Share

4. Indahnya Menjadi Pengantin Baru

Aku membuka mata. Sorot sinar mentari pagi yang menerobos melalui kaca jendela sungguh menyilaukan. Sepertinya hari sudah beranjak siang. Untuk melihat waktu kulirik jam digital kecil pada buffet kamar. Pukul delapan lebih dua puluh tiga menit. Benar sudah siang.

Aduh ... kenapa aku bisa bangun kesiangan begini? Namun, otak ini dengan cepat mengirim sinyal memori. Seketika bibirku melukis senyum teringat kenapa bisa terlambat bangun.

Selepas subuh tadi Kak Sabiru meminta jatah sarapan batinnya. Pria itu luar biasa perkasa. Aku dibuatnya takluk berkali-kali. Dirinya bagaikan singa lapar saat menikmati tubuhku. Bukan kasar, tetapi menggairahkan. Itu semakin membuatku mabuk kepayang kepadanya. Ingin terus merasakan kembali perlakuan lembut dan manisnya. Seperti candu, aku ingin setiap saat disentuh pria itu.

"Aku akan membawamu mendaki puncak kenikmatan surga dunia, Bila. Aku yakin setelah ini, kamu akan semakin tergila-gila kepadaku seperti almarhum Kamila dulu."

Bisikan penuh percaya diri dari Kak Sabiru saat pertama kalinya menyentuhku kembali terngiang di telinga. Dan itu membuat bulu kuduk di badan meremang jika mengingatnya. 

Ya ... Tuhan ... kenapa harus sedahsyat itu pesona Kak Sabiru. Aku menggeleng. Ini sungguh gila! Aku yang dulu begitu benci kepadanya, begitu menginginkan dia membusuk di jeruji besi, kini berubah seratus delapan puluh derajat. Seperti terkena karma justru sekarang aku seperti berada di dalam penjara cintanya. Ya ... hatiku sungguh tertawan pada pria kalem itu.

Tiba-tiba pintu berderit. Kak Sabiru muncul dengan rambut basahnya dan juga senyuman manis. Dirinya mendekat untuk kemudian memungut baju tidurku tergeletak di lantai. Pakaian itu pagi tadi di lempar sembarangan oleh dirinya saat meminta jatah sarapan batinnya.

"Mandilah sudah siang!" suruh Kak Sabiru sembari mengangsurkan baju itu untuk kupakai. Pria itu ikut duduk di ranjang.

Aku menggeliat panjang. Ahhh ... badan ini terasa pegal di beberapa tempat. Ogah-ogahan aku bangkit duduk.

"Badanku sakit semua, Kak," keluhku seraya memakai daster itu kembali.

"Maafin, Kakak, ya," ucapnya tulus sambil mengecup lembut jemariku. "Harap maklum, setahun lamanya Kakak berpuasa, jadi saat berbuka kalapnya minta ampun," ujarnya disertai cengiran. Aku pun ikut terkikik kecil jadinya.

"Kayaknya bakal semakin susah jalan nih, Kak." Kembali aku mengeluh. "Malu kalo diledek jalannya tertatih," jujurku lirih.

"Ya udah sini kakak gendong sampai ke kamar mandi. Mumpung gak ada orang," saran Kak Sabiru perhatian. Pria itu lekas bangkit dari ranjang, lalu merendahkan badan. Siap untuk menggendong.

"Sini!" Kak Sabiru menepuk punggungnya. Mengisyaratkan agar aku lekas menaiki tubuhnya.

"Enggak ... ah! Malu." Aku mengulum senyum.

"Malu sama siapa? Semua pada pergi," ujar Kak Sabiru menegakkan badannya kembali.

"Emang pada pergi ke mana?"

"Ibu sama ibu Halimah pergi ke pasar," jawab Kak Sabiru menyebut nama ibu tiriku. "Nasya bawa Keanu keliling komplek, kalo paman lagi beli bensin sekalian manasin mobil," lanjut Kak Sabiru menjelaskan.

"Beneran gak ada orang?" Akhirnya aku tertarik juga tawaran gendongan Kak Sabiru.

"Iya, makanya buru sebelum pada pulang!" suruh Kak Sabiru. Pria itu kembali merendahkan badan.

"Iya deh kalo maksa."

