"Kenapa Ayah sama Ibu usir kak Jessi?" protes Kaila sambil menangis. Sebagai adik yang begitu sayang pada kakaknya, Kaila jelas tidak terima. Ia seolah ikut merasakan sakit hati kala Jessi sedang menangis. "Ini urusan orang dewasa, Kai. Kamu tidak perlu ikut campur!" geram Iyan. "Mulai sekarang, Kaila anak perempuan satu-satunya. Begitu juga dengan Danny yang jadi anak laki-laki satu-satunya. Jadi kalian tidak boleh bertindak sembarangan seperti kakakmu." Saat ini Danny sedang berdiam diri di dalam kamar. Kaila sengaja mengunci adiknya agar tidak mendengar lebih jauh pembicaraan para orang dewasa. Karena sekarang Danny masih berusia 9 tahun. "Kai memang belum dewasa, Ayah. Tapi Kai tahu mana yang salah dan mana yang benar. Kak Jessi memang salah karena pulang dalam keadaan hamil. Tapi apa karena itu Ayah dan Ibu harus mengusirnya?" "Ibu sudah memberinya pilihan, Kai. Dan ini keputusan kakakmu sendiri." Rasanya Yosi malas berdebat dengan anak gadisnya itu. "Sepertinya
Pagi sudah mulai terang. Baru saja Jessi berhenti di terminal selanjutnya. Karena tidak ingin sendirian di terminal. Dan Jessi juga takut ada hal buruk terjadi padanya, maka semalam Jessi memilih menaiki bus terakhir. Bahkan sampai saat ini Jessi masih belum memutuskan akan pergi kemana. 'Sepertinya aku harus makan dulu,' batin Jessi. Ia jalan pelan sambil menarik koper. Sebenarnya Jessi tidak merasa lapar. Bahkan dirinya juga tidak selera makan. Namun, Jessi sadar dengan keadaan tubuhnya yang mulai lelah. Selain itu, Jessi juga tidak boleh egois. Karena ada nyawa yang harus Jessi pastikan kesehatannya. Sambil menikmati soto, Jessi terdiam memikirkan semuanya. "Bu, maaf. Saya mau tanya." "Tanya apa, Dik?" Bukan hal aneh jika ada orang tua yang memanggilnya dengan sebutan adik. Karena dengan melihat Jessi, banyak orang akan menyimpulkan kalau kemungkinan besar Jessi masih sekolah SMA. "Loket bus antar provinsi buka jam berapa ya, Bu?" "Biasanya sebelum jam 8 juga sud
"Dari kemarin perasaan dia selalu mual muntah begini? Apa dia sedang sakit? Tapi kalau sakit, kenapa dia pergi ke kantor?" gumam Dania. Dania melihat berkas yang berserakan di lantai. Ia semakin heran dengan Farrel. Menurut calon mertuanya, Farrel adalah orang yang rapih dan juga tidak mudah emosian. Tapi sudah berapa kali ini dirinya seolah melihat emosi Farrel yang meluap. "Kenapa kamu memegang berkasku?" tanya Farel tidak suka. Tanpa aba-aba, dirinya langsung merebut berkas yang baru saja dibereskan Dania. "Maaf, bukannya aku mau mengusik pekerjaanmu. Tapi aku hanya membereskan kertas yang berserakan." Farrel menghelakan nafasnya yang terasa kesal. Ia menahan perutnya yang terasa mual karena aroma parfum Dania. Farrel merasa keheranan. Padahal kemarin dirinya tidak masalah dengan aroma Dania. "Lain kali, jangan menyentuh apapun sekalipun itu ada di lantai. Tanganmu bisa kotor." Ucapan asal Farrel justru membuat Dania tersenyum. Wajahnya nampak bersemu karena merasa
