Perhatian!! Memuat adegan dewasa! Marco Valley tak menyangka jika rencananya untuk menjadikan Hiriety Berdine Walton sebagai tawanan akan membawa kekacauan dalam dirinya. Marco yang semula hanya terpaku pada Selena mendapati dirinya terpesona oleh Hiriety, wanita arogan dan penuh teka-teki yang menantang setiap sel sarafnya. Sedangkan bagi Hiriety, Marco Valley merupakan salah satu tantangan yang menyenangkan. Pria yang selalu mengibarkan bendera permusuhan pada setiap orang dengan nama belakang Walton itu ternyata tak bisa berkutik padanya.... Blurb: “Aku takkan sudi menyentuh tubuhmu!” – Marco Valley “Bukankah itu ucapanmu seminggu yang lalu, Valley?” Hiriety terkekeh pelan “Dan sekarang.... kita baru mencoba satu gaya. Masih banyak gaya lain yang bisa kita coba dan akan kupastikan ucapanmu seminggu yang lalu takkan pernah ada"
View MoreHiriety Berdine Walton.
Banyak wanita yang ingin menjadi dirinya, dan banyak pria yang memujanya. Dengan rambut cokelat gelap panjang yang lembut, mata abu-abu yang tajam seperti elang, serta bibir merah yang sering melengkung dalam senyum penuh kepercayaan diri, Hiriety bukan hanya sekadar cantik—dia adalah pusat perhatian di mana pun ia berada. Tapi dia bukan sekadar sosialita yang hidup di bawah bayang-bayang nama besar Walton. Hiriety adalah wanita yang tahu apa yang ia mau, dan ia tidak ragu untuk mendapatkannya. Termasuk ketika seseorang mencoba menyentuh dunianya tanpa izin. Seperti pria itu. Marco Valley. Pria yang dikenal dingin, tidak kenal takut, dan penuh kebencian pada keluarganya. Namun bagi Hiriety, Marco bukan ancaman—dia adalah tantangan yang menarik. “Dia benar-benar berani, ya?” Hiriety berbisik dengan nada geli sambil menyesap sampanye dari gelas kristal yang ia pegang. Ia berdiri di sudut ruangan, mengamati pria berjas hitam yang baru saja tiba di pesta malam itu. Hiriety tahu semuanya. Dia tahu jika malam ini dirinya akan diculik dan dijadikan sandera Dia tahu jika Marco Valley adalah musuh kakaknya Dan dia tahu jika Marco Valley terobsesi pada Selena, calon istri kakaknya sendiri “Kau harus berterimakasih padaku setelah ini, Mattie...” Gumam Hiriety Hiriety mengeratkan pegangannya pada gelas kristalnya. Dia berjalan dengan penuh percaya diri menuju sosok pria itu dan.. “Ah....” Dengan polosnya Hiriety menumpahkan sampanye dari gelasnya ke jas hitam mahal yang dikenakan Marco Valley. "...Maaf sir" Hiriety melanjutkan, suaranya lembut, hampir tidak terdengar di tengah musik dan obrolan ramai. Mata abu-abunya yang tajam menatap Marco, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Sampanye mahal membasahi jas hitam itu, meninggalkan noda yang mencolok. Marco mengernyit, tangannya terangkat untuk menyentuh jasnya yang basah. Tatapan dinginnya bertemu dengan tatapan Hiriety yang sama dinginnya, bahkan mungkin lebih tajam. Ia mengenal wanita ini, reputasinya mendahului dirinya. "Kau sengaja?" suaranya berat, tertahan. Ia berusaha menahan amarahnya, berusaha untuk tetap tenang. Hiriety tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke matanya. "Oh, maafkan aku" katanya, suaranya masih lembut, tetapi ada nada sindiran yang tersirat. "Aku sedikit ceroboh." Ia mengangkat gelasnya yang kosong, seolah-olah tidak menyadari betapa mahalnya sampanye yang baru saja ia tumpahkan. Marco memperhatikan gerakannya, setiap detailnya. Wanita ini tidak takut. Ia tahu ini bukan kecelakaan. Ia tahu Hiriety sudah tahu tentang rencananya. Tetapi, mengapa ia membiarkan dirinya didekati? Suasana pesta yang semula dipenuhi dengan suara musik klasik dan tawa ringan tiba-tiba terasa hening di sekitar mereka. Beberapa tamu yang berdiri di dekatnya menahan napas, menunggu reaksi pria