Cadillac hitam tua meluncur perlahan menyusuri jalan beraspal yang sepi, lampu depan menembus kabut tipis malam yang mulai turun. Hiriety menyetir sambil menatap lurus ke depan.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar di jok penumpang. Layarnya menyala, memperlihatkan nomor asing yang tak ada dalam daftar kontaknya.
Hiriety meliriknya sekilas, ragu. Tapi rasa penasaran menepis keraguannya. Ia mengangkat panggilan itu dan menyentuhkan ponsel ke telinga.
"Ya?"
Suara di ujung sana terdengar berat, tua, tapi sangat tegas. “Hiriety Berdine Walton?”
Hiriety mengerutkan kening. “Siapa ini?”
“Gregory Valley”
Sejenak, Hiriety diam. Nama itu tak asing, tapi mendengarnya langsung membuat kakinya secara spontan menginjak rem hingga mobil itu berhentik mendadak
Gregory Valley—pria yang tak pernah muncul di permukaan, tapi kabarnya memiliki pengaruh jauh lebih besar dari cucunya.
Hiriety mengulas senyum
Untuk pertama kalinya, Hiriety tak tertidur atau sekedar merasa bosan selama penerbangan panjang. Hal itu terjadi karena pria yang kini sedang memeluknyaMarco Valley.Kecupan demi kecupan lembut terasa di punggungnya, setiap sentuhannya seperti percikan api kecil yang membakar kulitnya. Aroma maskulin yang khas memenuhi indranya, membuatnya merasa terbiasa dengan aroma itu.Suasana di kabin pesawat yang sunyi hanya diiringi suara mesin pesawat yang berdengung samar, menciptakan suasana yang intim dan sensual.Marco membisikkan kata-kata lembut di telinganya, suaranya serak dan penuh gairah. "Mia cara..." bisiknya. "Kenapa kau indah sekali?" Pertanyaannya lebih seperti pernyataan, suaranya dipenuhi kekaguman. Jari-jarinya masih setia mengelus punggung Hiriety, sementara gerakan bokongnya yang memompa tubuh Hiriety dari belakang semakin cepat, intensitasnya meningkat.Hiriety mendesah, suaranya teredam di antara rambutnya yang terurai. Ia menikmati
Hiriety bersandar nyaman di kursi kelas bisnisnya yang luas. Kabin dengan kapasitas 8 orang itu hampir kosong, hanya ada dirinya sendiri, padahal Hiriety mengambil penerbangan mendadak dan menggunakan pesawat komersil.Mengabaikan itu, Ia menutup mata menikmati ketenangan sebelum penerbangan panjangnya ke Milan. Otaknya mencoba melupakan kejadian menegangkan beberapa jam lalu. Namun, ketenangan itu sirna begitu cepat.Sebuah bayangan familiar muncul di pinggiran penglihatannya. Ia membuka mata dan melihat Marco duduk di kursi di depannya. Pria itu tampak cuek, menatap layar ponselnya tanpa menunjukkan tanda-tanda mengenali kehadirannya.Hiriety tersenyum tipis. Harusnya Hiriety curiga dengan business class yang kosong seperti ini. Jelas sekali jika semuanya sudah diatur.“Hallo sir..” Hiriety menyapa dengan tenang, layaknya mereka bukanlah orang yang pernah berbagi k
“Nona Walton meninggalkan mansion, Tuan”Marco menatap layar ponselnya yang menyala, sebuah pesan yang berisikan informasi tentang Hiriety“Tetap ikuti dan beritahu dimanapun dia berada” Marco mengetikan balasan dengan cepat“Baik Tuan”Beberapa detik setelah percakapan itu berakhir, Marco menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Hening menguasai ruang kerjanya, hanya suara detik jam di dinding yang terdengar samar.Marco meletakan ponselnya di meja. Ia berdiri dari kursinya, melangkah menuju jendela kamarnya. Matanya agak sayu karena tak tidur semalam dan pemandangan kota Washington yang meluas terbentang di hadapannya tak menjadi pemandangan indah baginyaPikirannya masih tertarik pada Hiriety, pada wanita yang telah mencuri perhatiannya, seluruh jiwanya dan mengacaukan perasaannya.Marco memejamkan netra gelapnya yang sayu, mengingat pertemuan terakhirnya dengan Hiriety.Sentuhannya, aroma
Hiriety terbaring di tempat tidur, selimutnya kusut. Keringat dingin membasahi dahinya, rambutnya menempel di pipi. Napasnya tersengal-sengal, tubuhnya gemetar. Ia bergumam, suaranya hampir tak terdengar.“Denzel... jangan... tolong...”Ia membalikkan badan, mencoba menghindari sesuatu yang mengerikan dalam mimpinya. Namun, bayangan itu terus mengejarnya. Wajah penuh intrik dari seorang Denzel Stallone, muncul di benaknya.“Jangan sentuh aku... aku takut...”Hiriety mencengkeram selimutnya erat-erat, jari-jarinya pucat karena ketakutan. Ia mengingat kembali masa lalu, saat ia masih muda dan naif. Denzel, pengawal yang seharusnya melindunginya, malah memanfaatka
