapnya yang tidak pernah menyerah. Meski mengalami tantangan, dia selalu berusaha untuk bangkit dan memperbaiki diri. Itulah yang menurut saya patut dihargai, dan alasan mengapa saya yakin dia bisa menjadi aset besar untuk tim kami."
Mr. Whiteller tampak merenungkan kata-kata itu. Ia melirik Beni sejenak
Pak Boy tersenyum sopan. "saya minta maaf dan sangat berterima kasih atas pengertian Anda, Tuan Whiteller dan pak beni. Kami akan memastikan insiden seperti tadi tidak terulang lagi. Dan saya yakin Emily sendiri akan bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuannya."
Mr. Whiteller mengangguk perlahan.
Pak Boy mengangguk penuh rasa hormat. "Kami tidak akan mengecewakan Anda, Pak."
Percakapan itu berakhir dengan suasana yang lebih hangat. Meskipun Leni merasa usahanya untuk menjatuhkan Emily tidak berhasil, ia tetap tersenyum, meski senyuman itu terasa dipaksakan.
…
Lupa sudah bahwa ia sebenarnya harus membasuh tangannya yang memerah akibat insiden tadi. Setelah beberapa saat mencoba menenangkan diri, Emily menarik napas panjang, memaksa dirinya untuk kembali ke ruang makan malam. Begitu sampai di ruang makan, ia melihat Pak Boy dan juga jesselyn yang tampak sedang membereskan beberapa dokumen di meja.
"Mereka sudah pulang, Pak?" tanya Emily, matanya mencari-cari sosok Mr. Whiteller dan asistennya, Beni, di sekitar ruangan.
"Baru saja keluar," jawab Pak Boy
“ kamu terlalu lama em, mereka baru saja pulang” tambah dimas.
Emily tidak bisa diam begitu saja. Ia merasa perlu untuk meminta maaf lagi, kali ini dengan lebih serius, lebih tulus. Tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju pintu keluar restoran, berharap bisa mengejar Mr. Whiteller dan Beni sebelum mereka benar-benar pergi.
Di depan restoran, Emily melihat Mr. Whiteller yang sudah hendak masuk ke mobil mewahnya.
"Tuan Whiteller!" panggil Emily dengan suara yang sedikit serak, matanya terburu-buru mencari pandangan pria itu.
Pria itu berhenti sejenak, lalu menoleh perlahan. Matanya yang hijau seperti memancarkan kekuatan yang langsung menusuk ke dalam hati Emily, membuatnya semakin gugup dan tidak tahu harus berkata apa.
"Maafkan saya, Tuan," ucap Emily "Saya sungguh minta maaf atas kejadian tadi. Saya benar-benar tidak bermaksud membuat keributan seperti itu."
Mr. Whiteller hanya menatapnya beberapa detik dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia mengangguk tipis dan melangkah menuju mobilnya, diikuti oleh Beni yang segera membuka pintu. Emily berdiri terpaku
Namun, sebelum ia sempat beranjak, tiba-tiba mobil itu berhenti lagi. Pintu belakang terbuka, dan Beni keluar, berjalan mendekati Emily dengan langkah tenang dan penuh ketenangan.
"Bisa ikut saya, Nona?" tanya Beni dengan sopan, sambil menunjuk ke arah mobil yang terparkir tak jauh dari mobil Mr. Whiteller.
Emily terkejut, tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya mengangguk dan mengikuti Beni tanpa banyak bertanya. Dalam hati, ia merasa bingung, karena tidak ada yang salah dengan dirinya.
…
" ini cuma memerah biasa, pak beni," ucap Emily dengan nada setengah memprotes, merasa situasi ini terlalu berlebihan. "Kalau dikompres pun akan kembali normal, saya rasa ini tidak perlu” tambah Emily saat ia diberitahu akan dibawa ke rumah sakit
Namun, Beni tetap berjalan tenang, tak terpengaruh dengan penolakan itu. "Tuan Whiteller yang memerintahkan langsung,," jawab Beni dengan sopan. "Saya hanya menjalankan perintahnya."
Emily hanya bisa terdiam, merasa bingung dan sedikit cemas, mengikuti Beni yang membawanya menuju mobil yang berbeda tanpa banyak berkata-kata. Dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan situasi ini? Namun, rasa penasaran itu hanya bisa ia pendam saat ini, karena Beni terus berjalan tanpa mengindahkan pertanyaan-pertanyaan yang bergelayut di pikirannya.
Beni membuka pintu mobil dengan gesit dan memberi isyarat agar Emily masuk. "Silakan masuk ucapnya dengan nada yang sama seperti sebelumnya.