yang dikenal memiliki temperamen buruk itu. Hiriety menatap Marco dengan mata abu-abunya yang berkilat penuh kepolosan. “Apa Anda marah, Sir?” katanya dengan nada menyesal yang tidak sepenuhnya tulus. “Jas anda pasti sangat mahal.” Hiriety tidak memberi Marco waktu untuk bereaksi lebih jauh. Dia meraih saputangan dari tas kecilnya dan dengan gerakan halus, menepuk-nepuk noda sampanye di jas Marco. “Walton” gumamnya dengan suara rendah dan dingin. Rahang Marco mengencang, dan tatapannya terangkat, bertemu dengan mata Hiriety yang penuh tantangan. “Sepertinya aku harus bertanggung jawab.” Suaranya terdengar genit, tapi tangannya sengaja bergerak lambat di atas dadanya, menikmati sensasi ketegangan yang ia ciptakan. Marco menangkap pergelangan tangannya dengan cepat, mencengkeramnya cukup erat hingga Hiriety bisa merasakan kekuatan pria itu. “Tanggung jawab?” Marco berbisik rendah, mendekat hingga napasnya hampir menyentuh wajah Hiriety. “Hati-hati dengan kata-katamu, Walton. Aku bisa saja benar-benar menagihnya nanti.” Alih-alih merasa terancam, Hiriety justru tersenyum lebih lebar. “Aku harap begitu, Valley.” Dia melepaskan tangannya dari cengkeraman Marco dengan lembut dan melangkah mundur, meninggalkan pria itu dengan jasnya yang masih basah dan tatapan penuh arti. Hiriety tahu apa yang akan terjadi malam ini. Brak--- Pintu mobil Hiriety ditutup dengan paksa oleh seorang pria yang sejak tadi mengikutinya. Mata abunya hanya melirik sekilas ke arah pria bertubuh besar yang baru saja menutup pintu mobilnya dengan kasar. Tangan Hiriety menahan seorang pria yang hendak membekapnya “Aku harap kalian tidak mengikatku seperti dalam film-film kriminal atau bahkan membuatku tak sadarkan diri” suara Hiriety memecah kesunyian. “Itu terlalu klise. Biarkan aku jalan sendiri” Pria di sampingnya, yang sejak tadi menatapnya tajam, hanya mengangkat sebelah alis. “Kau seharusnya lebih takut, Walton.” Hiriety terkekeh pelan. “Takut?” Ia menoleh, menatap pria itu dengan mata abu-abunya yang berkilat nakal. “Kalian salah menculik orang jika menginginkan kepanikan.” Pria itu tidak menjawab, tetapi sorot matanya mengatakan bahwa ia tidak menyukai kepercayaan diri berlebihan Hiriety. “Jadi.. dimana mobil yang harus kunaiki?” Tanyanya santai Pria di sampingnya tampak ragu sejenak, tapi kemudian melirik ke arah mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari mereka. “Masuk” perintahnya dengan suara rendah dan tegas. Hiriety tersenyum kecil sebelum melangkah dengan anggun ke arah mobil tersebut, seolah ia sedang menaiki kendaraan pribadinya, bukan dalam situasi penculikan. Ketika pintu terbuka, ia masuk tanpa ragu dan duduk di kursi belakang dengan santai, menyilangkan kakinya. Salah satu pria bertubuh besar masuk setelahnya, duduk di sampingnya dengan ekspresi waspada. Sementara pria lain menutup pintu dengan kasar sebelum kendaraan mulai melaju, meninggalkan pesta mewah di belakang mereka. Hiriety melirik sekilas ke arah sopir yang berada di depan. “Siapa namamu?” tanyanya ringan. Pria itu tidak menjawab. “Oh, baiklah. Tidak ingin berbasa-basi, ya?” Hiriety terkekeh kecil sebelum menoleh ke arah pria di sampingnya. “Lalu, kapan aku bisa bertemu bos kalian?” Pria itu mendecak, tampak tidak suka dengan sikapnya yang terlalu tenang. “Kau seharusnya berhenti bersikap sombong. Situasi ini bukan dalam kendalimu, Walton.” Hiriety mengangkat bahu. “Memangnya aku terlihat peduli?” Saat itu juga, suara lain terdengar dari kursi depan. Suara yang lebih berat dan dalam. “Sikapmu menyebalkan.” Hiriety menoleh, dan bibirnya langsung melengkung dalam seringai penuh kemenangan. Marco Valley. Akhirnya, pria itu menampakkan diri. “Kenapa tak bilang