Share

5. Para Mantan

Kak Sabiru mengambil cuti selama seminggu untuk hari pernikahannya. Dan tiga hari lagi cuti Kak Sabiru dari kantornya akan berakhir. Besok pria itu akan kembali bekerja.

Sebenarnya Kak Sabiru mengajak untuk berbulan madu. Bahkan Om Hendri telah menyiapkan tiket untuk kami berlibur. Namun, aku menolaknya.

Keanu masih terlalu kecil untuk ditinggal. Apalagi dia masih full ASI. Tidak tega rasanya meninggalkan bayi mungil itu bersama neneknya. Terlebih Ibu sering kewalahan menghadapi jerit tangisnya.

Keanu kalau sudah menangis cuma aku yang bisa menenangkan. Sebab aku punya penawarannya, yaitu ASI ini. Karena alasan itulah baik Kak Sabiru maupun Om Hendri maklum.

Masa libur yang lumayan terasa singkat ini digunakan seefektif mungkin oleh Kak Sabiru. Dirinya benar-benar meluangkan waktunya untuk quality time bersama aku dan Keanu. Sepertinya dia sadar sebentar lagi akan kembali sibuk bekerja dan mengelola kafe. Jadi dia tidak ingin melewatkan waktu ini berlalu begitu saja tanpa meninggalkan kesan.

*

Sore ini kembali Kak Sabiru telaten mengajariku naik sepeda di taman kompleks. Nasya ikut ke taman untuk menggendong Keanu. Di usia dua puluh tiga tahun lewat empat bulan ini, aku sama sekali belum bisa mengayuh sepeda. Karena dulu almarhum Ayah tidak membelikan sepeda kecil untuk belajar. Padahal seperti kebanyakan anak kecil lainnya, dulu aku juga berharap punya sepeda sendiri untuk berangkat sekolah atau bermain. Namun, gaji Ayah yang pas-pasan membuat kami harus hidup hemat.

Dulu pernah belajar naik sepeda punya sepupu dari pihak Ibu Halimah, ibu tiriku. Tetapi karena belajar sendiri tanpa ada yang mengawasi aku pernah terjun ke selokan yang lumayan dalam. Kakiku sampai pincang dengan luka lecet di sekujur badan. Bahkan ada sekitar sebulan aku sudah berjalan. Alasan itulah yang membuat aku sedikit trauma belajar naik sepeda. Memutuskan lebih baik berjalan kaki atau naik angkutan umum jika ingin bepergian.

Namun, beberapa waktu lalu sebelum menikah ulang dengan Kak Sabiru, saat sedang berjalan-jalan di taman kompleks ini bersama Keanu, aku melihat ada seorang anak kecil yang tengah giat belajar naik sepeda bersama sang ayah. Anak perempuan cantik yang kutaksir sekitar berusia lima tahunan itu tampak begitu semangat mengikuti arahan sang ayah. Bahkan dia sama sekali tidak menangis walau sudah jatuh berulang kali.

Melihat itu tiba-tiba saja hati kecilku terlecut ingin belajar naik sepeda juga. Jadi ketika Kak Sabiru menanyakan ingin mas kawin apa, aku jawab sepeda mini.

Sore hari taman kompleks perumahan kami lumayan ramai. Apalagi suasananya cerah seperti ini. Udara terasa sejuk karena banyaknya pepohonan dan bunga di taman ini. Kebanyakan orang yang mampir ke taman adalah ibu-ibu kompleks yang tengah sibuk menyuapi para balitanya. Atau juga anak-anak kecil yang bermain riang di playground.

Seperti pada kebanyakan orang yang telat belajar, aku pun begitu kaku saat menaiki sepeda mini berwarna merah muda itu. Hati yang gugup membuat aku tampak spaneng saat mengayuhnya. Dan kurang afdhol rasanya jika belajar sepeda tidak jatuh.

"Auwww!"

Aku mengaduh saat sepeda yang  tengah dinaiki ini menabrak bangku taman. Untung tidak sedang diduduki orang, sehingga hanya aku saja yang terluka.