Emily menarik napas panjang dan akhirnya menurut, memasuki mobil yang terasa dingin.
…
"Tolong sampaikan ucapan terima kasihku pada Tuan Whiteller. Sekali lagi, terima kasih sudah mengantarku pulang, pak beni," ucap Emily dengan sopan saat mereka tiba di depan pintu kos-kosannya.
Beni tersenyum santai. "Bicara santai saja denganku, Emily. Tidak ada Tuan Whiteller di sini, jadi tidak perlu bicara formal," ujarnya sambil menyeringai kecil, berusaha mencairkan suasana yang sedikit canggung.
Emily tersipu, sedikit merasa kikuk dengan saran tersebut. "Tetap saja, kau klien kami," jawabnya, berusaha menjaga formalitas meski ada rasa sungkan yang membalut.
Beni terkekeh pelan, lalu berkata, "Aku juga punya darah Indonesia, jadi rasanya aneh kalau terlalu formal pakai bahasa asing di negeri sendiri, apalagi dengan orang sebangsaku."
Emily tersenyum kecil, merasa sedikit lebih nyaman. Ia mengangguk setuju. "Iya, benar juga," jawabnya singkat. "Tapi sudah terlalu malam, dan besok aku harus bekerja lagi. Terima kasih sekali lagi, dan maaf untuk kejadian hari ini," lanjutnya dengan cepat, ingin segera mengakhiri percakapan. Tubuhnya terasa lelah dan lengket, dan ia sangat ingin mandi serta membersihkan diri.
Beni mengangguk memahami. "Betul. Kalau begitu, aku pamit dulu," ucapnya ramah, tidak tergesa-gesa.
"Hati-hati," balas Emily sambil tersenyum, lalu segera berbalik dan melangkah menuju pintu kos-kosannya tanpa menunggu Beni pergi.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Emily menarik napas dalam-dalam, melepaskan semua ketegangan yang masih tersisa di tubuhnya. Hari yang panjang dan melelahkan ini akhirnya selesai. Ia merasakan kedamaian yang sejenak bisa mengalir, meskipun masih ada bayang-bayang kegelisahan yang mengikutinya.
Mereka duduk berdampingan, membiarkan keheningan membungkus mereka seperti selimut hangat. Hanya suara detik jam dan hembusan angin malam yang menemani. Sylvester memandangi Emily, seolah masih tak percaya bahwa wanita ini—yang telah melewati luka, kehilangan, dan bahaya—kini berada di sampingnya. Dan lebih dari itu, akan menjadi istrinya.Emily meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping tempat tidur, lalu menyandarkan kepala di dada Sylvester."Kau selalu membuatku merasa dicintai," ucapnya pelan, "bahkan ketika dunia seolah menentang kita."Sylvester membelai pipi Emily, menyibakkan helai rambut yang menutupi wajahnya."Aku mencintaimu karena kau membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik. Bukan hanya untuk diriku… tapi untukmu, dan untuk keluarga kecil kita."Emily menahan napas sejenak, lalu mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca."Dan aku mencintaimu... karena kamu membuatku merasa seperti pulang."Sylvester membungkuk, mencium bibir Emily dengan lembut—sebuah ciuman y
Kembali di rumah sakit…Sylvester duduk di luar ruang tindakan, kepalanya tertunduk. Ketika dokter akhirnya keluar, wajahnya serius."Kondisinya stabil. janinnya lemah, tapi ada peluang bertahan jika tidak terjadi pendarahan lagi. Kami akan awasi 24 jam ke depan."Sylvester menghela napas, hampir roboh oleh lega dan ketakutan sekaligus.Ia masuk ke ruang rawat, duduk di samping Emily yang terbaring lemah namun sadar."Aku takut, Syl…" bisiknya pelan.Sylvester meraih tangannya dan mengecupnya lembut.…Beberapa jam telah berlalu…Langit di luar rumah sakit mulai cerah, pertanda pagi menjelang. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai kamar rawat, membasuh wajah Emily yang kini tertidur tenang di ranjang.Di sampingnya, Sylvester masih duduk setia, matanya sembab namun kini lebih tenang. Ia belum beranjak sejak Emily masuk ke ruang perawatan.Pintu kamar terbuka pelan. Seorang dokter wanita masuk dengan tablet data di tangan, tersenyum ramah.“Tuan Sylvester?”Sylvester langsung berd
