Home / Romansa / Tawanan Kastil Putih / Dua Puluh Tahun yang Tertinggal

Share

Dua Puluh Tahun yang Tertinggal

Author: Rin Ririn
last update Last Updated: 2021-05-21 04:00:39

                Putih.

                Di setiap mata terbuka yang tampak hanyalah warna putih, dinding-dinding bangunan megah berwarna putih. Jenuh? Iya, namun keluar dari sana akan membahayakan lebih banyak orang lagi. Dan Aaron Theodore Johansson tidak mau melakukannya. Lagi. Tidak lagi.

                Lalu, dua puluh tahun ini dia habiskan di kastil megah dengan nuansa warna putih itu. Setidaknya dengan cara ini akan ada banyak orang terlindungi, termasuk orang tuanya sendiri. Dalam alam bawah sadarnya, dia paham bahwa dunia tetap harus berputar meskipun seorang pewaris kaya sepertinya mati membusuk dengan kondisi mengenaskan.

                Namun, semenjak para perawat khusus itu datang, hidupnya menjadi berbeda. Dia tidak lagi sendirian setiap hari. Bagi Raanana itu adalah hal baik, namun pasiennya ini merasa rencananya akan gagal. Dia menjadi kesulitan untuk bertemu dengan Athena, Alex, Jade, dan juga Kale.

                Dari balik kaca jendela ini, setiap hari bayangan keempat bocah kecil itu selalu tampak nyata. Berlari-lari riang sebelum sebuah mesin pembunuh menemukan mereka juga Gael dan seorang pewaris kaya. Pria gila itu memegang pisau di tangannya dan mulai mengambil nyawa satu per satu teman si pewaris kaya. Hanya Gael kecil yang berhasil pergi sebelum semua orang mati.

                Dan setelah semua terjadi, kini sudah dua puluh tahun lamanya. Seorang Aaron Theodore Johansson tetap belum bisa menebus kesalahannya hingga yang menyelimutinya setiap hari hanya penyesalan.

                “Mereka semua pergi dan aku juga akan segera menyusul mereka!”

                Bisikan itu datang setiap saat bagaimanapun juga ditahannya. Dan hari ini, bisikan itu terdengar lebih lantang dari biasanya. Pecahan kaca di mana-mana, juga vas yang berserakan di lantai yang bersanding dengan semua benda hancur yang mampu mencabut nyawa. Rasa-rasanya penantian dua puluh tahun itu akan segera sirna. Wanita bernama Aurora itu telah dia peringatkan, namun tidak pergi juga. Jadi, bukan salahnya jika sampai terjadi apa-apa. Benar begitu, bukan?

                “Jangan!” teriak sebuah suara dan pecahan tajam yang ada di tangan pasien itu terlepas juga.

                Terdengar suara rintihan yang membuat kegilaan itu berhenti sesaat. Ada darah di tangan Aurora yang terkena pecahan benda bening itu. Namun, perawat itu pantas menerimanya. Perawat lain telah mengakui kesulitan ini, salah siapa wanita satu ini begitu berani?

                Dengan bisikan-bisikan lainnya, sebuah benda tajam lain ditemukan. Tidak terhentikan lagi, semua akan berakhir kali ini!

                “Jangan!” terdengar larangan, tidak terlalu keras dan hampir mirip sebuah alunan suara putus asa. “Aku mohon jangan lakukan itu!”

                Itu suara Aurora yang berlinangan air mata, putus asa dengan luka di tubuhnya.

                “Kamu tau, hidupmu berharga bagi banyak orang,” kata perawat itu.

                Pasiennya masih memegang erat maut di tangannya.

                “Jika kamu mati sekarang, para perawat dan dokter di sini akan kehilangan pekerjaannya bahkan akan mendapat konsekuensi yang lebih berat lagi.”

                Kalimat itu terdengar seperti permohonan.

                “Pikirkan orang tuamu yang seumur hidup mempertahankanmu.”

                Ini benar-benar kalimat putus asa. Aurora bahkan tidak yakin bahwa pria yang berdiri di depannya itu mendengarkannya. Mungkin saja, pasiennya itu akan mati sebelum dia menyelesaikan kalimat tidak berartinya atau justru pecahan tajam itu akan menghabisi Aurora terlebih dulu. Si Theo itu gila dan Aurora mungkin juga. Bicara pada pria ini dan membujuknya? Jika bukan gila lalu apalagi?

                “Orang yang mendonorkan ginjalnya untukmu juga akan hidup dengan kesia-siaan.”

                Dalam bayangan perawat dan pasien itu tergambar wajah yang sama, pria tua dengan senyum maklumnya. Pria yang sanggup melakukan apa saja demi hidup orang lain, terutama anak-anaknya.