Waktu sudah sore. Bus sudah sampai pada terminal akhir tujuan. Semua penumpang sudah keluar dari dalam bus. Ada yang sudah mencari angkutan umum. Ada juga yang memilih menaiki ojek. Lelaki yang tadi memberi Jessi air minum hanya bisa menatap Jessi kasihan. Apalagi sekarang Jessi nampak celingukan. Sebagai lelaki yang memiliki istri yang tengah hamil tua, lelaki tersebut jadi membayangkan kalau istrinya ada di posisi Jessi. "Hah! Sebenarnya kenapa dia datang ke sini tanpa tujuan? Tanpa suaminya juga. Kenapa?" gumam lelaki berusia 30 tahunan tersebut. Tidak ada pilihan selain mendekati Jessi. "Mbak." "Eh, Mas. Ada apa?" "Mbak benar-benar tidak ada tujuan datang ke kota ini? Suami Mbak sebenarnya kemana? Kenapa dia membiarkan Mbak pergi sendirian begini? Atau jangan-jangan Mbak ini sedang melarikan diri karena bertengkar dengan suami?" tanyanya beruntun. Pada akhirnya lelaki tersebut sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya. Jessi bingung mau menjawab apa. Hatinya ingin me
"Ini KTP saya, Pak!" Dengan tangan bergetar, Jessi memberikan identitasnya pada ketua RT di kampung ini. Suaranya bahkan terasa tercekat, menyiksa tenggorokan. Jessi sadar, setelah ini dirinya akan membuat cerita kebohongan agar dirinya diterima di tempat ini. "Jessica Jill," gumam pak RT yang bernama Galuh. "Kata bu Ambar tadi Mbak Jessi ini sedang hamil. Kenapa di KTP statusnya masih belum menikah?" Jessi menunduk. Jujur, ia bingung mau menjawab apa. Namun, dirinya harus membuat keterangan. "Saya sudah menikah dengan suami saya. Baru beberapa bulan. Suami saya belum sempat mengurus perubahan status kami, Pak. Karena dia harus pergi berlayar. Hubungan saya dengan mertua kurang baik. Jadi ..." Jessi menangis karena dirinya harus berbohong. Sedangkan tangannya terus menyentuh perutnya. Sebagai calon ibu, dirinya tidak akan membiarkan orang lain tahu kalau anaknya hadir di luar pernikahan. Orang tidak boleh tahu kalau anaknya hadir karena perbuatan buruknya sendiri. Urusan dosan
Sebagai seorang istri, Lia tentu masih menyimpan perasaan curiga pada Bagas, karena pulang membawa Jessi. Perasaan was-was itu terus menghantui pikiran Lia. Apalagi wanita hamil memang sangat sensitif perasaannya. Namun, beberapa hari ini, Lia tidak melihat gerak-gerik yang aneh dari Bagas. Bahkan suaminya itu terlihat menjaga jarak. Hanya dirinya dan mertuanya saja yang bersikap ramah pada Jessi. Hal ini tentu menenangkan perasaan Lia. "Tolong kamu hubungi mas Bagas, Jessi." "Baik, Mbak." Jessi mengikuti perintah Lia untuk membuka sandi ponsel Lia. Namun, sudah 3 kali Jessi menghubungi nomor Bagas yang Lia beri nama suamiku, tapi nomor Bagas tidak aktif. "Masih tidak bisa, Mbak. Sebenarnya mas Bagas tadi pergi kemana?" Jessi mulai panik. "Tadi katanya mau ke ladang sebentar terus mau antar ibu belanja, Jess. Siap-siap untuk syukaran adek. Agh ..." Bagas dan Ambar pergi karena merasa Lia belum ada tanda-tanda untuk melahirkan. Selain itu, niat mereka memang hanya kelu
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Bagas terus menggenggam tangan Lia. Air matanya menetes. Setelah melihat keadaan anaknya yang sudah tak bernyawa. Sekarang dirinya harus melihat Lia yang hampir hilang kesadaran. Bagas harus kuat dengan cobaannya sekarang. Saat ini Lia sudah menggunakan selang oksigen. Dalam keadaan perdarahan setelah bayinya lahir, Lia sangat syok karena dirinya hanya sesaat mendengar suara bayinya menangis pelan. Karena setelah itu, bayinya dinyatakan meninggal dunia. Setelah bidan melakukan segala tindakan sesuai prosedur. Lia menangis karena merasa bersalah. Merasa kalau dirinya kurang kuat mengejan sehingga anaknya tidak cepat lahir. "Dek, tolong bertahan." * Sudah banyak orang yang berdatangan di rumah Ambar. Para tetangga datang untuk ikut berbela sungkawa. Jasad janin langsung di makamkan sejak tadi sore. Hingga malam pun tiba. Sebuah ambulan datang. "Bagas," panggil Ambar. Perasaan Ambar tidak menentu. Apalagi sekarang Bagas keluar mobil
