Emma, seorang gadis muda yang baru saja kehilangan anggota keluarga terakhir yang ia punya, nekad mencari ayahnya yang telah lama pergi ke ibu kota, malah terjebak dalam dunia gelap yang penuh dengan bahaya. Dikhianati oleh wanita yang mengaku mengenal ayahnya, Emma dipaksa untuk hidup di bawah ancaman dan diperlakukan seperti barang. Ketika ia diseret ke sebuah lelang ilegal, hidupnya seakan berada di ambang kehancuran. Namun, segalanya berubah saat seorang pria misterius bertopeng membeli dirinya dengan harga yang jauh lebih tinggi dari yang ditawarkan. Kini, Emma justru dihadapkan dengan teka-teki lainnya. Apakah pria ini seseorang yang akan menyelamatkannya? Atau ancaman lain yang justru akan lebih menyengsarakan hidupnya?
Lihat lebih banyakEmma meringkuk di sudut ruangan yang remang-remang, memeluk tubuhnya sendiri, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Pandangan para pria di ruangan itu membuatnya merasa telanjang meskipun ia mengenakan pakaian. Gaun sederhana berwarna putih yang diberikan oleh wanita itu terasa seperti jaring laba-laba yang melekat di tubuhnya, terlalu tipis dan membuatnya terlihat mencolok.
Lampu-lampu neon yang berpendar berwarna merah dan ungu menghiasi ruangan penuh asap rokok, dengan musik yang berdentum keras memekakkan telinga. Ia merasa seperti seekor rusa yang tersesat di tengah hutan para pemangsa.
"Hei, lihat gadis itu," salah satu pria di dekat pintu berbisik kepada temannya. "Dia terlihat seperti rusa kecil yang ketakutan."
"Rusa? Dia lebih seperti boneka porselen yang akan pecah," balas temannya, tertawa kecil. Suara mereka menusuk telinga Emma, membuatnya merasa semakin terpojok.
Emma meremas gaun itu dengan kedua tangannya, mencoba meredakan gemetar yang tak bisa ia kendalikan. "Kenapa... kenapa aku di sini? Apa salahku?" gumamnya lirih, namun tak ada yang mendengarnya di tengah riuh rendah suara obrolan dan tawa kasar di sekelilingnya.
Beberapa minggu lalu, hidupnya terasa jauh lebih baik meskipun penuh kesederhanaan, dan kerap kali mengalami kekurangan.
Ia tinggal di desa kecil bersama neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah ibunya meninggal dunia bertahun-tahun lalu. Emma tumbuh dengan cerita-cerita samar tentang ayahnya, seorang pria yang meninggalkan keluarganya untuk mencari peruntungan di kota besar.
Setelah kepergian neneknya, ia nekat pergi ke ibu kota untuk mencari ayahnya, satu-satunya harapan terakhir yang ia miliki.
Namun, pencarian itu membawa Emma ke pintu yang salah.
--- Emma pertama kali bertemu wanita itu di rumah besar yang tak pernah ia bayangkan. Wanita itu membuka pintu dengan senyum dingin, memperhatikan Emma dari ujung kepala hingga ujung kaki seperti menilai sebuah barang dagangan."Apa maumu?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Saya... saya mencari ayah saya James Anderson. Kata orang, dia tinggal di sini," jawab Emma dengan suara bergetar.
Dia memang sempat tersesat ketika mencari alamat ayahnya. Maklum saja, ini pertama kalinya ia menjejakkan kaki di kota besar ini.
Wanita itu menyipitkan matanya, lalu tertawa kecil. "Ayahmu sedang pergi. Tapi, kalau kamu anaknya, ya sudah. Masuk saja."
"Tunggu... Ayah saya di mana sekarang? Kapan dia pulang?" Emma mencoba menggali informasi, meskipun nada suaranya terdengar terlalu gugup untuk memaksa jawaban.
"Apa aku terlihat seperti sekretaris ayahmu?" balas wanita itu dengan nada sinis. "Masuk saja dan tunggu, kalau kau sabar, dia mungkin akan muncul."
Emma mengira itu adalah awal dari sesuatu yang baik. Akhirnya ia bisa menemukan keluarga yang hilang. Namun, kenyataan segera menamparnya dengan keras.
Beberapa hari setelah tinggal di rumah itu, ia mulai merasakan ada yang tidak beres. Wanita itu, yang akhirnya memperkenalkan diri sebagai Marissa, tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu baginya.
Ia memperlakukannya seperti beban, menyuruhnya melakukan pekerjaan kasar, sementara pria-pria asing datang dan pergi dari rumah tersebut secara mencurigakan.
Itu mungkin belum seberapa dan Emma pun tidak merasa keberatan. Karena di desa, ia terbiasa melakukan pekerjaan yang jauh lebih berat dari itu.
Namun rupanya Emma salah. Seharusnya ia tak merasa nyaman dengan kehidupan baru yang ia rasakan. Karena pada malam berikutnya, semuanya berubah.
--- "Ayo berdiri. Sudah waktunya," kata Marissa dengan nada dingin.Emma memandangnya bingung. "Waktunya untuk apa?"