                Aurora mulai terisak, “Dan teman-temanmu, mereka telah mengulur waktu demi kehidupanmu. Apa kamu setega itu mengkhianati pengorbanan mereka? Apa sampai detik ini, kamu belum sadar betapa berharganya hidupmu ini, Aaron?”

                Ada memori yang berputar-putar. Tawa-tawa riang anak-anak kecil juga kerindangan pohon-pohon. Suasana yang hangat yang paling pasien itu rindukan. Apa benar yang perawat ini katakan tanya si pasien itu dalam hatinya.

                Aurora tidak peduli. Dia telah kehabisan kata-katanya yang gila. Darah yang mengalir dari lengannya membuatnya terbaring di lantai. Dia tidak berharap banyak pada pria yang masih berdiri tegak di depannya. Dia tadi hanya menyuarakan isi hati di tengah keputusasaan diri.

                Namun, tiba-tiba sesuatu terjadi. Kaki-kaki panjang itu melangkah. Bersama dengannya jatuh juga sesuatu dari tangannya. Benda tajam yang sedari tadi mengancam nyawa. Aurora hanya bisa menahan napasnya. Dia pikir, inilah detik-detik di mana dia menyaksikan pasiennya itu mengakhiri hidup.

                ***

                “Theo?” panggil sebuah suara. Itu suara yang familiar, Raanana.

                Theo menengok ke wajah itu, “Dia baik-baik saja?” tanyanya.

                Raanana menelan ludahnya. Dia mungkin telah berkali-kali melihat kesadaran pasiennya, namun kali ini terasa sedikit berbeda. Theo bertanya dengan cara yang belum pernah Raanana lihat sebelumnya.

                “Perawat itu, apa dia baik-baik saja?”

                Raanana terkesiap, “Ya,” jawabnya dengan nada bahagia. “Dia baik.”

                Theo kembali memalingkan wajahnya menuju ke arah jendela. Namun, dari sudut matanya dia melirik semua benda di kamarnya. Seperti biasa, semua telah rapi seolah tidak terjadi apa-apa.

                “Apa dia akan pergi seperti yang lain, Raa?”

                “Soal itu aku belum tahu, tapi kamu bisa menanyakannya sendiri.”

                Theo menarik napas diam-diam dan mengeluarkannya dengan cara yang sama. Dia pernah ada di saat-saat seperti ini sebelumnya meskipun dia telah lupa kapan tepatnya itu. Saat di mana dunia terlihat sama seperti orang lain melihatnya.

                “Theo … .”

                “Aaron.”

                “Apa?” tanya Raanana dengan terkejut.

                “Mulai hari ini aku ingin dipanggil dengan Aaron.”

                “Tentu. Boleh saja,” jawab Raanana dengan ringannya.

                “Jika wanita itu ingin pergi, biarkan saja. Tapi, aku harap dia menetap.”

                Raanana tertunduk lemah dengan hati lega. Sepuluh tahun berlalu dengan semua usahanya. Bukan hanya orang-orang yang meragukan dirinya, kadang dia sendiri juga mulai kehilangan kepercayaan diri. Sejauh ini dia mencari seseorang yang cukup berani dan siapa sangka orang itu datang dari pertemuannya yang tidak disengaja dengan kawan lama.

                “Kamu mungkin akan terkena komplikasi, Can.”

                “Hanya kumpulan beberapa penyakit, aku masih bisa menahannya,” jawab pria sebaya Raanana itu.

                “Kamu masih seperti yang dulu. Keras kepala.”

                “Tidak ada yang mengalahkan keras kepalamu. Buktinya aku telah menikah.”

                Raanana tertawa kecil dengan kalimat ejekan itu.

                “Lain kali, kamu harus bertemu ketiga putriku. Mereka cantik-cantik juga pintar, terutama Aurora. Dia adalah aku versi wanita.”

                Candra Akarsana, pria yang bertekad sekuat karang. Jika sudah berkeinginan, Tuhan pun dia lawan jika mampu. Raanana awalnya ragu, namun tidak dia sangka bahwa tekad kuat itu menurun juga pada Aurora.

                “Apa sekarang kamu bisa bernapas lega, Raa?” tanya Theo atau sekarang harus dipanggil dengan Aaron.

                Raanana terbangun dari lamunannya, “Melihat dari ejekanmu itu, aku pikir dua puluh tahun yang berat ini sudah mulai kamu tinggalkan.”

                “Aku harap begitu,” sahut Aaron.