Selama hampir 1 minggu, kesehatan Jessi menurun. Tubuhnya terasa panas dan rasa pusing yang datang dan pergi. Jessi sudah memeriksakan diri ke bidan. Jessi mendapatkan keterangan kalau dirinya harus menenangkan pikiran. Jessi tidak ingin berpikir negatif. Tapi mau terus berpikir positif juga tidak mungkin. Di kampung ini, Jessi tidak memiliki sanak saudara. Jika hal buruk terjadi padanya, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas dirinya. Untuk membuang segala pikirannya, Jessi memilih untuk menyibukkan diri. Setiap hari Jessi selalu datang ke rumah Ambar dan Bagas untuk mengantarkan sayuran dan lauk matang. Meski Ambar lebih banyak diam, Jessi tidak tersinggung. Ia paham, pasti sulit untuk Ambar dan Bagas kehilangan Lia dan bayinya dengan cara seperti ini. Sedangkan Bagas sendiri, setiap hari selalu datang kemakam. Tidak ada yang mencegah apa yang Bagas lakukan. Karena setiap orang, pasti punya caranya sendiri untuk merasa ikhlas. Meski rasa itu sulit dan memerlukan waktu
"Yang diajak pergi sama opa itu tadi siapa, Ma?" tanya Rhona. Meski Jessi sudah menarik Rhona agar mereka segera ke atas, tapi Rhona masih menoleh kebelakang. Dan sekarang Rhona terkejut dan menahan rasa kecewa karena Regan pergi tanpa berpamitan padanya. "Opa?" gumam Jessi. Dirinya masih sangat terkejut dengan situasi yang baru saja terjadi. Sampai detik ini, Jessi bahkan belum pernah berkhayal akan bertemu dengan orang tua Farrel. Atau bahkan berharap diterima mertuanya tersebut. Karena Jessi cukup sadar diri. "Padahal opa belum selesai bermain dengan Rhona. Siapa orang tadi, Ma? Kenapa orang tadi sepertinya memarahi papa?" "Itu ..." Jessi bingung mau menjawab apa. Kalau dirinya memberitahu Rhona siapa Carla, Rhona pasti terkejut. Mau sekarang ataupun nanti, Rhona pasti akan tetap terkejut. "Itu oma, Sayang. Omanya Rhona." "Farrel." Jessi tidak percaya kalau Farrel akan langsung berkata jujur. "Oma? Tapi kenapa oma memarahi Papa?" "Oma marah ke Papa karena Papa tidak
Beberapa bulan yang lalu, Carla memergoki Farrel yang sedang menatap cincin diponsel. Membuat Carla mengira kalau Farrel sedang dekat dengan seseorang. Karena penasaran dan tidak sabaran, Carla langsung menanyai Farrel. Namun, kala itu Farrel mengaku kalau ia sedang menilai cincin yang akan dibeli oleh temannya. Saat itu, setelah mendengar jawaban Farrel, Carla menahan rasa kecewa. Lagi-lagi harapannya pupus. Namun, sekarang setelah melihat cincin yang melingkari jari manis Jessi, membuat Carla jadi menduga-duga. Tanpa ragu, Carla langsung mengikuti Jessi. "Apartemen ini?" gumam Carla. Sebelum keluar mobil, Carla menutupi kepala dan wajahnya menggunakan kain panjang yang ada di dalam mobil. "Dulu dia menjalin hubungan dengan Farrel diapartemen ini. Apakah dia sudah tinggal di sini? Tapi Farrel bilang sudah menjual apartemen ini kan?" Setelah melihat tujuan lantai Jessi, Carla segera memasuki lift karena tidak ingin kehilangan jejak Jessi. Namun, meskipun dirinya kehilangan
