Share

Bab 02

Author: Dayu SA
last update Last Updated: 2025-01-08 13:37:50

Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan stabil di jalan yang sepi. Tidak ada suara selain deru mesin dan napas Emma yang masih berat. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena trauma dari malam itu, tetapi juga karena kehadiran pria misterius yang duduk di sebelahnya.

Pria itu mengenakan setelan serba hitam yang rapi, membuatnya terlihat seperti pria dari dunia lain. Namun, topeng yang masih menutupi sebagian wajahnya membuat pria itu terlihat semakin menyeramkan. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya selama perjalanan.

Emma melirik keluar jendela, berharap melihat sesuatu yang familiar—sebuah tanda bahwa ia masih berada di dunia nyata. Namun yang terlihat hanya gelapnya malam, ditemani cahaya bulan samar yang memantulkan bayangan pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan.

"Aku tahu apa yang ada di kepalamu," suara pria itu tiba-tiba memecah kesunyian, datar namun tajam.

Emma tersentak, menoleh dengan cepat. Ia tidak berani menjawab.

"Jangan berpikir untuk melarikan diri," lanjutnya, tatapannya lurus ke depan. "Aku tidak akan ragu untuk memburumu. Dan percayalah, pelarianmu akan berakhir lebih buruk daripada yang barusan kau alami."

Emma menelan ludah, merasa tenggorokannya kering. "Siapa juga yang berani?" gumamnya dalam hati, mencoba menyembunyikan ketakutannya.

Meskipun mereka hanya berdua di dalam mobil ini, Emma tahu itu tidak berarti apa-apa. Ia sempat melihat melalui kaca spion, ada beberapa mobil lain yang mengikuti mereka. 

Pengawal-pengawal pria ini, mungkin, yang pastinya tidak akan membiarkan Emma melarikan diri dengan mudah. Ia hanya mencari mati jika mencoba kabur.

Pria itu menoleh sekilas, mungkin menyadari ketakutan Emma, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, mobil mulai memasuki gerbang besar dari besi tempa yang menjulang tinggi. Lampu-lampu otomatis menyala, menerangi jalan berkerikil yang dikelilingi taman luas.

Emma memandang ke depan dengan mata membelalak. Di ujung jalan, berdiri sebuah bangunan megah yang lebih mirip kastil daripada rumah. 

Dinding-dindingnya yang tinggi terbuat dari batu, dengan jendela besar berhias tirai berat. Lampu-lampu kuning menyinari halaman, memberikan kesan menakutkan namun juga memukau.

"Kastil vampir..." pikir Emma, mendadak teringat film-film yang pernah ia tonton bersama neneknya dulu.

Mobil berhenti di depan pintu utama yang besar. Salah satu pengawal membuka pintu untuk mereka, sementara pria itu turun lebih dulu sebelum menoleh ke Emma.

"Keluar," perintahnya singkat.

Emma menuruti, dengan tubuh yang masih gemetar. Ia mengikuti pria itu masuk ke dalam bangunan megah tersebut, melewati pintu kayu besar yang diukir dengan detail rumit.

Begitu masuk, Emma langsung merasakan hawa dingin yang menusuk. Lorong utama dihiasi dengan lampu gantung kristal besar, sementara lantainya berkilauan seperti marmer yang mahal. Dinding-dindingnya dihiasi lukisan-lukisan tua, membuat tempat ini terasa seperti museum hidup.

Namun yang paling mencuri perhatian Emma adalah suasana sunyi yang mencekam. Tidak ada suara manusia lain, hanya langkah kaki mereka yang bergema di sepanjang lorong.

"Ikut aku," pria itu memerintah tanpa menoleh.

Emma mengikuti dengan patuh, menahan napas setiap kali pria itu berhenti atau berbalik. Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruangan besar yang terlihat seperti ruang tamu. Sofa mewah dengan kain beludru merah tua berjajar di sekitar perapian besar, sementara rak buku tinggi memenuhi dindingnya.

Pria itu melepaskan topengnya dengan gerakan perlahan, membuat Emma terpana.

Wajahnya adalah sesuatu yang bahkan tidak bisa Emma deskripsikan dengan kata-kata. Hidungnya sempurna, rahangnya tegas, dan matanya berwarna abu-abu seperti badai. Rambut hitamnya yang sedikit berantakan memberi kesan liar, namun tetap berwibawa.