“Kupikir kau takkan datang” Erasmus berucap dengan tenang. Asap kopi di depan mereka masih mengepul, menandakan jika obrolan mereka baru dimulai.Marco Valley mengangkat bahu, senyum tipis bermain di bibirnya “Aku punya cukup waktu untuk bicara dengan seorang pria yang sebentar lagi akan tertangkap dan mati”Decihan pelan terdengar dari bibir Erasmus “Aku tahu kau yang melaporkan posisiku pada FBI” suaranya datar tanpa emosi. Mata kehijauan itu menatap Marco, tajam seperti pisau yang baru diasah.Marco Valley tersenyum, senyum yang dingin dan tanpa ampun. “Kau terlalu pintar untuk seorang buronan, Erasmus ah salah identitasmu sekarang adalah Daniel Cross...” Marco menyesap kopinya dengan tenang, menikmati reaksi Erasmus yang tertekan.“Bisakah kusimpulkan jika kau berkhianat, kau dan aku sepakat untuk bersaing dengan sehat” Ucap ErasmusMarco terkekeh “Aku bukan sekutumu, jadi agak a
Desiderus Erasmus, pria berusia 44 tahun itu adalah dosennya.Dia tampan, mapan, dan memiliki kharisma yang membuat setiap ruangan terasa lebih kecil saat ia masuk. Cara bicaranya tenang, meyakinkan—sosok pria yang mampu membuat orang merasa aman, bahkan saat berbicara tentang hal-hal paling berbahaya di dunia.Sayangnya, semua itu adalah identitas palsu.Nama "Desiderus Erasmus" hanyalah salah satu dari banyak nama yang pernah ia pakai. Ia adalah spesialis manipulasi data dan jaringan bawah tanah internasional, buronan FBI yang sudah bertahun-tahun lolos dari jeratan hukum.Dan Hiriety mengenalinya sejak pria itu mengajar sebagai dosennya untuk pertama kali“Jadi sudah tak membutuhkanku?” Tanya Erasmus, mengulang ucapan Hiriety, sekedar meyakinkan dirinya sendiriHiriety mengangguk “Aku berterimakasih karena kau sudah menolongku”Erasmus terkekeh pelan, matanya menatap Hiriety sejenak sebelum mengalihkan p
Marco melangkah keluar dari klub dengan kepala tegak, tak peduli beberapa wanita memanggil namanya, menawarkan kelanjutan malam yang semu. Klub malam yang tadinya terasa begitu gemerlap, kini terasa suram dan hampa. Ia melewati para penari dan pengunjung yang masih asyik dengan dunia mereka sendiri dan bahkan cenderung menggoda tanpa peduli.Sayangnya, dibenak Marco hanya ada satu nama. Satu wajah. Satu tujuan.Hiriety Berdine Walton.Ponselnya kembali bergetar saat dia tepat didepan klub dan hendak masuk ke dalam mobil—pesan masuk dari Richard.“Aku akan mulai dari riwayat Erasmus. Btw, aku sudah tahu tentang Denzel, dia pengawal keluargamu dulu. Hiriety kemungkinan mendekatimu untuk balas dendam. Kau mau aku kirim orang didekatnya?”Marco menatap pesan itu sejenak, tangannya kini beralih menyalakan sebatang rokok. Asapnya mengepul di udara, membaur dengan aroma lembab khas jalanan kota di malam hari. Ia menarik napas dalam-dalam
Hiriety tak bisa langsung menemui Erasmus saat itu juga. Dia baru bisa menemui Erasmus dua hari setelahnyaMalam itu, cuaca dingin meski sudah masuk musim panas. Awan menggantung berat, dan langit tampak enggan mengizinkan bulan bersinar. Hiriety mengenakan gaun hitam simple, tidak mencolok, tapi cukup untuk membuat siapa pun menoleh dua kali akan kehadirannya.Dia memasuki klub dengan langkah pasti. Cahaya neon yang berganti-ganti warna menari di dinding, dentuman musik EDM menghantam telinga, dan kerumunan manusia yang haus pelarian bergerak seperti gelombang tak beraturan. Tapi mata Hiriety tak mencari hiburan. Dia menyisir ruangan dengan tajam, fokus pada satu tujuan: ErasmusNamun, langkahnya terhenti untuk sesaatDi sisi lain ruangan, tepat di area VIP, ia melihatnya.Marco Valley.Duduk santai di tengah sofa bundar yang mahal, dikelilingi empat wanita cantik dalam gaun ketat dan high heels setinggi ego mereka. Salah satu dari mereka d
Hiriety memarkirkan mobilnya di halaman mansion Walton. Dia melangkah keluar dengan tak bersemangat, rasanya semua ambisinya luruh begitu saja setelah kembali dari kediaman Valley“Sudah selesai bermainnya?” suara sang papa terdengar datar, dingin seperti biasanya.Hiriety menoleh, mendapati pria paruh baya itu duduk dengan santai di sofa besar ruang tamu, jemarinya sibuk menggeser layar tablet, seolah tak benar-benar peduli pada jawaban yang akan ia dengar.“Papa? Kapan kembali?” Tanya Hiriety heran, padahal tadi siang Sarah bilang orang tuanya itu sedang di Boston“Papa kembali begitu mendapat kabar ada seorang pencuri yang menggunakan mobil papa tanpa izin”“Aku mengembalikannya” Seru Hiriety sambil menujukan kunci Cadillac ditangannya“Hmm, jadi... sudah selesai bermainnya?” tanya Caid lagiHiriety menarik napas “Aku tidak sedang bermain, Papa” ucapnya pelan,