Share

BAB 4: DUA CARA PANDANG

Langit di penjuru timur berkelir merah, waktu fajar masih belum usai. Ridho baru menunaikan salat subuh berjamaah di masjid. Kepalanya bersongkok hitam, mengenakan baju gamis ala Pakistan—yang panjangnya sedikit melebihi lutut—dan bersarung motif garis-garis tiga warna—hitam, hijau, dan putih.

Di depan pagar, ia mengamati sebentar rumah Umi yang menyimpan banyak sekali kenangan. Berbeda dengan rumah-rumah tetangga yang mengalami beberapa kali perubahan, sehingga tampak kokoh dengan dominasi beton. Penampakkan rumah yang gerbangnya baru dilalui Ridho masih sama seperti dahulu, selayaknya rumah-rumah tahun sembilan puluhan.

Ia melalui gerbang hingga berada di halaman depan rumah. Posisi kursi dan meja masih sama seperti terakhir ia kemari, bahkan masih sama sejak puluhan tahun lalu. Masih melekat ingatan semasa kecil, sewaktu seorang lelaki berpakaian rapi datang, dan berbicara dengan Umi. Kemudian Umi menyuruh ia dan kakaknya masuk ke dalam kamar.

Ketika itu Ridho masih belum mengerti alasannya, tapi kakaknya yang lebih tua tiga tahun darinya mengerti siapa yang sedang dibicarakan. Izul mengusap-usap matanya yang basah, lalu berkata, “Padahal Kakak juga pengin tahu kondisi Abi. Kenapa Umi suruh Kakak ke kamar?!”

Walau meja, kursi, dan komponen-komponen lain yang membentuk rumah ini tampak sama, sejatinya telah melalui banyak pergantian dan perbaikan. Meja dan kursi ini misalnya, saat meja dan kursi sebelumya sudah sangat rapuh, maka Ridho menggantinya dengan yang baru, dalam bentuk, warna, dan corak yang sama. Demikian halnya genting, dinding, jendela, dan hal-hal lainnya yang hanya mengalami peremejaan tanpa perubahan.

Suara perdebatan serius antara ia dan kakaknya melintas dalam ingatan. Ketika Ridho memandang meja dan kursi yang ada di depan rumah, seakan ia melihat dirinya dan kakaknya yang berseteru. Izul mengotot mau melakukan renovasi terhadap rumah mereka, ingin bangunan rumah ini tampak gagah sebagaimana rumah-rumah tetangga.

Ridho menolak, ia tidak ingin ada seinci pun dari bangunan rumah yang berubah atau sekadar berpindah lokasi. Kalaupun ada yang mesti diperbaiki, ia yang akan menanggung biaya perbaikannya. Tidak masalah jika ia sendiri yang harus mengeluarkan biaya untuk itu, ia siap menanggungnya.

“Sombong sekali, mentang-mentang novelmu sedang naik daun dan merasa sudah memiliki banyak uang,” seru Izul disertai timbulnya goresan di leher dan sedikit tampak di dahi, “Kamu itu terlalu menikmati dunia fiksi, sampai tidak bisa membedakan mana realitas mana angan-angan.”

“Aku tidak segila itu! Aku masih sangat waras dan masih bisa berpikir logis. Memang apa salahnya kalau aku meyakini Abi masih hidup? Toh selama ini, mereka yang mengatakan Abi dan penumpang-penumpang lainnya telah meninggal dunia, masih belum bisa mengonfirmasi kebenarannya,” ujar Ridho dengan tetap menjaga nada bicaranya agar tetap datar.

“Kamu bodoh, ya?! Kejadian itu sudah puluhan tahun berlalu. Kalaupun Abi masih hidup dan ada di suatu tempat, pastilah ia akan datang ke sini, atau sekurang-kurangnya ia akan menghubungi kita.” Izul masih tidak terima dengan argumen adiknya yang dianggap sangat jauh dari akal sehat.

“Kamu itu memang perlu diselamatkan dari kegilaan yang kamu buat sendiri. Lebih baik kita renovasi rumah ini, untuk menyelematkan pikiran kamu dari hal-hal yang bisa membuatmu berpikir tidak waras.” Izul masih dengan suara tingginya, “Aku jadi heran, bagaimana bisa novel yang menceritakan kepulangan seorang ayah yang hilang selama puluhan tahun, dengan mengenali bentuk rumahnya yang tidak berubah, bisa diterima masyarakat. Mereka semua sama-sama pengkhayal seperti kamu.”