Regan sudah meminta seseorang untuk membuntuti Farrel akhir-akhir ini. Namun, Regan tidak mendapatkan informasi yang memuaskan. Regan merasa kalau orang yang ia suruh telah menutupi sesuatu. "Sudah selesai meetingnya?" tanya Regan saat baru saja Farrel keluar dari sebuah ruangan. "Eh, Papa!" Farrel terkejut sekaligus keheranan. Untuk kepentingan apa Regan berada di sini. Namun, dirinya tidak berpikir yang tidak-tidak. "Sudah, Pa. Emmm, aku keruanganku dulu, Pa!" "Mau pergi kemana kamu sebenarnya?" gumam Regan karena melihat Farrel melangkah begitu cepat. Sesuai dengan dugaan Regan. Baru saja dirinya memasuki mobil, Farrel juga sampai basement dan langsung melajukan mobil. Tanpa ragu, Regan mengikuti mobil Farrel menggunakan mobil temannya. Karena Regan tidak ingin jika Farrel sampai curiga padanya. "Kenapa dia ada di sini?" Jantung Regan rasanya sudah berdetak tidak karuan. Karena sekarang ia sudah berhenti disebuah sekolahan dasar. Deg. "Apa-apaan ini? Anak sia
Malam ini seperti bukan malam-mallam yang sudah berlalu. Karena malam ini telah berhasil membuat tidur nyenyak Farrel dan Jessi terasa sangat berbeda. Rhona dengan segala pemikiran dan keyakinannya sendiri. Setelah buang air kecil, Rhona memilih tidur dikamarnya sendiri. Ia yakin kalau Jessi dan Farrel akan menepati ucapan mereka. "Emghhh ..." gumam Jessi sambil menyusupkan wajahnya. Ada sesuatu yang mengekang tubuhnya. Tapi Jessi tidak terusik. Karena kekangan tersebut justru terasa lebih nyaman. Farrel yang awalnya masih terlelap jadi langsung bangun karena Jessi terus mengendus dadanya. Satu tangan Farrel meraba kasur. Kemudia ia membuka selimut. Tidak ada Rhona di sana. Karena yang Farrel lihat justru Jessi yang memeluk tubuhnya. 'Cantik,' batin Farrel. Ia tersenyum bersamaan wajah yang bersemu. Momen seperti ini adalah sesuatu hal yang sangat ia inginkan. Farrel melihat jam. Sebentar lagi sudah saatnya Rhona bersiap untuk sekolah. Farrel ingin segera bangun untuk
"Aku punya adik perempuan. Setiap kali pulang sekolah, aku ajak adikku bermain boneka. Bermain apapun yang kita sukai. Seru deh." Ucapan salah satu teman Rhona tersebut sepertinya terus mengusik pikirannya. "Mama sama Papa tidur bersama kan?" Farrel dan Jessi yang sedang menikmati makanan mereka langsung menatap Rhona keheranan. Sampai saat ini, Rhona mengira kalau mereka berdua tidur dikamar yang sama. "Iya!" jawab Farrel setelah saling beradu tatap dengan Jessi sebentar. "Kenapa, Sayang?" "Kalau begitu, apakah nanti Rhona akan punya adik?" "Hah!" Farrel sangat terkejut. "Uhuk-uhuk," Jessi yang sedang meneguk air minum jadi tersedak. Entah apa yang sudah terjadi sampai Rhona bertanya sejauh ini. "Pelan-pelan!" Spontan Farrel menepuk punggung Jessi. "Aku tidak apa-apa," ucap Jessi. Namun, dirinya seperti tidak menolak apa yang sedang Farrel lakukan kini. "Kenapa Rhona tanya begitu?" Farrel mulai mengintrogasi. 'Kamu tidak akan punya adik, Rhona. Papa ka
"Mau diperhatikan seperti apapun, Rhona mirip sekali dengan Pak Farrel. Seperti bukan anak sambung." 4 orang di sana sekarang sudah duduk bersama. Jessi duduk sejajar dengan Nesya. Sedangkan Farrel bersama dengan Rhona. Gadis kecil tersebut sekarang memilih fokus dengan makanannya sendiri. Membuat Jessi keheranan melihat bagaimana lahapnya Rhona. "Rhona memang darah daging saya." Farrel tersenyum kecil sambil membawa anak rambut kebelakang telinga Rhona. "Ceritanya sangat panjang. Yang pasti, bukan waktu yang sebentar hingga saya bisa bertemu dengan mereka." "Saya jadi penasaran, tapi saya juga tidak berhak mengulik lebih jauh kisah kalian. Melihat pak Farrel yang begitu mencintai kamu, aku jadi berharap kekasihku juga sangat mencintai aku dan memperjuangkan aku," ucap Nesya sambil menepuk lengan Jessi. "Sepertinya kita sudah terlalu lama mengobrol. Saya permisi pulang." "Biar kami antar," ucap Farrel. "Bagaimana mungkin anda bicara begitu didepan istri anda sendiri,