"Sakit, La?" tanya Kak Sabiru perhatian sembari mengelus tungkai kakiku.

"Lumayan," sahutku disertai desisan.

Kak Sabiru menyingkap celana training hitam yang menutupi kulit kakiku. Pria itu memeriksa. "Gak ada yang lecet, tapi takutnya lebam nanti. Lebih sakit itu biasanya," cemasnya.

"Gak papa. Gak sakit banget kok." Aku menenangkan. Sebenarnya kaki ini rasanya lumayan sakit, tetapi rasa itu terbayarkan dengan kelulusan aku bisa menaiki sepeda ini.

Kak Sabiru membimbingku duduk di bangku taman. Hati-hati dia memijit pelan kaki ini. Ketika aku mengerang tertahan, dia berhenti.

"Kita ke dokter?" Kak Sabiru menawarkan.

"Enggak ah!" Aku menggeleng untuk menolak. "Nanti dipijat pake minyak tawon oleh ibu pasti mendingan kok."

"Yakin?"

Mata Kak Sabiru menatap lekat. Kuiyakan dengan anggukan dan senyuman samar.

"Mesra-mesraan mulu! Nih anaknya nangis!"

Aku dan Kak Sabiru menengok ke sumber suara sumbang itu. Datang si comel Nasya dengan mulutnya yang bersungut. Gadis itu langsung menyerahkan Keanu pada Kak Sabiru. Kak Sabiru yang tanggap lekas bangkit berdiri untuk menepuk-nepuk Keanu. Mencoba mendiamkan tangis bayi itu.

"Bisa dijaga gak sih mulutnya?! Asal banget kalo ngomong, mentang-mentang lidah tidak bertulang."

Aku menegur Nasya dengan tajam. Pasalnya ini anak sudah terbiasa bicara sumbang. Persis ibu kandungnya. Dan juteknya turunan dari Ayah. Walau aku menyayanginya, tetapi dongkol juga kalau dia terlalu melunjak.

"Ya ... habisnya Keanu susah ditenangin kalo nangis," sungut Nasya masih dengan bibir monyongnya. Dirinya menghempaskan tubuhnya di sebelahku persis.

"Ya gak gitu juga ngomongnya! Ngomong yang bener kan bisa," sergahku keras. Gadis ini memang harus dikerasin.

"Sudah-sudah jangan ribut!" Kak Sabiru melerai. "Kita pulang aja yuk, Bun!" ajak Kak Sabiru kemudian. Aku mengangguk cepat.

"Bang, bagi duit dong! Nasya capek gendong Keanu yang gembul. Pengen beli es krim itu," pinta Nasya manja sembari menengadahkan tangan. Sementara tangan kanannya menunjuk tukang es krim yang tidak jauh dari kami.

Kak Sabiru yang suka ketenangan lekas merogoh kantung kaos polo hitamnya. Tanpa banyak cakap uang pecahan lima puluhan ia angsurkan pada gadis itu.

"Yeayyy! Bang Biru emang baik."

Nasya lekas mencium punggung tangan Kak Sabiru sebagai ungkapan rasa terima kasih. Namun, Kak Sabiru terburu menyudahinya.

"Hei-hei! Jangan sembarang main cium tangan suami orang, ya! Gak boleh!" Aku memperingati.

"Timbang cium tangan karena terima kasih saja cemburu," cibir Nasya dengan mulutnya yang miring.

"Bukan naskah cemburu, tetapi kalian bukan mahram. Gak boleh! Dosa," tandasku tegas. Nasya kembali mendecih. Bikin tambah gemas saja. Bukannya mintamaaf dia ini. "Ya udah ... pokoknya besokibu kamu pulang ke Medan, kamu harus ikut juga!" putusku kemudian.

"Ya ... kok Kak Bila, gitu?!" protes Nasya tidak terima. "Kemarin ngebolehin kok sekarang enggak?"

"Habisnya kamu susah diatur. Kakak gak suka," balasku enteng.