BRAK! BRAK!Tembakan terus meletus dari berbagai sudut rumah. Kayu-kayu pecah, dinding bergetar, dan debu berterbangan di udara. Asap tipis mulai memenuhi ruang tamu akibat granat asap yang dilemparkan.“ASAP!! DIA MAU KABUR!!” teriak Sylvester sambil menunduk, melindungi Emily yang memeluk perutnya erat-erat, ketakutan.Salah satu pria bertopeng menerobos masuk dari jendela samping. Ia berlari melintasi lorong menuju dapur sambil melepaskan tembakan ke segala arah. Tapi Sylvester sudah siap. Dengan gerakan cepat, ia berbalik, mengangkat pistol dan—DOR!!Pria itu terhempas ke belakang, menabrak dinding dan ambruk tanpa suara.“Satu lagi!” serunya.Dari atas, terdengar suara langkah kaki di lantai dua. Mereka tidak hanya menyerang dari bawah—mereka juga menguasai loteng.Sylvester menyambar senjata panjang yang disimpan di balik lemari dan mendorong Emily ke bawah meja dapur yang kini menjadi benteng
Sylvester dan Emily masih berdiri di tengah dapur yang porak-poranda, berusaha menenangkan diri setelah ketegangan barusan. Sylvester berjalan perlahan ke arah jendela depan, matanya menelusuri jalanan yang kini tampak lengang.Emily, yang masih gemetar, membungkuk memungut selimut yang tadi terjatuh dari sofa. Ia memeluknya erat, mencoba menenangkan napas yang masih tersengal."Kurasa mereka sudah pergi..." ujar Sylvester pelan, menoleh ke arah Emily.Namun sebelum Emily sempat menjawab—"Sayang sekali, kau salah menilai."Suara dingin dan tajam itu muncul dari lorong belakang.Emily membeku. Matanya membulat. Sylvester spontan meraih pistol yang baru saja ia letakkan di atas meja dan berbalik cepat.Di sana, berdiri seorang wanita berambut panjang, mengenakan gaun hitam dengan jaket kulit gelap. Wajahnya tenang, nyaris tanpa emosi, tapi matanya menyala dengan dendam yang dalam.Carol."Tidak perlu repot-repot menyelinap diam-diam, Sylvester," ucapnya sambil melangkah perlahan ke ten
Masih dalam keheningan malam, waktu merayap perlahan menuju dini hari. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul 03.17. Udara dingin menusuk kulit, menyelusup lewat celah-celah jendela kayu rumah ibu Emily.Semua orang terjaga. Tidak ada yang tidur malam itu.Di ruang tengah, Emily duduk sambil memeluk tas kecil berisi dokumen penting. Perutnya yang masih rata sesekali dielus pelan. Wajahnya pucat, namun matanya penuh keteguhan. Di sampingnya, sang ibu menggenggam tangannya, seolah ingin mengukir kehangatan terakhir sebelum perpisahan.Sylvester sedang memastikan isi koper, membongkar dan memeriksa ulang satu per satu. Elio membantu, meski matanya masih berat oleh kantuk.Amore berdiri di dekat pintu. Hoodie-nya masih melekat erat di tubuh, dan di pinggangnya terselip alat komunikasi kecil. Ia tampak lebih tegang dari sebelumnya—matanya awas, sesekali melirik keluar lewat tirai jendela."Waktunya," katanya akhirnya.Semua orang bergerak cepat, tanpa suara. Amore membuka pintu perlahan. U
Tapi sebelum mereka bisa mencerna kejadian itu sepenuhnya, terdengar suara klakson panjang dari depan."TIITTTT—!"Sylvester mengerem mendadak. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan oleh hentakan sabuk pengaman."Ada apa?" seru Elio panik dari belakang.Di depan mereka, mobil hitam lain berhenti melintang, memblokir jalur sepenuhnya."Mereka bukan orang kita," desis Sylvester, matanya tajam penuh antisipasi.Emily menggenggam lengan Sylvester, gemetar."Kita terjebak?"Sylvester cepat berpikir. "Tidak kalau aku bisa putar balik."Ia memasukkan gigi mundur, bersiap memutar arah. Tapi suara mesin dari belakang kembali terdengar—mobil pengejar yang menabrak tadi kini sudah kembali stabil dan mulai melaju ke arah mereka."Mereka menjepit kita," Elio berseru, napasnya mulai cepat.Ibu Emily yang tadi diam mulai sadar dari tidurnya, menegakkan tubuh dan menatap sekitar."Apa yang terjadi?""Bu, pegang erat. Kita harus keluar dari sini," ujar Sylvester sambil melihat celah ke samping jalan