jika sejak tadi kau duduk disana?” Hiriety menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, menatapnya dengan ekspresi puas. “Aku berharap setidaknya kau memberiku sedikit lebih banyak waktu untuk menikmati pestaku.” Marco tidak merespons leluconnya. Sorot matanya tetap tajam, penuh ketegangan yang tidak bisa dijelaskan. “Kenapa kau tidak terlihat terkejut?” tanyanya datar. Hiriety menautkan jemarinya di pangkuannya, lalu menatap Marco dengan ekspresi penuh arti. “Mungkin karena aku tahu ini akan terjadi.” Dahi Marco sedikit berkerut. “Apa maksudmu?” Alih-alih menjawab, Hiriety hanya tersenyum misterius “Apa kau pikir hanya kau dan Matthias yang menyukai Selena?” Untuk pertama kalinya, Marco menampakan ekspresi yang sangat mudah dibaca, pria itu jelas terkejut “Aku juga menyukai Selena, dan rasa sukaku padanya jauh lebih dalam dari kau ataupun kakakku. Jadi aku takkan membiarkan apapun mengganggu kebahagiannya” Marco menatap Hiriety. Rahangnya mengencang, dan genggaman tangannya di atas lututnya mengepal kuat. “Kau bercanda” gumamnya, tapi nada suaranya terdengar ragu. Hiriety hanya tersenyum, menikmati ekspresi langka dari pria yang selalu berusaha terlihat tidak terpengaruh oleh apa pun. “Apa aku terlihat seperti sedang bercanda, Valley?” katanya sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dengan anggun. Hening. Marco menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik mata abu-abu wanita itu. Sesuatu tentang caranya berbicara, ekspresi percaya dirinya, membuat Marco merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang dimainkan di sini. Marco Valley pikir ia sedang memainkan permainannya sendiri malam ini. Tapi yang tidak ia sadari adalah—Hiriety Berdine Walton telah lebih dulu menyiapkan panggungnya sendiri. Dan Marco? Dia baru saja masuk ke dalamnya.Tiga minggu kemudian — Rumah Sakit Columbia Medical Center, New YorkJam menunjukkan pukul 03.47 dini hari.Langit di luar gelap pekat, tapi di dalam kamar bersalin, waktu tidak lagi punya arti. Semua terasa mendesak. Napas Hiriety memburu, peluh membasahi dahinya, dan suara detak jantung janin berdetak kencang dari monitor di samping tempat tidur.Marco berdiri di sampingnya, mengenakan scrub hijau kebesaran yang menggantung aneh di tubuhnya. Tangannya tak lepas dari menggenggam tangan Hiriety yang basah dan gemetar.“Kau bisa, mia cara. Tarik napas. Fokus padaku” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Hiriety menoleh, matanya merah, tapi masih menyala. “Kalau kau ulangi kata ‘fokus padaku’ satu kali lagi, aku akan lempar alat EKG ke wajahmu.”Marco langsung mengangkat tangan satunya. “Diterima. Tidak akan diulang. Maaf.”Perawat sudah bersiap. Dokter kandungan mereka, Dr. Elea
Udara musim semi menyambut mereka dengan aroma tanah basah dan sinar matahari hangat. Pepohonan di sepanjang jalan mulai menumbuhkan tunas-tunas hijau muda, dan burung-burung gereja terdengar ramai berceloteh di dahan yang baru saja bangkit dari tidur panjang musim dingin.Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya kolonial yang tenang namun elegan, tersembunyi di tengah kawasan Cleveland Park—lingkungan tua yang penuh sejarah dan pepohonan besar yang teduh. Rumah itu tidak mencolok, tapi berkelas. Warna putih tulang berpadu dengan jendela-jendela besar berbingkai hitam. Teras depannya memiliki dua kursi goyang dan pot gantung berisi tanaman lavender yang baru mekar.Marco keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuk Hiriety yang sedang hamil tua. “Tunggu di situ. Aku bantu.”Hiriety turun perlahan, memandang bangunan di depannya dengan kening sedikit berkerut. “Ini… bukan hotel, kan?”Marco tersenyum, lalu mengeluark