"Iya deh ... iya. Aku janji akan patuh sama sang ratu," tukas Nasya mengalah. Bahkan dia menjuluki aku dengan sebutan sang ratu. Karena menurut dia, Kak Sabiru benar-benar memperlakukan aku seperti ratu.

"Gak janji." Aku buang muka saat Nasya mencoba merayu.

"Pliss, Kak Bila." Nasya mengguncang tubuhku pelan.

"Nasya boleh tinggal di Jakarta sini, tetapi tinggal di rumah Ibu Maryam, ya? Tidak tinggal bersama kita." Kak Sabiru yang sedari tadi diam ikut menimpali.

"Kok gitu?"

TINTIN

Nasya masih hendak protes. Namun, perhatian kami tertuju pada klakson mobil yang berseru. Dari jendela mobil menyembul wajah Elma yang ceria. Gadis itu melambai pada kami. Lalu terlihat dia turun dengan antusias untuk menemui kami. Zayn di belakangnya mengikuti.

"Hai ... Embul Sayang," sapa Elma riang pada Keanu. Gadis itu lekas mengambil alih untuk menggendong Keanu. "Habis nangis, ya? Kenapa, Sayang?" tanya Elma hangat pada si mungil Keanu. Gadis itu menimang-nimang bayiku dengan penuh kasih sayang.

"Lapar. Pengin mimi dia." Kak Sabiru yang menjawab.

"Eh ... ada Bang Zayn. Apa kabar, Bang?"

Nasya menyapa dengan sok akrab pada Zayn. Dia bangkit dari duduk untuk mencium punggung tangan Zayn dengan takzim. Aku dan Elma yang melihat itu hanya bisa melongo.

Pasalnya usia Nasya sudah bukan anak kecil delapan tahun, tetapi delapan belas tahun. Dongkolku pada dia kian bertambah saja. Kalau di rumah dan berdua saja mungkin sudah aku jewer telinga dia.

Memang Nasya cukup mengenal Zayn. Semenjak aku menjalin kasih dengan pemuda itu dulu waktu di Medan, keduanya sudah akrab. Zayn yang anak tunggal terlihat sangat menyayangi Nasya dari sewaktu gadis itu masih duduk di bangku kelas empat SD. Bahkan dulu Nasya sering menunggu kedatangan Zayn ke rumah. Karena adik tirinya Kak Sabiru itu pastiakan membawa sesuatu untuk dia jika bertandang.

"Baik," sahut Zayn tak kalah hangat. "Masih di sini, Sya?" tanya Zayn cuek saat Nasya bergelanyut mesra di lengannya. Persis ke kakak kandung sendiri.

"Nasya kan mau kuliah di sini, Bang Zayn," jawab Nasya manja.

"Sya, lepasin tangannya! Gak sopan!" tegurku dengan tatapan tajam pada gadis itu. Walau cemberut, tetapi gadis itu menurut. Elma sendiri hanya menatap Nasya dengan tatapan aneh.

"Oh ya, Zayn, ada apa ke mari? Kebetulan lewat atau ada sesuatu hal?" tanyaku kemudian.

"Papa mengundang kalian makan malam di kafenya Elma."

"Kok di kafenya Mbak Elma? Kenapa gak dikafenya Bang Biru saja," sela Nasya memotong pembicaraan Zayn.

"Nasya!" Aku mendelik pada gadis itu dan Nasya mencebik saja.

"Papa sama Mama mau pamit. Dua hari lagi mereka akan pulang." Zayn mengakhiri omongan.

"Wahhh ... pertemuan dua keluarga besar nih. Aku boleh ikut, ya? Aku kan bagian dari keluarga Kak Bila," pinta Nasya manja pada Zayn.

"Boleh." Zayn mengizinkan dengan datar

"Yeayyy! Bang Zayn emang baik!" girang Nasya seraya mengepalkan kedua tangan ke udara.

Ketika dia hendak mencium tangan Zayn sebagai ungkapan terima kasih lagi, aku dan Elma sama-sama melotot ke padanya. Gadis itu meringis sembari mengelus tengkuknya.