Aku bangkit berdiri di ranjang, lantas menjatuhkan diri pada punggung pria tersayang ini.

"Hop!" Kak Sabiru menegakkan badan  usai memegang erat kedua kakiku yang melingkar di pinggangnya. Tertatih dia melangkah ke luar kamar. "Berat juga nih bunda Keanu. Berasa gendong buntalan beras."

Spontan kucubit punggungnya. Lumayan keras. Membuat Kak Sabiru memekik kecil dan meminta ampun.

"Ngatain istri mirip buntalan beras, tapi nafkah batin doyan minta ampun," sindirku kesal.

Habisnya sebal mendengar ledekannya. Badanku memang tidak selangsing saat masih perawan. Sudah mulai agak lebar, tetapi itu kan wajar. Namanya juga baru lahiran tiga bulan lalu. Belum sempat merawat diri.

"Iya ... tapi ayah suka bunda tembem gini. Jadi empuk kalo ayah ndusel-ndusel."

Seketika senyum semringah terbit di bibirku, mendengar kejujuran yang terlontar dari pria bertubuh lumayan tegap ini. Merasa terbuai kucubit mesra punggungnya lagi. Kak Sabiru mengaduh pelan. Dirinya terus berjalan sembari menggendong tubuhku penuh kasih sayang.

"Pengantin baru gendong-gendongan terus, seperti drama Korea saja."

Seketika aku dan Kak Sabiru menoleh ke arah sumber suara. Ternyata ada Paman yang melihat kelakuan kami. Pria itu seperti tergesa-gesa.

"Turunin!" perintahku pada Kak Sabiru karena malu kepergok oleh Paman.

"Sudah teruskan saja. Anggap saja paman tidak lihat," suruh Paman tanggap dengan perasaanku. "Paman balik lagi cuma mau ambil dompet. Kelupaan." Pria berusia awal empat puluhan yang masih terlihat gagah itu menepuk keningnya sendiri, "untung belum jauh," lanjutnya sembari membuka pintu kamar pribadinya.

Aku dan Kak Sabiru hanya bisa saling pandang. Beberapa detik kemudian Kak Sabiru meneruskan langkah kembali menuju kamar mandi.

"Makasih," ucapku selepas Kak Sabiru menurunkan badanku di depan pintu kamar mandi.

"Kalo di rumah sendiri kakak mau mandi bareng. Biar dimandikan sama kamu," ujar Kak Sabiru terdengar serius.

"Dimandikan? Emangnya masih bayi?"  Aku mencoba meledek.

"Ya anggap saja bayi besar minta dimandikan," sahut Kak Sabiru santai. "Sepertinya kakak akan mempertimbangkan saran ayah untuk menempati rumah sendiri deh, La," tutur Kak Sabiru kembali serius, "biar tidak ada yang menggangu kemesraan kita," lanjutnya mengedipkan satu mata. Membuatku merona malu.

"Lho ... gak jadi mandi, La? Malah ngobrol." Paman Hasan hadir kembali untuk menegur.

"Lha Paman kenapa masih di rumah gak jadi pergi ke POM?" sahutku cuek balas tanya.

"Paman haus, mau minum sebentar," jawab Paman melenggang santai menuju dapur.

"Kalo kita di rumah sendiri. Kita bebas mau ngapa-ngapain, Sayang." Kak Sabiru berujar setelah Paman berlalu dari hadapan.

"Emang kita mau ngapain aja?"

Kak Sabiru mendelik kesal mendengar pertanyaan sok polosku. Aku terkekeh kecil.

"Ya ... udah aku mandi dulu, ya."

Mendapat persetujuan dari Kak Sabiru, aku lekas masuk dan langsung mengunci pintu. Kemudian membaca niat mandi wajib dalam hati.

Sembari mengguyur badan, otakku memikirkan omongan Kak Sabiru tadi. Pria itu mewarisi sebuah apartemen lumayan mewah yang hingga kini masih ditempati oleh dokter Tama. Tidak cuma itu, Kak Sabiru juga mewarisi sebuah rumah peninggalan ibunya yang dibelikan spesial oleh Om Hendri.

