Keira tak bisa berbuat apapun saat polisi membawanya dalam kasus kematian Mrs. Ivanna, dan hal itu bertambah berat saat diketahui bahwa kamera CCTV di gedung sekolah sejak semalam tak berfungsi.Keira masih tak percaya dengan kejadian tadi malam, di dalam mobil polisi ia hanya terdiam dan memandang lurus ke depan melihat jalanan yang dilaluinya dan merasakan darah yang mulai mengering di telapak tangannya.“Apa yang kamu lakukan gurumu?” tanya seorang polisi berbadan kurus kering dengan wajah dingin yang mirip anak macan.“Apa Anda menduuhku membunuhnya!” sahut Keira di depan meja polisi .“Apa karena dendam?” lanjut polisi itu dengan wajah menghina.“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan apa yang Anda pikirkan!” jawab Keira dingin.“Lalu kenapa kamu berada di samping mayat wanita itu, dan jika kamu tak membunuhnya kenapa kamu tak melaporkannya pada polisi?""Lagipula hanya orang yang berada di dalam sekolah itu yang bisa melakukan pembunuhan itu, karena sekolah itu sangat tertutup
Mata bulatnya segera terpejam, dan pikirannya mulai bekerja untuk mengingat kembali jalanan yang dilaluinya saat menuju ke kantor polisi ini.Meskipun samar-samar tapi setidaknya Keira masih mengingat dengan baik rute perjalanan dari sekolah menuju rumahnya.“Tok...Tok...Tok...!” ketukan keras di depan pintu ruang penahanan mengagetkan Keira, dan seketika itu juga Keira membuka matanya.“Aaaa...!” jerit Keira saat sebuah sepeda merobohkan tubuhnya di tengah jalan raya.“Kalo nyebrang yang bener dong!”“Tidak punya mata ya!” bentak seorang bocah lelaki kecil yang bertengger di atas sepedanya.Keira hanya terperangah melihat bocah lelaki itu berlalu mengayuh sepedanya kembali tanpa memberikan sedikitpun bantuan pada dirinya yang tumbang.“Dasar bocil!” gerutu Keira beranjak dari jalan raya yang sepi dengan pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan raya itu.“Teleportasi yang tidak sempurna,” keluh Keira sembari menatap rumahnya yang masih berada seratus meter dari tempatnya berdiri.
Hari libur telah usai, Keira menghabiskan waktu pelariannya di dalam rumah tua yang terasa dingin dan menyesakkannya. Senin pagi ini rencananya, ia akan kembali ke Pinewood dan memulai awal bulan keduanya di sekolah itu dengan dirinya yang baru. “Apa aku harus ke sana? Bagaimana jika polisi-polisi itu menangkapku?” “Aduuhh, kenapa ragu lagi?” “Hadapi saja! Lagi pula aku tidak bersalah!” tegas Keira bersiap melakukan ‘Teleportasi’. Entah apa yang sudah menunggu Keira di Pinewood, masih setengah jam lagi waktu pelajaran dimulai. Dalam beberapa menit saja Keira sudah berada di dalam kamar asrama, untung saja tak ada seorang pun di dalam kamar saat itu. Mungkin semua anak sedang sarapan di ruang makan dan masih ada waktu jika ia hendak kembali ke rumahnya seperti seorang pengecut, tapi tidak. Keira segera melangkah dari sudut kamar menuju lemarinya, ia mengambil seragamnya yang terlipat rapih di dalam lemari dan segera menggunakannya. Tapi sepertinya ada yang aneh, dengan asrama it
Keira melihat dengan jelas sosok pria yang menusukkan belati berwarna perak digenggamnya berkali-kali di bagian perut seorang wanita.Seolah memastikan agar korbannya meregang nyawa saat itu juga.Wanita itu hanya bisa meringis menahan sakit, ia terlihat sangat ketakutan, wajahnya semakinnlama semakin pucat tak berdaya.Kacamatanya yang mulai merosot memperlihatkan mata belo yang indah, dan seketika itu juga wanita itu tergelepar di atas rerumputan malam yang mulai berembun.Tubuh Keira kaku, ia ingin berlari namun tak sanggup saat tangan wanita yang berlumuran darah itu mencengkeram pergelangan kaki kanannya.Bibirnya Keira kelu melihat pemandangan yang mengerikan itu tepat di depan matanya.Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain melihat wanita itu menghembuskan nafas terakhirnya, dengan raut wajah putihnyayang pucat di bawah siraman ca