"Ya udah kita tunggu kedatangan kalian jam tujuh malam, ya," ujar Zayn kemudian. Aku, Nasya, dan Kak Sabiru menganguk kompak.

"Ayok, Ell, kita jalan!" ajak Zayn pada sang gadis. Elma menganguk patuh. Gadis itu lekas memberikan Keanu pada Kak Sabiru usai menciumi pipi Keanu dengan gemas. "Bila, Nasya, kita jalan, ya," pamit Zayn kemudian.

Zayn berlalu usai mendapat anggukan kepala dariku. Dirinya mengabaikan panggilan dari Elma yang memintanya untuk memperlambat langkah. Kupandangi kepergian pemuda itu dengan hatinya resah. Pasalnya hingga detik kini dia masih belum mau bicara dengan Kak Sabiru. Mungkin karena hal itulah Kak Sabiru enggan menerima tawaran Om Hendri untuk bekerja sama dengan Zayn.

Zayn masih belum bisa sepenuhnya melepas aku untuk kakaknya. Walau bibirnya mau menerima cinta tulus dari Elma. Namun, aku yakin setengah hatinya masih memikirkan aku. Itu terbukti dari perlakuan dia yang lebih perhatian padaku dari pada ke Elma. Dan yang terlihat jelas tadi, dia sama sekali tidak menyebut nama Kak Sabiru saat pamit pergi.

*

Usai shalat maghrib Keanu tertidur dengan pulas. Aku lega karena malam ini akan meninggalkan dia untuk menghadiri jamuan makan. Dua botol stok ASI dalam kulkas sudah tersedia. Sehingga rasa was-was takut dia menangis sedikit sirna.

Ketika aku tengah memoles wajah dengan bedak di depan meja rias, masuk Nasya. Gadis itu masih memakai baju rumah.

"Kak, aku pinjam bajunya dong! Bajuku udah ketinggalan jaman semua," pintanya dengan wajah memohon.

"Pilih sana," sahutku masih dengan menatap cermin.

"Asyiiik!" Terdengar gadis berbibir lumayan seksi itu bersorak girang. Dari bayangan cermin kulihat Nasya membuka lemari dengan antusias. "Wahhh ... banyak sekali gaun-gaun cantiknya," takjub Nasya girang.

Aku menoleh. Ketika menyaksikan ekspresi wajah Nasya yang mupeng melihat koleksi bajuku, aku hanya bisa menggeleng dan tersenyum simpul.

Gadis itu memang hidup serba kekurangan di Medan. Sama seperti aku dulu. Dan sebagai kakak aku, ingin berbagi kebahagiaan dengan dia.

"Aku mau pinjam yang warna hitam ini ya, Kak? Anggun banget," ujar Nasya sembari menunjukkan gaun hitam tanpa lengan dengan hiasan brokat di leher. Kuizinkan dengan anggukan. "Eh tapi yang putih ini juga cantik. Ini juga yang pink malah manis banget. Eh ... eh yang kuning salem ini juga. Aduuuh ... aku jadi bingung mau pilih yang mana?" Nasya tampak frustasi.

"Nasya!" Aku memanggil dengan keras. "Kalo kamu mau ngacak-ngacak baju kakak, mending gak usah ikut!" putusku tegas. Habisnya menyebalkan sekali. Di kasih hati malah melunjak begitu. Bajuku dikeluarkan semua.

"Iya, maaf," ucap gadis itu dengan mulut mengerucut. Kembali dia memilih-milih bajuku.

"Lho ... Nasya belum siap. Gak jadi ikut?" tanya Kak Sabiru masuk.

"Kita tinggalkan saja, Kak!"  ujarku tegas.

"Jangan!" sambar Nasya cepat. Terburu gadis itu mengambil gaun merah muda dengan hiasan pita di perut.

"Beresin dulu bajuku baru boleh pergi!" titahku saat gadis itu hendak melenggang bebas ke luar kamar.

"Biar ibu saja nanti. Katanya udah gak keburu," kilahnya santai sembari ngeloyor pergi.