Kak Sabiru yang bersahaja memilih tinggal di rumah mungil milik kakeknya sewaktu ditinggal oleh ibunya. Bahkan setelah menikah dengan almarhum Kamila, dirinya rela bersedia menempati hunian kecil ini. Demi memenuhi keinginan sang istri yang tidak mau berjauhan dengan ibu kandung.

Rumah peninggalan kakek ia sewakan beserta rumah warisan dari sang ibu. Saat ini setiap tahunnya dirinya selalu mendapat uang dari hasil sewa itu. Itulah mengapa, walaupun dia hanya seorang pekerja kantor biasa, tetapi saldo rekeningnya lumayan besar. Sangat besar malah jika diukur dari kaca mataku. Pasalnya Om Hendri tiap bulannya juga tidak pernah sekalipun melupakan kewajiban sebagai seorang ayah. Lelaki itu memperlakukan Kak Sabiru dan Zayn sama sayangnya.

Lagi, Kak Sabiru yang sederhana menolak ajakan Zayn untuk bergabung di perusahaan sang ayah. Dengan alasan dia tidak ingin merubah keadaan yang telah terbiasa ia jalani sejak dulu kala. Dirinya juga berkilah tidak ingin menghabiskan waktunya hanya untuk bekerja. Seperti Zayn yang gila pada pekerjaan.

Kak Sabiru ingin menikmati kehidupan dengan damai dan santai. Bukan karena tidak mau bekerja keras, tetapi ia benar-benar ingin menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dengan keluarga. Namun, dirinya tidak bisa menolak saat Om Johan mengembalikan pundak kekuasaan sebuah cafe yang merupakan kepunyaan ibunya sendiri.

Jadi kini selain bekerja sebagai pegawai kantoran, Kak Sabiru mulai mengendalikan cafe miliknya yang lama dipegang oleh ayahnya Elma itu. Kecintaannya pada dunia kuliner tersalurkan kembali. Bukan tanpa alasan kenapa dia menolak mengelola cafe itu.

Dulu Kak Sabiru begitu membenci sang ayah. Ribuan surat serta telepon darinya tidak pernah dibalas. Uang tabungan dari Om Hendri juga tidak pernah disentuh. Dirinya hanya membelanjakan uang dari hasil sewa rumah sang kakek.

Merasa cukup bersih dan segar, aku pun menyudahi aktivitas menyenangkan ini. Langkah kuayunkan menuju dapur. Perutku menjerit lapar. Ternyata di situ sudah ada Kak Sabiru yang tengah mengolah makanan.

"Bikin apa?" tanyaku mendekat.

"Tumis kangkung terasi kesukaannya bunda Keanu," sahut Kak Sabiru tetap fokus menyiangi sayuran hijau itu.

Aku tersenyum haru mendengarnya. "Tapi, ayahnya Keanu kan gak doyan sayur kangkung. Katanya geli di tenggorokan kalo makan," tukas kemudian.

"Ayahnya Keanu lagi mau belajar suka sama kangkung."

Kembali bibirku mengulas senyum mendengarnya. Pria ini sungguh membuatku jatuh cinta berkali-kali. "Ya udah aku bantu irisin bumbu, ya."

Tanpa menunggu persetujuan darinya, aku mengambil bumbu-bumbu yang telah disiapkan. Lekas kucuci untuk kemudian diiris.

"Aduhhh!" Aku mengaduh saat mengiris bawang merah, mata ini terasa perih.

"Kenapa, La?" Kak Sabiru mendekat.

"Mataku perih," jawabku sambil mengerjap-ejap. "Bawang merah gak di dunia dongeng, gak di dunia nyata itu suka bikin perih seseorang, ya," lanjutku sedikit kesal. Air mata pun luruh di pipi saking perihnya.

"Sini kakak tiup."

Kak Sabiru menatap intens, sedangkan aku masih sulit untuk membuka mata. Pria itu mendekatkan wajah, lalu mulai meniupi mataku.

"Bagaimana masih perih?" tanya dia perhatian.

"Masih," jawabku dengan mata yang masih terpejam.

Kembali Kak Sabiru meniupi mataku dengan penuh kasih sayang. Perlahan-lahan rasa perih itu sedikit sirna. Begitu aku membuka mata, Kak Sabiru tampak mengembangkan senyum. Jarinya terulur untuk menghapus air mataku. Kemudian pria itu kembali mendekatkan wajah. Jarak kami sudah sangat dekat, bahkan hidung pun telah beradu.