Tahun ajaran baru selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu setiap calon peserta didik baru. Sensasi masuk sekolah baru, dengan teman-teman baru tentu saja sangat dinanti oleh semua siswa, apalagi remaja. Tapi sepertinya tak begitu dengan Keira, gadis 15 tahun yang tahun ini akan masuk SMA. Entah kenapa ia super malas dan enggan untuk memulai sekolah, terlebih harus masuk ke sekolah asrama untuk pertama kalinya. Malas! Satu satunya hal yang dirasakan Keira, bahkan jika diberi satu kesempatan untuk meminta, ia ingin waktu segera berhenti saat itu juga. Ia enggan bertemu teman baru, lingkurang baru yang mengharuskannya beradaptasi lagi. Apalagi sekolah dengan sistem asrama yang pasti akan sangat disiplin. Memang, bukan tanpa alasan orang tua Keira memasukan anaknya ke sekolah asrama. Karena sekolah itu seperti sekolah keluarga, dimana dahulu ayah dan ibunya juga bersekolah di sekolah asrama yang sama. Mereka berpiki
Keira mulai malangkahkan kakinya menuju tempat yang dimaksud oleh ibunya, dengan sedikit ragu sesekali ia menoleh menatap punggung ibunya yang semakin lama semakin menjauh dari pandangannya, bahkan sudah tak tentu rimbanya.Keira melangkah menuju escalator yang akan membawanya ke lantai 2. Masih merasa seperti seorang pendatang baru dari kota yang bersuhu tinggi, Keira tampak kikuk.Sebuah toko yang sangat ramai dipenuhi oleh remaja dan anak-anak telah menunggunya untuk dimasuki, tapi sesaat Keira berdiri di depan toko yang memajang nama Gramexia, matanya segera tertuju pada papan nama yang terpasang di atas pintu masuk.“Gramexia!” nama toko peralatan sekolah dan buku super lengkap yang memiliki jaringan terbesar di negara ini, tentu sudah tak asing lagi bagi Keira, karena di kota asalnya juga baru-baru ini sudah launching.Keira pun melangkahkan
Sepanjang perjalanan Keira terus memikirkan memar yang ada di dahinya, tapi seperti biasa dia mulai memperhatikan rute jalan dan mengingat baik-baik di otaknya.Dari halaman rumah, sedan merah itu berbelok ke kanan, melintasi jalanan yang terasa teduh dengan pohon akasia tua yang menghiasi sisi kanan dan kiri jalan.Keira ingat bahwa itu adalah jalan yang dilaluinya kemarin saat pulang dan pergi ke pusat perbelanjaan.Mobil itu melewati tanjakan kecil di ujung jembatan yang menghiasi sebuah lapangan basket dan segera berbelok ke kiri melintasi sebuah rumah sakit umum.Meluncur lurus melalui jalan raya dengan dua jalur besar yang berpusat pada sebuah tugu di perempatan yang lebar.Tidak sampai lima menit dari perempatan sedan merah itu memasuki sebuah halaman yang cukup luas, dan berhenti di tempat parkir sebuah gedung besar dan sepertinya sangat tua.&nbs
Krriiiiinggggg!!!! Bel di ruang makan menjerit, Keira dan Liny segera berlari menuju ruang makan yang terletak di depan kamar asrama, yang telah siap digunakan. Dua meja kayu terbentang di tengah-tengah, disusun berurutan menjadi satu, di atas meja itu telah terhidang makanan yang cukup untuk disantap oleh lebih dari 100 orang. Ruang makan yang satu jam lalu sepi, berubah 180 derajat. Semua penghuni kamar barat dan timur keluar, dengan tertib para murid laki-laki menduduki bangku sebelah barat dan duduk menghadap ke arah timur. Sedangkan murid perempuan duduk di sebelah timur dan menghadap ke arah barat. Sepertinya petugas ruang makan telah berhasil menertibkan makan siang. Keira merasa bingung, tapi sepertinya yang lain tidak. Karena sistem asrama ini sudah biasa bagi SMP dan SMA Pinewood. Jadi tentu saja mereka yang mayoritas berasal dari SMP Pinewood sudah terb