LOGINSetelah Helena pergi, Tania hanya duduk diam di dalam, di atas sofa. Kata-kata Helena tadi masih terngiang begitu jelas di kepalanya.“Tidak mungkin Yanuar sejahat itu,” gumamnya.Tania masih ragu. Ia belum sepenuhnya percaya dengan semua ini. Meski Helena sudah memberikan bukti yang sangat valid, namun Tania yang sudah dibutakan oleh Yanuar masih saja berusaha mengelak.Namun, di saat ia sedang larut dalam lamunannya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia buru-buru bangkit dan melihat siapa yang menelepon.Alisnya langsung terangkat rendah, keningnya mengkerut. Ia melihat nomor asing menelepon dirinya.Tania sedikit ragu untuk menekan tombol hijau di layar, namun ia juga penasaran.“Halo?”Akhirnya Tania mengangkatnya.“Halo, Tania.”“Hah, ka-kamu?”Tania terkejut, itu suara Helena—wanita yang sepuluh menit lalu masih berada di dalam apartemennya.“Kenapa terkejut begitu?” tanya Helena pelan. Terdengar suara tawa kecilnya yang membuat Tania sedikit geram.“Biar kutebak, kamu pasti sedang
Meski ragu, Tania akhirnya mempersilakan Helena masuk ke dalam.“Silakan duduk,” kata Tania pelan.Helena tersenyum, ia langsung duduk di sofa besar yang terasa cukup empuk. Ia meletakkan tas kecilnya di atas meja, lalu dengan gerakan elegan menyilangkan kaki dan duduk tenang sambil menatap Tania.Entah mengapa, Tania tampak begitu gugup. Aura dominasi Helena benar-benar menguar.“Sebentar, saya buatkan minum dulu.”Tania hendak bangkit, namun suara lembut Helena menghentikannya.“Tidak usah, tidak perlu repot-repot.”Helena kembali tersenyum dengan sorot mata yang sangat sulit diartikan.“Saya hanya sebentar di sini, tidak lama,” katanya lagi.Tania akhirnya duduk kembali, merapikan dasternya yang sedikit tersingkap.“Ja-jadi, ada apa ya, Bu Helena?” Tania benar-benar tampak gugup.“Tidak usah gugup seperti itu, Tania. Santai saja.”Helena menatap Tania dengan tatapan yang benar-benar membuat Tania merasa terintimidasi.“Ada beberapa hal yang saya ingin bicarakan,” lanjut Helena. Ia
Sementara Helena, ia terus saja mengikuti Bagas hingga ke dalam ruangannya. Bagas mendengus kesal, ini cukup mengganggu baginya.“Kenapa kamu harus ke sini, sih? Kalau memang ada perlu, kan kita bisa bicara nanti,” kata Bagas sambil duduk di balik meja kerjanya.Helena tersenyum, ia ikut bersandar di meja sambil tangannya melingkar di leher Bagas.“Aku kangen,” katanya manja.“Iya, tapi kan bisa nanti saja. Aku ada pasien hari ini.”“Hmm!”Helena menghela napas berat, ia menarik tangannya. Wajahnya langsung murung dan cemberut.Bagas menarik napas dalam-dalam, ia mengusap wajahnya kasar. Ia bangkit dan memegang pipi Helena.“Helena, nanti kita bicarakan, ya? Ini di klinik, loh. Apalagi sebentar lagi aku ada pasien.”Bagas dengan lembut mengelus pipi wanita itu. Ia juga mengecup bibirnya pelan. Hingga akhirnya Helena kembali tersenyum dengan pipi yang merona.“Ya udah.”Akhirnya Helena mengalah.“Nanti malam kita ketemu, ya. Ada sesuatu yang penting yang mau aku bicarakan. Tentang Yanu
Sinar matahari pagi menyelinap masuk melalui celah-celah ventilasi kontrakan sederhana itu, menyapu wajah Bagas yang masih terlelap. Ia mengerjap pelan, tangannya secara refleks meraba sisi tempat tidur, namun ia hanya menemukan sprei yang sudah dingin.Bagas segera membuka mata sepenuhnya dan mencium aroma harum nasi goreng serta bawang putih yang digoreng, memenuhi ruangan sempit tersebut. Ia menoleh ke arah dapur kecil dan mendapati Mayra sudah rapi mengenakan pakaian santai, rambutnya dicepol asal-asalan, sedang sibuk di depan kompor.Bagas bangkit, hanya mengenakan celana panjangnya yang sempat berserakan semalam. Ia berjalan tanpa suara dan tiba-tiba melingkarkan lengannya di pinggang Mayra dari belakang."Ehh! Dok, udah bangun?" Mayra tersentak kecil, namun sedetik kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahu Bagas dengan senyum malu-malu.“Jangan panggil Dok, kita tidak sedang di klinik,” jawab Bagas sambil mempererat pelukannya.Mayra hanya tersenyum lembut, ia mengangguk pelan
Setelah badai gairah yang meluap-luap itu mereda, keheningan yang damai menyelimuti kamar kontrakan sempit tersebut. Bagas tidak segera beranjak, ia menarik tubuh mungil Mayra ke dalam pelukannya, menyelimuti mereka berdua dengan kain sprei tipis yang masih tersisa di atas ranjang.Mayra menyandarkan kepalanya di dada bidang Bagas, mendengarkan detak jantung pria itu yang perlahan mulai kembali normal. Aroma maskulin yang bercampur dengan sisa-sisa pergumulan mereka membuat Mayra merasa begitu aman. Tanpa sadar, rasa lelah yang luar biasa setelah pertama kali merasakan pengalaman tersebut membuat kelopak matanya terasa berat.Bagas pun demikian. Ia mengelus lembut rambut Mayra yang masih sedikit basah oleh keringat, hingga akhirnya napas keduanya menjadi teratur. Mereka terlelap dalam pelukan hangat, seolah dunia di luar sana berhenti berputar hanya untuk mereka berdua.Hening malam di tempat itu sempat terganggu oleh suara kucing yang melompat di atas atap seng, membuat Bagas perlaha
Bagas terdiam sejenak, membiarkan matanya menjelajahi setiap inci kemolekan alami yang terpampang di depannya. Mayra, dengan wajah yang sudah merah padam hingga ke telinga, mencoba menutupi dadanya dengan tangan yang gemetar. Namun, Bagas dengan lembut meraih tangan itu, mengecup telapak tangannya, dan meletakkannya kembali di sisi tubuhnya."Jangan disembunyikan, Mayra... Kamu sangat sempurna," bisik Bagas dengan suara yang serak dan berat.Mayra tersenyum dengan pipi yang merona. Ia sendiri bingung apa yang ia rasakan kini. Ada rasa malu, senang, sedih. Semuanya bercampur aduk menjadi satu.Bagas kemudian mulai melepaskan pakaiannya sendiri satu per satu dengan gerakan yang sangat tenang, seolah ingin memberi waktu bagi Mayra untuk mempersiapkan diri. Ketika kemeja dan celana Bagas akhirnya terlepas sepenuhnya, mata Mayra yang semula sayu mendadak melebar sempurna.Ia terkesiap, napasnya seolah tertahan di kerongkongan. Pandangannya terpaku pada kejantanan Bagas yang kini berdiri te