Marissa tidak menjawab. Dua pria bertubuh kekar masuk ke kamar, menyeret Emma keluar meskipun ia berteriak dan meronta.
"Diam, anak sialan! Ini untuk kebaikanmu juga," kata Marissa dari belakang, suaranya tajam seperti belati.
Kini Emma tahu, ini bukan tentang kebaikannya. Ini adalah jebakan. Ia diculik, disekap dengan kedua tangan dan kaki terikat, serta penutup mata yang entah sejak kapan telah menutupi kedua matanya.
Hingga akhirnya ketika Emma kembali bisa melihat cahaya, gadis itu mendapati dirinya berada di ruangan ini—tempat ia terduduk sekarang, masih dalam kondisi terikat, serta menjadi tontonan para pria yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
---"Selamat malam, para tamu terhormat," suara seorang pria dengan mikrofon menggema di ruangan itu. Emma menoleh dengan mata melebar, ketakutan. "Malam ini, kami punya sesuatu yang spesial untuk Anda semua. Seorang gadis muda, segar, dan tentu saja... perawan."
Tawa dan sorakan memenuhi ruangan.
Emma merasa mual. Tubuhnya kaku, pikirannya berkecamuk. Ia ingin berteriak, berlari, melakukan sesuatu untuk melarikan diri, tapi tubuhnya seolah membeku. Ia hanya bisa berdiri di sana, menjadi objek yang dipandang dengan nafsu oleh pria-pria yang lebih mirip binatang.
Air mata mengalir di pipi Emma, tapi ia menolak untuk menyerah. Di dalam benaknya, ia mencari cara untuk melawan, untuk kabur dari neraka ini.
"Diam," bisik salah satu pria kekar yang menjaganya di dekat panggung. "Kalau kamu macam-macam, kami tidak akan segan-segan membuatmu menyesal."
"Buka harga dengan dua puluh juta," ujar sang pemandu lelang, suaranya tegas.
Seolah tersulut, suara penawaran langsung mengisi ruangan. Emma mendengar angka demi angka meningkat dengan cepat, seolah hidupnya hanya selembar kertas harga.
Namun di tengah keramaian itu, satu sosok mencuri perhatian. Seorang pria berpakaian serba hitam, wajahnya tertutup topeng, duduk di salah satu kursi di sudut ruangan.
Pria itu tidak ikut berteriak atau bersorak seperti yang lain. Tubuhnya tenang, tetapi kehadirannya terasa mencolok, seperti bayangan gelap yang menyelinap di tengah cahaya lampu.
"Empat puluh juta!" seru salah satu tamu dengan suara lantang.
"Empat puluh lima juta!" teriak yang lain.
Ruangan semakin riuh. Pria bertopeng itu tetap diam, hingga akhirnya ia mengangkat tangannya perlahan.
"Seratus juta," ucapnya, tenang namun tegas.
Suara di ruangan itu seketika berhenti. Semua kepala menoleh ke arahnya. Bahkan pemandu lelang terlihat terkejut.
"Seratus juta? Apakah saya mendengar dengan benar?" tanya sang pemandu, memastikan.
Pria itu mengangguk sekali, lambat, penuh kepastian. "Seratus juta," ulangnya.
Tidak ada yang berani melawan penawaran itu. Dalam beberapa detik, pemandu lelang mengangkat palunya dan mengetukkan di atas meja. "Terjual kepada pria bertopeng dengan seratus juta!" serunya.
Sorakan memenuhi ruangan, tetapi Emma hanya merasakan tubuhnya lemas. Dia tidak tahu apa yang menantinya, tetapi dia tahu satu hal: dia telah menjadi milik pria itu.
