Share

BAB 5

Eliza baru saja selesai menjemur jas yang dicucinya, dengan sedikit dumelan kesalnya, karena terus diperintah sana sini.

Saat melangkah menuju ruang tengah. Manik mata Eliza menangkap adiknya berbaring tidak sadarkan diri di lantai. Dengan Erlan duduk santai di sofa berjarak setengah meter dari tubuh Erlan.

Bola mata Eliza memanas. Tangannya mengepal, memperlihatkan urat tubuhnya yang menegang. Tubuhnya memerah karena marah.

Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Hingga pelupuk matanya, tidak lagi bisa menampung air matanya. Kebencian yang ingin ia hilangkan dan lupakan atas kepergian keluarganya. Kini kembali muncul paling depan di hatinya.

Eliza menghela nafas kasar, mencoba mengendalikan amarahnya. Melihat adiknya yang terlihat masih bernafas dari dadanya yang naik turun.

"Erlan Rodriguez, kenapa kau melakukan ini pada adikku? Padahal aku sudah menuruti segala kemauanmu!" ucap Eliza tenang terkesan dingin dan sorot mata penuh kebencian.

Erlan menyeringai, lalu bertepuk tangan, hingga sebuah layar muncul memperlihatkan kejadian yang berada di bawah tanah. Di mana Sean menghabisi beberapa anak buahnya.

Eliza memejamkan matanya, "Sean. Berapa kali Kakak bilang, jangan berulah dulu," batinnya menatap adiknya.

Eliza berjalan mendekat, menatap sedih pada adiknya yang diperlakukan lebih rendah dari seekor binatang. Langkah Eliza berhenti tepat di sebelah Sean.

Erlan menyeringai, menunggu apa yang akan dilakukan Eliza.

"Jangan melawannya Eliza. Ini belum saatnya. Adikmu harus diberi pertolongan," batin Eliza kemudian menjatuhkan tubuhnya, di samping Sean.

"Aku mohon, panggil dokter," ucap Eliza memohon.

Eliza yang akan memohon tanpa meledakkan amarahnya, tentu diluar perkiraan Erlan. Ia sempat terkejut, tapi sesaat kemudian ekspresinya kembali normal.

Erlan terdiam, tangannya yang berada di dagu sama sekali tidak berpindah. Matanya terus menyorot pada Eliza.

Terpikirkan sesuatu, Erlan kembali menyeringai. Ia duduk dengan angkuhnya di sofa, ditemani para bawahannya yang berdiri di sisi dan bagian belakangnya.

"Evan panggil dokter," perintah Erlan.

Evan melirik Erlan, matanya memicing, seolah ingin membaca isi pikiran Erlan. Sudah pasti akan ada suatu hal seru, jika Erlan dengan mudah menuruti permintaan musuhnya.

"Apa yang kau tunggu. Cepat telepon dokter!" perintah Erlan menatap tajam.

"Em, iya, baik," ucap Evan tidak ingin ambil pusing.

Ia segera menjauh dan melakukan panggilan pada dokter yang sudah sangat dikenalnya.

Setelah beberapa menit menunggu dalam keheningan. Dokter yang ditunggu telah datang.

"Kau kemari, duduk di pangkuanku!" perintah Erlan menepuk pahanya.

Eliza mengangkat pandangannya menatap tajam Erlan. Enggan membantah yang mempersulit adiknya mendapat penanganan, Eliza menurut.

Perlahan ia duduk di pangkuan Erlan. Tangan Erlan pun segera melingkar di pinggang ramping wanita itu.

"Dokter lakukan tugasmu," perintah Erlan, dengan tangannya yang mengusap lembut perut Eliza.

Eliza memejamkan matanya, bukan karena menikmati apa yang dilakukan Erlan. Tapi, ia merasa jijik dan malu saat tubuhnya disentuh seperti itu, di hadapan banyak pria.

Dokter yang melakukan pekerjaannya, dibantu beberapa bawahan. Sedangkan Erlan, semakin nakal, menyentuh setiap inci tubuh Eliza.

Eliza menghentikan gerakan tangan Erlan, ia menatap tajam pria itu, dan Erlan membalasnya dengan tenang.

"Kau tidak ingin adikmu kenapa-napa kan?" bisik Erlan dengan lembut.

Tubuh Eliza meremang, nafas hangat Erlan menyentuh kulitnya.

Eliza memejamkan matanya, air matanya menetes, melepaskan tangan Erlan, membuat Erlan menyeringai, dan melanjutkan aksinya, tanpa peduli sekitarnya.

"Shit, Erlan tidak tau malu. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada gadis polos di depan mata kita," umpat Dante menyaksikan setiap perlakuan Erlan pada Eliza yang terlihat menahan malu.