Ridho merasa benar-benar tertohok dengan ejekan kakaknya barusan. Di ujung tangan yang menjulur dan menyandar di paha, ada kepalan yang begitu keras. Sebenarnya novel yang dibicarakan kakaknya adalah novel yang dibangun di atas keyakinannya sendiri. Hal itu pula yang ia terapkan, dengan harapan yang sama, seperti harapan yang dipertahankan tokoh utama dalam novel yang ia buat.

“Aku tetap tidak mau ada yang berubah dari rumah ini.”

Izul menyoroti adiknya dengan tatapan yang sangat tajam. Mendapati tatapan mata yang setajam tatapannya, mengarah lurus ke meja di hadapannya. Juga memerhatikan bagaimana kedua tangan adiknya telah membentuk tinju. Hal ini yang membuatnya semakin naik pitam, dan berpikir bahwa salah satu cara menangani kebodohan dan kekeraskepalaan adiknya sepertinya hanya tinggal adu tinju.

Izul menjangkau gelas berisi air mineral di hadapannya, lalu dengan sekuat tenaga membanting gelas tersebut ke lantai. Terdengar denting beling yang pecah, dan pecahannya menghambur ke tiap sudut lantai. Ridho yang sejak tadi sekuat tenaga menahan emosi mulai terpancing, sorot tajam matanya kini mengarah lurus ke mata sang kakak. Tinggal hitungan detik, hingga dua kepalan tangan yang saling mengeras akan menemukan pendaratannya.

“Astagfirullah al-‘azhim!” teriak Umi yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Segera berdiri di tengah-tengah kedua anaknya yang saling tersulut emosi. Umi meletakkan kedua tangannya di dada kedua putranya, menahan agar tidak saling merangsek ke depan, “Kalian berdua seharusnya beristigfar, jangan malah bertengkar.”

“Selama ini Ridho selalu diam setiap kali dia mencela pendapat Ridho.”

“Ridho sudah! Dia ini kakakmu, harusnya kamu bisa menghormatinya. Beristigafar, Nak! Tahan emosi kamu!” ucap Umi seraya menahan putra bungsunya agar tetap di posisinya.

“Kamu gila! Kamu pikir aku bisa tahan melihat kegilaanmu terus-terusan?!”

Sekuat tenaga, Umi juga menahan rangsekan putra sulungnya yang berniat menjangkau adiknya. Kali ini kata-kata beliau terucap diiringi tetesan air mata, “Sudah Izul! Dia ini adikmu, seharusnya kamu menyayanginya!”

Sengatan emosi yang dirasakan keduanya mereda ketika sesuatu yang basah terasa mengalir dan menyentuh kulit kaki mereka. Izul dan Ridho mengalihkan pandangan ke sekitar telapak kaki, darah segar tengah mengalir, bersumber dari tapak kaki Umi. Baru mereka sadari kalau sejak tadi Umi menahan luka pasca menginjak pecahan beling. Luka di kakinya dibiarkan tergesek dan melebar kala berusaha keras menahan dorongan dua anaknya.

“Maafkan kita, Umi,” ucap Izul dan Ridho bersamaan. Kesal mereka berubah haru, dan langsung memeluk ibu mereka.

“Ridho, tolong ambilkan kotak P3K,” perintah Izul pada adiknya. Sambil berderai air mata dan terus meminta maaf pada ibunya, Izul mendudukkan Umi di kursi yang tadi diduduki Ridho. Ia mencabut beling-beling yang menempel di tapak kaki ibunya, dengan suara sendu berkata, “Umi, Izul benar-benar minta maaf Umi. Izul janji Umi tidak akan mengalami hal ini lagi.”

“Iya Izul, Umi selalu memaafkan kamu, bahkan sebelum kamu meminta maaf,” jawab Umi dengan suara yang benar-benar tenang dan meneduhkan. Lalu tersenyum dan melanjutkan ucapannya, “Sebentar lagi anak sulung Umi akan menikah. Harusnya kamu lebih bisa menahan emosi, Izul. Kelak kamu tidak cuma menjadi suami, tapi juga akan menjadi ayah. Ayahmu adalah suami yang baik, hidup dengan terus berusaha meneladani sikap nabinya. Kamu juga harus seperti ayahmu.”

“Iya Umi. Izul akan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.”

Ridho bergegas datang dengan sekotak P3K. Air matanya kian berderai demi melihat darah yang menggenang dan terus mengalir dari telapak kaki ibunya. Ia meminta maaf dan benar-benar menyesali apa yang barusan ia perbuat. Ini salahnya, kalau saja ia tidak membangkang, mungkin tidak akan seperti ini. Lagi-lagi Umi mendengungkan kalimat yang sama, bahwa seorang ibu memang akan selalu memaafkan anaknya.