EHEM EHEM

Kak Sabiru lekas menarik mukanya begitu mendengar dehaman seseorang. Ketika kami menoleh ternyata seorang Nasya pelakunya.

"Duh ... senangnya lihat pengantin baru, mesra-mesranya mulu," ledek Nasya mendekat.

"Kok sendiri mana Keanu?" tegurku sedikit kesal. Pasalnya gadis itu mengganggu momen romantisku dengan Kak Sabiru.

"Tidur. Udah aku baringkan di boks," jawab Nasya enteng. Gadis itu lantas mendekati Kak Sabiru sembari menengadahkan tangan. "Upahku mana?"

Tanpa bicara Kak Sabiru merogoh kantung celana pendeknya. Selembar uang kertas warna merah ia berikan untuk gadis berkulit lumayan bersih itu.

"Makasih," cengir Nasya riang. "Kakak Biru emang baik," pujinya sembari mencium tangan Kak Sabiru. Kak Sabiru sendiri hanya mengulum senyum, lalu mengacak pelan rambut Nasya.

"Tunggu-tunggu!" Aku menatap Nasya dan Kak Sabiru bergantian. "Ini tadi kamu bilang minta upah ... emang kamu habis ngapain sampai minta bayaran?" selidikku serius.

"Kak Biru menyuruhku untuk membawa Keanu jalan. Biar gak menggangu kalian katanya." Nasya menjawab dengan enteng.

Gegas kupandang Kak Sabiru, pria itu tersenyum isyarat berkata iya. Walau merona bahagia mendengar itu, tetapi aku berpura tetap memasang wajah tegas.

"Ya udah Nasya pergi beli pulsa dulu. Pinjam sepeda mininya ya, Kak," izin Nasya kemudian.

"Gak boleh. Itu sepeda berharga. Tidak sembarang orang boleh menyentuhnya," larangku tegas.

"Kendaraan berharga tuh Lamborghini atau jet pribadi," tukas Nasya santai, "Lagian Kak Bila tuh aneh, minta mas kawin berupa sepeda mini. Minta mobil sport kek. Kak Sabiru pasti sanggup memberikannya kok," lanjut Nasya enteng sekali.

Kak Sabiru sendiri hanya tersenyum mendengar ocehan Nasya. Berbeda dengan aku yang mulai sebal mendengarnya. Dari dulu kami memang sering bersilat lidah, tetapi kami juga saling menyayangi satu sama lain.

"Aku ini bukan cewek matre yang suka minta berlebihan pada pasangannya," sombongku percaya diri.

"Cewek matre sudah bukan hal aneh lagi kok, Kak," tukas Nasya terdengar kian menjengkelkan. "Kita akan ketinggalan jaman kalo tidak matre," tutur Nasya dengan gaya seksi yaitu mengibaskan rambut panjangnya.

Mendengar itu dadaku kian dongkol saja. Apalagi saat melihat aksi centilnya berjalan melenggok meninggalkan kami berdua ke luar dapur.

"Kok dia bisa semenyebalkan itu sih?" syokku dengan mulut melongo pada Kak Sabiru usai Nasya menghilang dari pandangan.

"Dan itu salah satu alasan kita harus pindah dari sini," sahut Kak Sabiru cepat. "Biar tidak ada yang menggangu kalo kita lagi main," lanjutnya dengan keringan nakal.

"Main apa?" tanyaku tidak paham.

"Itu ...." Kak Sabiru menyatukan kedua tangan dengan jemari yang menggambarkan orang tengah berciuman.

"Apaan sih?!" Aku mencubit pelan perut Kak Sabiru setelah paham maksudnya.

Lalu kami pun kembali melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda tadi, yaitu membuat tumis kangkung. Dalam diam aku berpikir. Sepertinya usul Kak Sabiru ada benarnya juga. Menempati rumah sendiri jauh lebih leluasa dan nyaman dibandingkan hidup seatap dengan banyak orang seperti ini. Tapi ... bagaimana dengan Ibu nanti? Apakah dia tidak akan kesepian?

Next.

Kalo ada typo bagi tahu ya. jangan lupa like, komen, n share. follow me juga yeah. happy reading ?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status