Bohong jika ia tidak berhasrat melihat itu. Tangisan dan lenguhan lembut Eliza sangat memancing dirinya. Jika dilihat tentu bukan hanya dirinya yang terlihat panas. Beberapa bawahannya juga terlihat berbisik, bahkan ada yang sudah melakukan dengan tangannya sendiri.

Evan terkekeh, "Bukankah sudah biasa, kita melihat Erlan melakukan itu. Hanya saja kali ini pada gadis polos. Kau mau coba saja tawarkan diri. Biasanya Erlan juga berbagi wanita kan."

Dante terdiam beberapa saat. Akankah Erlan membiarkannya bergabung? Sedangkan tadi pagi Erlan sudah menyatakan tidak akan berbagi.

"Apa salahnya mencoba," ucap Dante merasa tertantang.

Dante bangkit dari duduknya menepuk punggung Erlan yang tengah menikmati dada Eliza.

Erlan menghentikan aksinya, lalu menoleh, menatap dingin pada Dante. Sedangkan Eliza langsung menyembunyikan wajahnya di balik dada Erlan.

"Bolehkah aku bergabung, sepertinya ini sangat seru," pinta Dante.

Erlan menaikkan sebelah alisnya, lalu menyeringai.

"Tentu boleh," ucap Erlan membuat Eliza membulatkan matanya. Ia langsung memberikan hantaman keras menggunakan lutut pada bagian bawah Erlan.

"Akh!" pekik Erlan menyentuh bagian bawahnya.

Pria itu bahkan sampai terduduk di lantai karena rasa sakit yang menjalar. Eliza kemudian melompat ke belakang sofa, merapikan pakaiannya.

"Apa maksudmu membiarkannya menyentuhku? Aku tidak sudi, tidak akan pernah sudi disentuh dua pria sekaligus! Kau yang sudah menyentuhku, maka hanya kau yang boleh menyentuhku! Jangan membuatku seperti wanita hina, menawarkan tubuhku pada teman-temanmu, bajingan!" teriak Eliza penuh emosi. Ia mengambil sebuah guci dan melemparkannya pada Erlan, beruntung Dante berhasil menangkapnya, sehingga tidak mengenai Erlan yang tampak menahan rasa sakit di pangkal pahanya.

"Sekali lagi kau menawarkan ku pada teman-temanmu, kau akan melihat mayatku. Dengan begini, kau tidak akan bisa membuatku tersiksa lebih lama!" ucap Eliza dengan tatapan tajamnya memperingati Erlan yang juga menatapnya lembut dan terlihat menahan sakit.

"Kematian setidaknya jauh lebih baik, daripada melihatmu tertawa puas menyiksaku!" ucap Eliza kemudian berbalik meninggalkan tempat itu.

"Dia hanya ingin aku menyentuhnya," batin Erlan. Entah kenapa merasa tersanjung dengan kalimat sederhana itu.

"Akh!" Erlan kembali meringis kesakitan saat berusaha bergerak.

"Wah, apakah milikmu akan lumpuh setelah ini?" ledek Evan tertawa kecil melihat Erlan kesulitan berdiri.

"Bajingan berani kau menertawaiku!" bentak Erlan tidak terima.

"Hehe, sudah kukatakan, gadis itu mungkin polos dalam hal hubungan intim, tapi bukan untuk hal mustahil gadis itu yang membunuhmu nanti. Dia cukup kuat untuk melawanmu. Kau yang terlalu meremehkannya," ledek Evan sama sekali tidak merasa bersalah, ataupun takut.

Erlan berdecak, tidak menanggapi Evan, ia melirik dokter yang memeriksa Sean.

"Apa yang kau lihat! Obati aku dulu!" sungut Erlan kesal.

Menahan rasa sakit yang ada, Erlan menumpu tangannya, hingga ia bisa duduk dengan sendirinya di sofa.

"Ah, shit! Milikku tidak pecah, kan? Hanya benda ini yang tersisa untuk meneruskan keturunanku," batin Erlan harap-harap cemas pada batang miliknya.

Erlan memejamkan matanya, berusaha tetap tenang, menetralisir rasa sakit yang ada. Hentakkan lutut Eliza, sungguh membuat seluruh tubuhnya bergetar seperti merasakan sengatan listrik yang luar biasa.

Dokter benar-benar beralih memeriksa kepemilikan Erlan. Saat dibuka, lagi-lagi Evan tertawa keras melihat milik Erlan yang memerah.

"Jika itu patah, kau tidak akan bisa memiliki anak. Hehe, kau harusnya mendengarku. Sudah tau dia anak Aiden Martinez, malah macam-macam dengannya," ucap Evan tiada hentinya meledek Erlan.

"Jika milikku patah, lehermu yang akan kupatahkan!" sergah Erlan tajam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status