Ia seperti malaikat yang turun dari surga—hanya saja, hatinya tampaknya lebih pantas dimiliki oleh iblis.

"Minum ini," ucap pria itu tiba-tiba, menyerahkan segelas air kepada Emma.

Emma menatap gelas itu ragu.

"Jangan membuatku marah," ucapnya lagi, nada suaranya mengancam.

Emma akhirnya mengambil gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meminumnya perlahan, berharap itu bukan racun.

Setelah beberapa saat, pria itu duduk di sofa besar, menyandarkan punggungnya dengan sikap santai yang membuatnya terlihat seperti raja di kerajaan ini.

"Aku ingin tahu sesuatu," katanya, menatap langsung ke mata Emma. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan saat kau datang ke rumah wanita itu? Kau tahu dia bukan orang baik, bukan?"

Emma menggeleng pelan, air matanya mulai menggenang. "Aku... aku tidak tahu. Aku hanya ingin mencari ayahku. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."

Pria itu menyipitkan matanya, seolah mencoba membaca pikiran Emma.

"Dan kau tidak berpikir bahwa datang ke kota besar sendirian adalah ide yang buruk?" tanyanya, suaranya penuh sarkasme.

Emma sempat terdiam mendengar ucapan pria itu. Mengapa dia bisa tahu jika Emma datang ke kota besar ini sendirian? Apakah pria ini mengenalnya? Namun dengan cepat pikiran itu sirna ketika melihat tatapan tajam pria itu yang mengarah kepadanya. 

"Aku tidak punya pilihan," jawab Emma lirih. "Aku tidak punya tempat lain untuk pergi."

Hening menyelimuti ruangan. Pria itu tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya memandang Emma dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Namaku Lucas," ucap pria itu. "Mulai sekarang, kau akan tinggal di sini."

Emma mengangkat kepalanya dengan terkejut. "Tinggal di sini?"

"Ya. Kau milikku sekarang, ingat?" Lucas tersenyum tipis, tetapi senyumnya tidak membuat Emma tenang. Sebaliknya, senyuman itu justru mengingatkannya pada predator yang bermain-main dengan mangsanya.

"Tapi..." Emma ingin membantah, namun ia tidak tahu harus mengatakan apa.

"Tidak ada tapi," potong Lucas tegas. "Aku sudah membayar mahal untukmu. Jadi, jangan membuatku menyesal."

Emma menunduk, menahan tangisnya. Ia merasa seperti boneka yang tidak punya kendali atas hidupnya sendiri.

"Besok, kita akan bicara lebih banyak," ujar Lucas, berdiri dari sofanya. "Untuk sekarang, istirahatlah. Sebuah kamar telah disiapkan untukmu."

Ia melambaikan tangan kepada salah satu pengawalnya, yang tiba-tiba muncul entah dari mana. Pengawal itu memberi isyarat kepada Emma untuk mengikutinya.

Emma melangkah dengan berat, mengikuti pengawal tersebut ke lantai atas. Ketika ia masuk ke dalam kamar yang besar dan mewah, perasaan kosong menguasainya. Tempat tidur megah, jendela besar, dan perabotan mahal tidak membuatnya merasa nyaman.

"Selamat malam," ujar pengawal itu singkat sebelum menutup pintu di belakangnya.

Emma duduk di tepi tempat tidur, menatap tangannya yang masih gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya di tempat ini, tetapi satu hal yang pasti: ia harus menemukan cara untuk bertahan hidup.

"Nenek..." gumamnya pelan, air mata mengalir di pipinya. "Kenapa semua ini terjadi padaku?"

Namun, tidak ada jawaban. Yang ada hanyalah sunyi dan dinginnya malam, mengingatkannya bahwa ia kini berada di tempat yang jauh dari rumah, jauh dari kenyamanan yang selama ini neneknya tawarkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Cinta Sang Mafia    Bab 94 - Janji di Bawah Langit Malam [END]

    Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik

  • Tawanan Cinta Sang Mafia    Bab 93 - Masa Depan yang Baru

    Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te

  • Tawanan Cinta Sang Mafia    Bab 92 - Penerimaan Antonio Aldrin

    Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t

  • Tawanan Cinta Sang Mafia    Bab 91 - Langkah Terakhir

    Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu

  • Tawanan Cinta Sang Mafia    Bab 90 - Langkah Baru

    Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i

  • Tawanan Cinta Sang Mafia    Bab 89 - Sisa-Sisa Pengkhianatan

    Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status