Jam sudah lewat tengah malam. Lampu kota memantulkan cahaya lembut ke jendela kamar penthouse tempat Marco dan Hiriety menginap sementara setelah menengok Selena dan bayinya dirumah sakit. Kamar mereka tenang, hanya ada suara mesin pemanas yang menderu lembut di sudut ruangan.Marco baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, dan mengenakan kaus lusuh serta celana tidur. Hiriety sedang duduk di tepi ranjang, kedua tangannya menopang perutnya yang sudah besar. Wajahnya sedikit tegang.Marco langsung menyadari ada yang berubah. “Mia cara?” tanyanya sambil mendekat.Hiriety tidak langsung menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh pelan. “Aku… merasakan sesuatu. Seperti… perutku mengencang. Lalu... ada rasa nyeri dari pinggul ke bawah.”Marco langsung duduk di sebelahnya. “Sakitnya seperti apa? Menusuk? Atau seperti ditarik-tarik?”“Lebih ke… ditekan. Dalam. Seperti kr
Ruang rawat itu hanya menyisakan kedua perempuan beserta bayi mungil laki-laki yang tetap tidur dalam pelukan Selena“Merasa lebih baik?” Tanya HirietyHiriety duduk pelan di sofa dekat ranjang. Ia mengamati wajah sahabat sekaligus kakak iparnya itu. Mulai dari matanya, pipinya, seluruh raut wajah yang baru saja melewati perang besar.Selena mengulas senyum tipis lalu mengangguk “aku bahagia” UcapnyaSelena mentapnya lalu ikut mengulas senyum “Aura keibuanmu sudah keluar” ucap Hiriety, jujur dari hati“Apa karena aku sudah punya anak yaa” Kekeh Selena pelanHiriety menggeleng “Dari dulu sudah terasa, hanya saja.. kali ini benar-benar berbeda” jelasnya“Berbeda seperti apa?”“Entahlah, susah diucapkan dengan kata-kata. Ngomong-ngomong bagaimana rasanya melahirkan? Mengeluarkan bibit Matthias dari badan sekecil itu?” Tanya Hiriety“Lu
Beberapa jam setelah kelahiran bayi laki-laki mungilnya, Selena dipindahkan ke ruang inap VIP. Cahaya sore menembus tirai jendela besar, menyinari interior yang bersih dan hangat dengan aroma antiseptik samar yang tidak terlalu menyengat.Selena berbaring di ranjang dengan bantal empuk menopang punggungnya. Matanya masih tertutup, efek obat bius yang belum sepenuhnya hilang. Wajahnya tenang, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari perjuangan yang baru saja dilaluinya.Di sudut ruangan, Matthias duduk di kursi berlapis kain krem. Di pelukannya, sesosok bayi kecil terbungkus selimut putih bergaris biru muda. Bayi itu tidur pulas, dadanya naik turun perlahan dengan suara napas yang hampir tak terdengar. Jemari mungilnya tergenggam, sesekali bergerak refleks seperti sedang memegang sesuatu dalam mimpi.Matthias menatap anaknya, nyaris tak percaya. Ia telah mendengar tangis pertama itu, telah melihat tubuh kecil itu bergerak untuk pertama kalinya di dunia ini. Tap
Washington, D.C. USALangit musim semi menutupi kota dengan awan tipis yang bergerak malas. Di dalam rumah sakit bersalin terbesar di pusat kota, suasana jauh dari tenang. Ruang tunggu di luar ruang operasi penuh dengan ketegangan, dan di tengahnya, Matthias mondar-mandir seperti tahanan yang menunggu vonis.Marco duduk santai di kursi panjang, satu tangan menggenggam tangan Hiriety yang sudah mulai bengkak karena kehamilannya, dan tangan lain memegang botol air mineral yang belum dibuka.“Dude, kau mau bikin lubang di lantai?” tanya Marco, alis terangkat sambil melihat Matthias yang tak berhenti berjalan maju mundur. Baru kali ini dia melihat pewaris Walton itu tampak sangat cemas.Matthias menoleh, wajahnya pucat, rambut acak-acakan, dan kemejanya tampak seperti sudah dipakai dua hari berturut-turut. “Berisik. Istriku di dalam ruang operasi. Dia—dia sedang melahirkan dan aku lupa cara napas! Dokter itu mela
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments