Bab 101Amina tertegun melihat mobil Ibu Hesti semakin menjauh dari dirinya.“Bu, kita di sini mau ngapain?” kata Bik Susi. Dia berdiri di samping koper bersama Ayang yang terkantuk – kantuk.“Saya tidak tahu Bik. Kita tunggu saja Bapak Ridho di sini.” Suara Amina terdengar cemas. Dilihatnya langit yang gelap gulita. Sebentar lagi hujan.Baru saja dia selesai, rinai datang mengguyur. “Hujan Bik, kita menepi dulu di teras rumah itu,” ajak Amina. Dia membuka pintu gerbang yang tidak terkunci dan membantu membawa kopornya masuk ke teras.Bik Susi menyusul Amina bersama Ayang. Mereka berdiri melihat hujan yang semakin lama semakin deras.“Siapa Ridho itu, Bu?” Bik Susi memecah kesunyian.“Saya juga tidak tahu Bik.”“Apakah dia lelaki baik, jangan – jangan dia orang jahat.” Bik Susi tiba – tiba cemas, majikannya akan dijual ke lelaki jahat.“Jangan berpikir aneh- aneh dulu, Bik. Kita tunggu saja dulu dia. Jika satu jam tidak datang, saya akan menghubungi Bu Hesti.” Amina tidak mau terpenga
Bab 102Amina melongo untuk beberapa detik. “Kamu gak bohong kan?” tanyanya dengan tatapan aneh.“Saya tidak mungkin berbohong, Bu. Semua surat – suratnya ada di saya . Ibu tinggal tanda tangan.” Ridho kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan semua berkas – berkas kepada Amina.Amina membacanya dengan tangan bergetar. Rumah itu memang untuknya. Ada namanya tertera dengan jelas di atas kertas. Wanita itu tak habis pikir. Kenapa Ibu Hesti sebaik itu padanya?“Tolong tanda tangan di sini, Bu?” pinta Ridho. Ia menyerahkan pulpen ke tangan Amina.“Sebentar, saya mau meminta penjelasan terlebih dahulu. Amina menenangkan diri. Dia kapan hari tanda tangan kontrak bersama Eril di kantor Bu Hesti, tapi di sana tidak ada pembicaraan tentang rumah. Apakah ini sebuah lelucon? Dia mencubit pipinya. Sakit! Kemudian ia melihat berkas rumah itu. Di situ masih ada namanya tertulis jelas. Jadi matanya tidak salah dan ini bukan guyonan maupun mimpi.Amina menelpon Ibu Hesti. “Malam Bu, Ridho bersama saya
Bab 103 Eril berdiri di depan pintu kamar Amina. "Amina, Amina, buka pintunya sayang," teriaknya berulang kali. Tidak ada jawaban dari dalam. Kemana Amina? Telponnya juga tidak aktif. Sesuatu pasti telah terjadi dengan Amina dan Ayang. Tidak mungkin mereka tidak menjawab panggilannya. Eril mulai frustrasi. Dia terduduk lesu di depan pintu.seraya memeluk kedua lututnya. "Ngapain kamu di situ, Ril? Amina sudah pergi. Dia tidak membutuhkan kamu sekarang." Iswati yang melihat Eril seperti orang putus asa kesal. Perempuan itu mengomel sepanjang waktu. "Pergilah Ma, biarkan aku sendiri di sini." Eril mengusir mamanya. "Mama tidak akan pergi, selama sikapmu begitu." "Kalau begitu, Eril yang pergi. Mama telah membuat hidup Eril hancur! Mama sok tahu mau mengatur hidup Eril." Lelaki itu bangkit dengan lunglai dan mengemasi pakaiannya. Iswati tercenung. "Jangan pergi Ril. Semua yang Mama lakukan demi kebaikan kamu." Ia berusaha mencegah. "Kebaikan apa Ma? Apa yang Mama tahu dari Eri
Bab 104 Dengan senyum manisnya, Dokter Kartika menjawab dengan lugas. “Saya selama ini sibuk bekerja hingga tak sempat memikirkan pasangan.” Senyum Iswati lebar sekali. Dia senang sekali dengan jawaban polos Dokter cantik itu. Sebuah ide tercetus di kepalanya. Betapa bahagianya jika dia mendapatkan mantu seorang Dokter. “Sungguh suatu kebetulan.” Perempuan itu melihat ke arah Eril. Eril bertambah muak dengan gelagat mamanya. Terang - terangan sekali dia ingin menjodohkannya dengan Dokter Kartika. “Dokter istirahatlah dulu, aku mau melanjutkan tidur dulu.” Lelaki itu menghindar. “Eril benar, sebaiknya Dokter Kartika istirahat dulu. Setelah itu kita makan siang. Tante mau masak spesial dulu.” Iswati mengajak Dokter Kartika ke kamarnya. Dokter Kartika mengangguk, meski dia tampak kecewa dengan sikap Eril yang dingin. Dia tahu lelaki itu sedang patah hati. Dengan napas tertahan, wanita muda itu duduk di tepi ranjang dan melihat sebuah lukisan siluet wanita berdiri di tepi jendela. M
Bab 105“Tante tahu saja maksud saya?” jawab Dokter Kartika tanpa malu – malu.Iswati tertawa terbahak – bahak. Anak sekarang memang lebih berani daripada ia saat muda dulu. Akan tetapi, dia menyukai wanita muda itu yang memiliki masa depan cerah, profesinya Dokter, masih muda, cantik, single pula. Bukankah dia menantu idaman?“Tentu saja. Tante senang dengan keterus teranganmu dan akan mendukungmu 100 persen!” Iswati mengedipkan mata.“Terima kasih, Tante.” Dokter Kartika memeluk Iswati hangat. “Bagaimana kalau kita shopping setelah itu memanjakan diri ke Spa?”“Siapa takut. Tante sudah lama tidak ke Spa.”***Eril mengendarai mobilnya ke studio RTV dengan pikiran melayang. Syutingnya masih 4 jam lagi, dan dia memilih datang sangat awal. Sesampainya di parkiran RTV, ia berdiri di samping mobil, matanya seperti elang menyusuri tiap jengkal sudut mencari sesosok wanita yang amat dirindukannya.Tak jauh dari tempatnya berada, Ibu Hesti yang baru datang dari meeting melewati Eril. “Pak,
Bab 106 Eril menatap punggung Bu Hesti dengan kepala berdenyut. Omongan perempuan itu pedas dan ia bisa menangkap kesakitan luar biasa dalam nada suaranya. Bu Hesti berbeda dari mamanya. Mama yang mengandung dirinya, sering mencemoohnya. Sedangkan Bu Hesti tidak. Meskipun kata – katanya pedas, semua yang diucapkannya mengandung kebenaran. Ia lelaki, dirinya tidak boleh lemah hanya karena cinta. Dia harus bisa membuktikan pada Amina bahwa cinta yang diberikannya bukanlah pepesan kosong. Cintanya agung dan tulus. Sebuah kesadaran muncul. Eril menghembuskan napas ke udara. Kemudian pandangannya tertuju pada sebuah mobil sedan hitam. Seorang wanita turun dengan elegan. Mulut Eril ternganga, dan tanpa sadar mulutnya berteriak. “Amina…!” Amina menoleh, hatinya berdegup kencang. Kerinduan yang dipendamnya selama 3 hari mengulik hati. Perempuan itu mempercepat langkahnya. “Amina! Tunggu!” Eril mengejarnya. Dia lalu menarik lengan perempuan itu. Ia lalu memeluknya erat. “Aku kangen kamu.
Bab 107 Kecemasan Bik Susi sampai di ubun – ubun. Dia berusaha menelpon Amina. Tapi telponnya tidak aktif. Ah dia lupa, Amina saat ini sedang syuting, dan acaranya selesai jam 12 malam nanti. Tak mungkin dia bisa menghubunginya. Di tengah rasa bingungnya, Bik Susi menelpon Eril. Sama saja, telponnya sama – sama tidak aktif. “Duh Gusti, aku harus telepon siapa ini?” Ia berpikir keras. “Apakah aku harus ke RTV?” Tempatnya jauh sekali. Jaraknya kira – kira 2 jam dari tempatnya sekarang. Perempuan itu garuk – garuk kepalanya sendiri. “Sudahlah, aku kesana saja, daripada aku stress sendirian? Tapi bagaimana jika Ayang pulang ke rumah? Dia tidak bisa masuk.” Bik Susi semakin bingung memutuskan. Ia berjalan mondar – mandir di taman. *** Sore itu mendung tebal menggantung di langit. Kepala Ayang mendongak ke atas. “Ya Allah, jangan hujan. Ayang belum sampai di rumah.” Ia memijit kakinya yang letih. Ia tadi nekad pulang ke apartemen lamanya, dan ia sekarang kebingungan mencari jalan untuk
Bab 108 Hujan deras mengguyur, Bik Susi memutuskan untuk pergi menemui Amina. Siapa tahu Ayang mencari ibunya. Dia menempuh perjalanan 2 jam perjalanan itu sambil berlinang air mata. Ia takut sekali Amina menyalahkannya. Sesampainya di RTV, Amina memarkir mobilnya dan menemui satpam yang berjaga. “Pak, saya mau menemui Ibu Amina. Ini penting sekali.” “Gak bisa, Ibu Amina sedang syuting. Saya tidak bisa mengganggunya.” “Tapi Pak… tolong, anaknya Ibu Amina tidak ada di sekolah. Saya dari beberapa jam lalu mencarinya dan saya tidak bisa menghubungi Ibu Amina. Tolong, Pak, tolong!” Bik Susi mulai menangis. “Maksud kamu, Ayang diculik?” tanya satpam kaget. “Saya tidak tahu! Pokoknya saya mau bertemu Ibu Amina sekarang!” Bik Susi mulai kesal. “Apa Bapak tidak kasihan sama saya, saya naik motor 2 jam ke sini hujan – hujan?” “Baik… baik. Ayo ikuti saya,” ajak satpam itu. Pembicaraan antara Bik Susi dan satpam itu didengar oleh wartawan gossip. Lelaki itu mengikuti keduanya diam – diam