"Rhona, sekarang Papa harus pergi untuk mengurus sesuatu. Sepertinya Papa akan pulang telat. Atau mungkin Papa tidak akan pulang. Tidak apa-apa kan kalau nanti malam Rhona makan sama mama saja?" Jessi hanya bersedekap dan menatap Farrel sinis. 'Dasar pembohong,' batin Jessi. "Besok pagi sekolahnya diantar supir dulu ya? Papa janji, pulang sekolah Papa yang akan jemput Rhona." "Tidak apa-apa, Pa. Tapi Papa harus janji segera pulang kalau pekerjaan Papa sudah selesai." "Janji, Sayang." Farrel mencium pipi Rhona. "Aku pulang ke rumah dulu," pamit Farrel pada Jessi. "Ok!" Begitu singkat Jessi memberikan tanggapan. Ia seolah tidak perduli dengan apa yang akan Farrel lakukan. 'Sabar Farrel, sabar. Meski sulit mendapatkan hatinya lagi, setidaknya usaha ini lebih baik dari pada mencari Jessi selama 8 tahun.' Begitu sampai rumah, Farrel sudah disambut dengan tamu yang diundang oleh Carla. Dalam keadaan seperti ini, Carla masih sempat-sempatnya membuntuti Farrel ke kamar untuk memarahi a
"Tapi kalau diperhatikan, Rhona seperti mirip dengan pak bos ya, Jessi?" celetuk Rika yang sudah tidak bisa menahan penilaiannya saat memperhatikan Rhona. Rasanya Jessi ingin berkata jujur pada Rika. Namun, dirinya memilih menahan diri. Pembahasan ini akan semakin panjang jika Rika mengetahui kebenarannya. Selain itu, situasinya juga tidak memungkinkan. "Pak bos siapa, Tante?" tanya Rhona yang sejak tadi hanya menjadi pendengar saja. "Eh!" Rika beralih menatap Jessi. Entah kenapa dirinya jadi merasa salah berucap. Rika jadi sadar kalau di dunia ini seseorang bisa memiliki kemiripan dengan orang lain tanpa memiliki ikatan darah. "Rhona mirip dengan papanya, Rika." Jessi hanya tersenyum kecil. "Maaf, Jessi. Mulutku ini pasti sudah asal bicara. Aku sungguh minta maaf." Rika jadi sangat merasa bersalah. "Tidak apa-apa. Oh ya, tujuanmu ke sini untuk apa?" Jessi berusaha mengalihkan pembicaraan. Hatinya berharap, Farrel belum datang saat dirinya sedang bersama dengan Rika.
"Bunga-bunga! Om, Tante bunganya murah loh. Bunga-bunga!" Di bawah terik matahari, seorang remaja laki-laki sedang keliling untuk menawarkan dagangannya. Ia terus jalan kesana kemari ditengah kemacetan. Langkahnya akan terasa sedikit lebih mudah saat lampu lalu lintas berwarna merah. Saat ini Farrel dan Jessi ada diarea tersebut. Karena tadi Farrel sudah berjanji pada Rhona bahwa dirinya akan menjemput sekolah bersama dengan Jessi. "Bunganya Bang, Kak!" tawar pedagang tersebut. Saat pedagang bunga sudah dekat, Farrel segera menurunkan kaca mobil. "Berapa bunganya?" "Setangkai 10.000 Om." Jessi hanya bisa melihat Farrel keheranan. Entah untuk tujuan apa Farrel membeli bunga. "Kalau yang buket itu berapa?" "50.000 Om." "Saya mau yang itu," ucap Farrel sambil merogoh saku jasnya. "Ini, Om!" Pedagang tersebut melihat Jessi. "Pacarnya pasti suka." Farrel menoleh ke arah Jessi. Sedangkan Jessi langsung buang muka. Bisa-bisanya sekarang jantung Jessi jadi berde