Aku hanya bisa menghempaskan napas kasar melihat ulah Nasya. Benar-benar menyebalkan gadis itu!

*

Ketika aku dan Kak Sabiru telah menunggu selama setengah jam di mobil, Nasya baru menampakkan batang hidungnya. Gadis itu masuk mobil dengan mengenakan gaun kepunyaanku. Sentuhan tipis pada pipi dan bibir membuat wajah gadis itu berbinar. Rambut panjangnya ia kepang ala Elsa. Sebagai perempuan kuakui kalau adikku itu lumayan manis.

Kak Sabiru langsung menancap gas begitu Nasya duduk di jok belakang. Pasalnya dari tadi Elma sudah menelepon. Katanya tinggal kami yang belum datang. Untungnya jalanan sedang tidak macet. Sehingga kami tiba di tujuan tidak begitu lama.

Begitu kami menginjakkan kaki di kafe, Elma menyambut dengan hangat. Gadis itu menunjukkan meja reservasi. Di mana sudah ada keluarganya dan juga keluarga Kak Sabiru. Kami yang sedikit terlambat karena menunggu Nasya itu, sudah dipesankan makanan.

Semua orang menyambut kedatangan kami dengan wajah berbinar. Seperti biasa hanya Kiara dan Zayn yang datar saja pada kedatangan kami. Namun, yang lebih mendongkolkan hati adalah perlakuan manis Kiara untuk Kak Sabiru saat acara makan bersama.

Kebetulan dia duduk tepat bertepatan dengan Kak Sabiru. Tanpa sungkan dia menyuapkan beberapa potong makan ke mulut Kak Sabiru. Walau Kak Sabiru berungkali menepis, tetapi Kiara justru terobsesi untuk terus memasukkan makanan ke mulut suamiku.

Gadis itu seolah tidak peduli dengan kehadiranku sebagai istrinya Kak Sabiru. Dirinya juga cuek saja berlaku demikian walau ada Dokter Tama sang tunangan di sampingnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, Dokter Tama tampak santai saja. Tidak ada rona cemburu yang terpancar dari wajahnya. Demikian juga dengan Tante Mirna dan Om Johan. Mereka juga santai dengan sikap Kiara sang calon menantu terhadap Kak Sabiru. Benar-benar aneh!

Acara makan malam berlangsung penuh kekeluargaan. Om Hendri menyampaikan kabar jika dirinya akan pamit pulang. Pria itu menitipkan kedua putranya pada Om Johan. Dan ayah Elma pun mengiyakan dengan senang hati.

Zayn sepertinya bosan saat mendengar pertanyaan dari Tante Mirna maupun mamanya sendiri. Kedua wanita itu terus saja menanyakan kapan dirinya akan menikahi Elma. Mungkin karena malas didesak terus, Zayn memilih menghindar dengan cara pura-pura ke toilet.

Entah apa yang dilakukan pemuda itu di kamar mandi? Lama sekali dirinya tidak lekas muncul. Kemudian tiba-tiba saja aku pun merasakan hasrat ingin buang air kecil.

"Aku ke toilet sebentar, ya," pamitku pada Kak Sabiru. Ketika hasrat ini sudah tidak tertahankan.

"Ya." Kak Sabiru mengizinkan.

Karena kaki yang masih lumayan sakit untuk berjalan, aku berjalan dengan sangat hati-hati.

"Kak, aku ikut!"

Tiba-tiba suara Nasya terdengar dari belakang. Bahkan kurasakan gadis itu sedikit mendorong tubuhku. Membuatku tersungkur ke depan dan tepat menabrak Zayn yang baru balik dari toilet.

Entah bagaimana ceritanya aku tidak paham, tiba-tiba saja tubuhku sudah berada di atas tubuh Zayn dengan hidung kami yang saling beradu. Bahkan jarak bibir kami sudah teramat dekat.

"Bila?!" Terdengar Kak Sabiru dan Elma menegur bersamaan.

Next.

happy reading Zheyenkkk ?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status