“Selama ini, Umi melahirkan dan membesarkan kalian tidak hanya dengan keringat, tapi juga dengan darah. Umi sangat sedih kalau darah dan keringat yang telah Umi korbankan, justru dibalas dengan pertumpahan darah sesama kalian.”

Kembali ke Ridho yang sedang membangkitkan kenangan masa lalu. Hatinya masih merasakan haru saat melihat bayangan dirinya di kursi itu, pada peristiwa lampau ketika ia dan kakaknya masih membujang.

Dari peristiwa tersebut ia dan kakaknya menyetujui sebuah kesepakatan yang disampaikan Umi. Bahwa rumah ini tampak luarnya akan tetap menjadi seperti ini, sebagaimana yang diinginkan Ridho. Sedangkan tampak dalamnya boleh dilakukan perubahan sebagaimana yang dikehendaki Izul. Jadilah bangunan ini tampak seperti sekarang.

Meski akhirnya hal tersebut menimbulkan perbedaan antara kisah novel yang ia buat dan kenyataan, namun jalan tengah yang dipilihkan Umi cukup adil baginya—juga bagi kakaknya. Setelahnya, Ridho dan Izul berusaha untuk tidak menyinggung hal tersebut, karena dianggap sensitif bagi keduanya, saling menjaga perasaan.

Ridho menghela napas panjang, membiarkan kenangan-kenangan tersebut berlalu dari ingatannya. Ia memasuki rumah, mendapati para perempuan dalam keluarga ini tengah berkumpul bersama, saling mempelajari Alquran. Anak gadisnya meloncat kegirangan, berlari menghampiri dan memeluk kakinya.

“Abi, Tiara sudah bisa baca Quran, Abi. Kata Nenek, bacaan Quran Tiara sudah bagus. Iya kan, Nenek?”

Umi Diah tersenyum, membalas senyuman sang cucu yang dilemparkan padanya, “Iya, cucu nenek memang cantik, pinter, dan salihah.”

Zaenab tampak sedikit murung. Melihatnya begitu, Umi Diah menambahkan perkataannya: “Zaenab juga sama, cantik, pinter, dan salihah.” Melebarlah senyum Zaenab ketika mendengar pujian neneknya.

“Kok kamu pulang sendiri, Mas? Kak Izul mana?” Mutia bertanya.

“Kak Izul masih mengobrol dengan jamaah masjid. Aku izin pulang duluan, mau menghubungi Valdi.”

Ridho masuk ke kamarnya, meraih handphone yang masih tersambung dengan kabel casan. Jarinya menyentuh layar handphone, menarik ke bawah sehingga tampil jendela pemberitahuan. Dugaannya benar, pesan darinya telah mendapat balasan.

Balasan pesan dari Valdi: ‘Tim kami tidak bisa menemukan orang yang kamu cari. Sepertinya kita terlambat mencarinya, orang itu keburu pergi.’

Jika melihat percakapan mereka sebelumnya, Ridho sempat mengirimkan pesan berupa gambar ayahnya ke Valdi. Data gambar tersebut diambil dari foto lama yang telah melalui mesin scan, tersimpan dalam galeri hanphone-nya, dikirimkan kemarin sewaktu meminta tolong temannya yang kebetulan bekerja di bandara. Namun ia belum memberitahukan alasan sebenarnya mengapa perlu mencari orang tersebut.

Ridho terduduk diam di ujung kasur, dua tangannya memegang handphone yang masih memancarkan cahaya, sementara pikirannya bekerja untuk menemukan solusi lain. Padahal akhir-akhir ini, ia hampir bisa hidup selayaknya orang normal. Mulai berdamai dengan kenyataan dan menyadari betapa dirinya sangat-sangat terbawa cerita fiksi.

Lalu ada sosok yang tiba-tiba datang dengan wujud yang masih sangat jelas melekat dalam ingatan. Seakan yang ia temui benar orang yang sama, dan bukan orang lain atau sekadar mirip. Ditambah lagi, percakapan di mobil dengan kakaknya terkait orang tersebut. Ini yang membuatnya selalu kepikiran sejak semalam.

Kakaknya yang dikenal sangat realistis dan sangat tidak menyukai hal-hal yang berbau fiksi saja, tiba-tiba bisa membahas hal itu. Mungkinkah ini sebuah kebetulan? Atau memang Tuhan menakdirkan kisah unik terjadi dalam dirinya?

Lagi-lagi Ridho dihanyutkan oleh inspirasi-inspirasi fiksi yang pernah menghanyutkannya. Atau jangan-jangan ini memang nyata?

Setelah terdiam beberapa saat memikirkan apa yang selanjutnya mesti dilakukan, ide itu lantas datang, dan ia sampaikan pada Valdi.

Ridho membalas: ‘Apa CCTV bandara bisa diperiksa?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status