                ****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan Kastil Putih   Merajut Asa

    “Tidak ada obat lain yang mampu menyembuhkan seorang pria, kecuali wanita yang dia cintai.” Mata Aaron terpejam sempurna dan sebuah senyum tercetak begitu jelas membingkai kedua belah bibirnya. Hari ini mungkin hari yang sama dengan hari lainnya, namun bagi Aaron hari ini sangatlah istimewa. Bagaimana tidak? Wanita yang membuatnya mengikrarkan diri sebagai bajingan sejati kini telah kembali padanya. “Apa kamu suka?” “Mataharinya?” tanya Aurora. Masih dengan posisi yang sama dengan dua puluh menit sebelumnya, membelai terus-menerus rambut pria yang berbaring santai di pangkuannya. Dengan cepat Aaron membuka mata lalu segera bangun. “Apa?” tanya wanita bermata bulat itu dengan tanpa dosa. “Kita nggak lagi bahas matahari, kamu tau itu?” protes Aaron. Aurora tertawa. “Kenapa kamu ketawa? Apa marahku lucu buat kamu?” “Iya,” tukas Aurora. “K

  • Tawanan Kastil Putih   Layani Aku Malam Ini!

    Aurora mengetahui kedatangan Aaron lewat jendela. Dia juga dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan pria itu jatuh bangun dalam kepayahan. Sudah bisa Aurora pastikan, malam ini Aaron sedang dalam pengaruh minuman. Dengan langkah gesa dia menuju bangunan yang dulu menjadi tempatnya mencari biaya pengobatan sang ayah. Masih lorong yang sama sehingga dengan mudah dia melewatinya meskipun sepatu yang dia gunakan haknya cukup tinggi. Dia mendengar suara Aaron yang mendesah dengan kesal menaiki tangga. Semakin dekat dia semakin tahu bahwa pria itu mungkin akan rubuh lagi dalam waktu dekat untuk itulah Aurora semakin mempercepat langkahnya. Deg!&

  • Tawanan Kastil Putih   Bertemu Kembali

    “Aurora?” kejut Thea. “Kapan kamu datang?” tanyanya dengan binar bahagia dan dengan cepat memeluk teman lamanya itu. Aurora tersenyum, “Sore tadi.” “Kastil ini menyeramkan tanpa kehadiranmu! Tuan Muda benar-benar gila sekarang!” lapor Thea pada Aurora. Dan masih banyak lagi kalimat yang Thea keluarkan dari mulut ceriwisnya, curahan hati yang mungkin lama dia pendam dan tidak tahu harus dia curahkan pada siapa. Namun, isi pokok dari semua celotehan itu tidak lebih dari sekedar fakta yang buram. Yang pasti hanya satu, tuan muda kastil putih itu senantiasa pula

  • Tawanan Kastil Putih   Kerelaan Aurora

    Dia pria yang kaya. Fisiknya rupawan, tinggi, gagah, dan sempurna. Ditambah dengan kemampuannya yang cerdas bahkan ketika dua puluh tahun berlalu dengan dia tertimbun trauma tidak dapat menghentikan sepak terjangnya untuk menjadi satu-satunya yang terpilih mewarisi semua aset milik keluarga. Bukan hanya sekedar dia putra tunggal saja, namun juga karena dia mumpuni. Nick, ayahnya percaya bahwa Aaron bisa mengelola semua yang dia wariskan dengan baik. Kepercayaan itu tidak dilandasi kasih sayang semata ayah kepada anak, melainkan dari segi potensi. Putranya itu memang mahakarya terbaik yang pernah dia miliki. Sampai suatu ketika anak laki-laki semata wayangnya itu membuat keputusan demi keputusan di lua

  • Tawanan Kastil Putih   Melepaskan Apa yang Sudah Menjadi Milik Orang

    Dua hari lalu, Raanana datang ke rumah Ken. “Aku mengganggu waktu pensiunmu?” “Sedikit,” jawab Ken. “Syukurlah maka dengan begitu kau pasti berpikir sekarang untuk apa aku menemuimu?” Ken duduk juga menyandingi wanita yang sudah dia anggap seperti ibunya itu. “Dia bersikeras untuk nggak mau memberitahukan alamatnya. Jadi, jangan memaksaku!” ucap Ken seolah sudah tahu maksud kedatangan Raanana.&n

  • Tawanan Kastil Putih   Menggali Harapan yang Terkubur

    “Di sini dia tinggal?” tanya Amanda pada wanita yang berdiri berkacak pinggang di sebelahnya. Wanita seusia Amanda itu membenarkan letak kacamatanya dan membaca sekali lagi tulisan yang tertera di selembar kertas. Lalu, dengan mantap dia mengangguk. “Kalau berdasarkan catatan dari keponakanmu, memang di sinilah tempat tinggalnya.” Amanda Carelia melihat sekeliling. Rumah di depannya berukuran kecil bahkan masih jauh kalah kecil daripada taman samping kastil tempatnya tinggal selama ini. Namun, begitu tampak sangat rapi dan terawat. Bangunan utamanya ada di tengah di kerumuni oleh tanaman-tanaman bunga dengan berbagai warna. Dan yang membuat berbeda adalah sebuah kedai minuman k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status