Emma menatap langit malam yang terbentang luas di atasnya. Kilauan bintang-bintang tampak berkelip di antara gelapnya malam, menciptakan pemandangan yang menenangkan. Angin berembus lembut, membelai kulitnya dengan kesejukan yang menenangkan. Ia berdiri di samping Lucas, di sebuah bukit kecil yang menawarkan pemandangan kota dari kejauhan. Tempat ini begitu sunyi, seolah terpisah dari dunia yang penuh hiruk-pikuk di bawah sana. Emma mengerti bahwa Lucas tidak membawa dirinya ke sini tanpa alasan. "Tempat ini..." Emma membuka suara, memecah keheningan di antara mereka. "Kenapa kau membawaku ke sini?" Lucas mengalihkan pandangannya dari hamparan kota dan menatap Emma. "Ini tempat yang sering kudatangi saat aku butuh berpikir," jawabnya pelan. "Di sini, aku bisa merasa bebas. Tidak ada gangguan, tidak ada tekanan, hanya aku dan pikiranku sendiri." Emma mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan ketenangan yang sama. Dalam sebulan terakhir, hidup mereka penuh dengan kekacauan. Konflik
Matahari baru saja terbit di ufuk timur, menyapu kediaman Lucas dengan cahaya keemasan yang lembut. Setelah malam yang panjang dan penuh ketegangan, pagi ini terasa lebih tenang. Tidak ada lagi ancaman yang membayangi, tidak ada lagi pertarungan yang harus dihadapi. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Lucas bisa menarik napas lega.Ia berdiri di balkon kamarnya, menatap hamparan taman di bawah sana. Udara pagi yang sejuk menyentuh wajahnya, membawa aroma embun yang menyegarkan. Namun, pikirannya masih terpusat pada satu hal—Emma.Wanita itu telah melalui begitu banyak hal. Ia terluka karena menjadi bagian dari dunianya, dunia yang penuh dengan bahaya dan intrik. Tetapi, meskipun demikian, Emma tidak pernah menunjukkan penyesalan. Ia tetap berada di sisinya, menghadapi semuanya dengan keteguhan hati yang luar biasa.Lucas tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan sekarang.Tanpa ragu, ia melangkah keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar te
Malam di kediaman Lucas begitu sunyi. Udara dingin menyusup melalui jendela besar di ruang kerjanya, tetapi pria itu tetap duduk tegak di balik meja kayu besar, menatap laporan-laporan yang tersusun rapi di hadapannya. Setelah semua konflik yang ia hadapi, organisasi mulai kembali stabil. Ia telah menyingkirkan Morelli dan Vasquez, membuktikan bahwa ia bukan pemimpin yang bisa diremehkan. Namun, Lucas tahu bahwa masih ada satu orang lagi yang harus ia hadapi—ayahnya.Seakan menjawab pikirannya, ketukan keras terdengar di pintu ruang kerjanya. Lucas tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa cepat atau lambat pria itu akan datang menemuinya."Masuk," katanya, suaranya tetap dingin dan terkendali.Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Antonio Aldrin. Meski usianya sudah semakin tua, auranya masih menekan, menandakan bahwa ia adalah seseorang yang telah lama terbiasa dengan kekuasaan. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya. Sorot matanya t
Malam sudah larut, tetapi Lucas masih duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terhampar di mejanya. Titik-titik merah menandai lokasi para sisa anak buah Morelli dan Vasquez yang masih berkeliaran. Beberapa di antara mereka sudah melarikan diri ke luar negeri, tetapi sebagian kecil masih bertahan, berusaha mencari perlindungan.Lucas menghela napas panjang. Satu langkah lagi, dan ini semua akan selesai.Pintu ruang kerja terbuka tanpa ketukan. Stefan masuk dengan ekspresi tegas. "Semuanya sudah siap. Anak buah kita sudah berada di posisi masing-masing."Lucas mengangguk, lalu berdiri. "Bagus. Pastikan tidak ada celah bagi mereka untuk melarikan diri.""Kita juga sudah mengamankan jalur komunikasi mereka. Jika mereka mencoba meminta bantuan, pesan itu tidak akan pernah sampai," tambah Stefan.Lucas menyeringai kecil. "Kali ini, aku ingin memastikan mereka tidak punya tempat untuk kembali."Stefan menatapnya sejenak sebelu
Pagi menjelang dengan tenang di kediaman Lucas. Sinar matahari keemasan menyelinap melalui celah-celah jendela besar, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Suara burung di kejauhan terdengar samar, berpadu dengan desiran angin yang berembus perlahan.Emma membuka matanya perlahan. Rasanya tubuhnya lebih ringan, meski masih ada sedikit nyeri di lengannya yang belum sepenuhnya pulih. Saat ia menggerakkan kepalanya, matanya langsung menemukan sosok Lucas yang masih duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi lembut."Kau tidak tidur?" suara Emma serak karena baru bangun.Lucas menggeleng pelan. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Emma tersenyum kecil. Ia tahu Lucas masih merasa cemas, tetapi ia juga tahu pria itu tidak akan mengatakannya secara langsung. Jadi, ia hanya meraih tangan Lucas dan menggenggamnya erat. "Aku sudah lebih baik. Kau tidak perlu terus mengkhawatirkanku."Lucas menghela napas, lalu akhirnya i
Malam telah larut ketika Lucas duduk di ruang kerjanya, menatap peta besar yang terbentang di atas meja. Wilayah kekuasaan yang sebelumnya dikuasai Morelli dan Vasquez kini sepenuhnya berada di bawah kendalinya. Namun, meskipun kedua orang itu telah ditangkap dan dihabisi, Lucas tahu bahwa masalah tidak berhenti di situ. Stefan berdiri di sampingnya, melaporkan perkembangan terbaru. "Beberapa anggota bawahan Morelli dan Vasquez masih bertahan. Mereka kehilangan pemimpin, tetapi tidak kehilangan ambisi." Lucas menghela napas. "Aku sudah menduga ini. Mereka tidak akan menyerah begitu saja." "Tepat," Stefan mengangguk. "Ada laporan bahwa sebagian dari mereka mencoba membentuk kelompok baru. Mereka masih belum cukup kuat untuk menantang kita secara langsung, tetapi jika dibiarkan, mereka bisa menjadi ancaman dalam beberapa bulan ke depan." Lucas menatap peta di hadapannya. "Siapa pemimpin mereka sekarang?" Stefan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen