Share

BAB 3: PESAWAT HILANG

Di hari ketiga sejak keberangkatan ayahnya, Ridho yang masih berusia lima tahun, berdiri di depan pintu rumah. Cahaya senja dari ufuk sana menyentuh wajahnya dan robot-robotan yang berada dalam genggaman. Jika melihat sebuah bayangan melintas di depan pagar, mestilah ia berlari menghampiri. Berharap yang sedang berjalan adalah ayahnya, meski ternyata bukan, dan bocah kecil itu kembali ke posisi semula.

“Umi, Abi belum pulang?” tanya si bungsu yang akhirnya masuk ke dalam rumah, mendekati ibunya yang tengah melipat pakaian.

Umi tersenyum menyikapi bungsunya yang begitu penuh harap, lalu berkata, “Kita doakan sama-sama ya, Ridho. Semoga Abi cepat pulang ke rumah dan bawa oleh-oleh untuk kamu. Doa anak saleh itu cepat diijabah, loh.”

Umi mengusap lembut kepala anaknya sebelum berkata, “Kan Ridho anak yang saleh.”

Tanpa menunda-nunda, si bungsu melaksanakan apa yang dikatakan Umi. Tapak tangan dan wajahnya langsung menengadah ke langit, dengan suara polos berdoa: “Ya Allah, semoga Abi cepat pulang, ya Allah. Amin.” Lantas mengusap wajahnya dengan dua tangan.

Keesokannya di pagi hari, Umi melakukan aktivitas sebagaimana biasa. Menghampiri gerobak sayur yang biasa mangkal dekat rumah, memilih beberapa sayuran untuk bahan makanan. Sapaan-sapaan ringan terjadi antara ia dan ibu-ibu yang ikut membeli sayur, atau yang sekadar melintas di antara mereka.

Mendengar gosip atau sekadar ocehan di antara ibu-ibu di saat-saat begini, itu hal yang biasa terjadi. Sesekali Umi diajak terlibat dalam obrolan, dan Umi biasanya hanya menjawab seperlunya. Apalagi jika yang dibicarakan sudah menyentuh ranah-ranah mistis, ia semakin tidak nyaman mendengarkan.

Untuk kali ini berbeda, walaupun yang sedang dibicarakan dikait-kaitkan dengan hal berbau mistis, Umi merasa perlu menyimak. Merasa ada keterkaitan antara dirinya, dengan topik yang sedang dibicarakan ibu-ibu tetangga.

“Masak sih, Jeng? Kayanya, tidak begitu-begitu amat deh,” sahut ibu-ibu lain yang tidak sependapat dengan “ibu-ibu mistik”. Sementara tangannya terus sibuk memilah sayur-sayuran bagus.

“Eh, dibilangin malah tidak percaya. Coba nih ya kamu pikir. Masak sih pesawat itu hilang begitu saja. Pasti ada apa-apanya. Bisa saja, itu kerjaan makhluk halus yang benci sama manusia.”

Tiap kali mendengar kata “pesawat hilang” disampaikan, tiap itu pula Umi langsung kepikiran suaminya. Padahal tidak mesti pula yang hilang adalah pesawat suaminya, kan di negeri ini ada banyak kegiatan penerbangan. Umi coba berusaha menenangkan hatinya dengan pikiran tersebut, tapi kekhawatirannya semakin berkecamuk. Ditambah lagi, obrolan ibu-ibu mempertegas, dari mana pesawat tersebut tinggal landas.

“Aku juga sempat baca di koran, loh. Katanya pesawat itu terbang dari Bandara Kemayoran,” ucap salah satu ibu-ibu.

Mungkin saja kejadiannya bukan di hari yang sama dengan hari keberangkatan suaminya. Umi yang paras wajahnya menampakkan kekhawatiran yang lebih dari sebelumnya, lantas memastikan sendiri, bertanya, “Memang itu kejadiannya kapan ya, ibu-ibu?”

“Kayaknya kemarin deh, Jeng Diah.” Langsung salah satu ibu-ibu menjawab pertanyaannya. Umi mulai bisa menarik napas lega, karena ternyata, harinya berbeda. Ia ingat betul kalau suaminya berangkat sejak empat hari lalu, berarti hari Rabu. Sepertinya tidak lama lagi ia akan undur diri dari obrolan ini, sayur yang ingin dibeli telah rampung dipilih.

Tiba-tiba ibu-ibu lain menyanggah jawaban tadi dengan jawaban lain, “Bukan kemarin, Jeng, tapi kejadiannya hari Rabu, keberangkatan pesawat jam sembilan pagi. Aku masih ingat betul, karena sempat diskusi bareng suami terkait kejadian ini.”

Bak disambar petir tengah hari bolong, demikianlah kondisi hati Umi saat ini. Jari-jemarinya serasa sangat lemas, berat sekali untuk digerakkan. Warna pucat pasi mengelir wajahnya, dan siapa pun bisa menyadari perubahan ekspresinya yang sangat signifikan jika melihatnya.

“Jeng Diah? Jeng Diah kenapa? Maaf ya Jeng kalau ada kata-kata aku yang salah,” ucap ibu yang tadi membenarkan informasi waktu kejadian. Perubahan tampilan drastis dari Umi membuatnya merasa perlu meminta maaf.

“Iya, enggak apa-apa, Bu.”

Walau Diah menjawab demikian, suaranya yang terdengar sangat lemah menunjukkan sebaliknya. Bahkan ia masih terdiam mematung, memberi kesan betapa berat gangguan yang menghampiri pikirannya. Suasana obrolan ramai tadi sesaat berubah hening, perhatian orang-orang yang ada di sekitar itu tertuju pada Diah seorang.

“Jadi berapa, Pak?” kata Diah pada tukang sayur, sebelum akhirnya meninggalkan lokasi tersebut tanpa mengucap sepata kata pun. Terus bergerak menuju rumahnya bagai seonggok tubuh yang kehilangan ruh.

Sementara ibu-ibu yang masih berada di sekitar pedagang sayur, saling mempertanyakan kejadian barusan. Salah satu dari mereka berkata, “Kalau tidak salah, suaminya Ibu Diah naik pesawat di hari dan jam yang sama, dari Bandara Kemayoran juga.”

“Jangan-jangan!?” jawab yang lain.

--*--

Kabar itu cepat sekali beredar, bermula dari mulut ibu-ibu tetangga yang berada di tukang sayur, sekarang sudah ramai diketahui hampir seluruh warga yang tinggal di sekitar rumah Diah. Padahal sampai sekarang, kabar tersebut belum benar-benar terkonfirmasi. Namun infornya bahkan sampai masuk ke pendengaran Izul lewat obrolannya dengan teman-teman sebaya.

Tiba di suatu siang, Izul menghampiri Umi yang sedang melipat pakaian. Ia masih kecil memang, tapi ia bisa mengerti kalau “sesuatu” sedang terjadi. Akhir-akhir ini sikap Umi tidak tampak sebagaimana biasanya. Lebih banyak diam seakan tidak peduli pada apa pun, hanya mengurus anak, dan itu dilakukannya tanpa bersuara.

“Umi!” panggil Izul yang sudah berdiri di sebelahnya.

“Ada apa, Nak?” jawab Diah, masih dengan tangan yang sibuk melipat-lipat pakaian.

Dari sini saja Izul sudah bisa merasakan perubahan pada ibunya. Biasanya Umi akan menjawab panggilannya dengan mengusap kepala, kadang mencium, atau menambahkan kata: “Ada apa anak salehnya, Umi?” Atau seminimalnya menolehkan wajahnya ke Izul dan memberikan tatapan yang mampu menyalurkan gelombang cinta. Tidak seperti sekarang, yang hanya terdengar perkataannya, sementara perhatiannya tetap fokus pada apa yang dikerjakan.

“Apa Abi akan pulang, Umi?”

Demi mendengar pertanyaan barusan, Diah berhenti melipat pakaian, tubuhnya seakan membatu. Jika yang bertanya adalah si bungsu, mungkin gejolak hatinya tidak akan seperti sekarang. Yang bertanya adalah putra sulungnya, yang meskipun masih anak-anak, daya kritisnya sudah mulai tampak.

Diah kembali melanjutkan pekerjaannya, menunjukkan kesan seakan ia tidak mendengar apa yang disampaikan anaknya. Namun Izul yang membutuhkan jawaban tegas, mempertanyakan itu sekali lagi, dan Diah kembali terdiam. Hatinya langsung diliputi kesedihan teramat dalam, sekarang, bagaimana ia akan menjawab tanya anaknya?

Bukan menjawab, Diah malah menarik si sulung ke dekapannya, memeluk sangat erat sekali. Sampai-sampai Izul bisa merasakan sesenggukan yang tengah diusahakan Umi agar tidak didengar putra sulungnya. Izul yang tidak tahan untuk memastian, bertanya:

“Kata teman-teman Izul, pesawat Abi hilang. Apa benar Umi?”

Lagi-lagi bukan jawaban yang ia dengar, melainkan tangis yang benar-benar pecah. Diah benar-benar tidak tahan berlama-lama menahan gejolak hatinya. Butuh waktu untuk mengumpulkan kekuatan, hingga akhirnya bisa berkata pada putra sulunnya.

“Kita sama-sama berdoa untuk Abi ya, Nak. Semoga Allah menjaga Abi di mana pun Abi berada.”

Mendengar ibunya menangis, Izul jadi ikut menangis. Kemudian dengan kepolosan dan suara sendunya, Izul bertanya, “Abi masih hidup kan, Umi?”

Di tengah-tengah kesedihan yang dirasakan ibu dan anak ini, terdengar suara bel. Diah melepas pelukannya, mengusap pipi anaknya yang dibasahi air mata, juga mengusap pipi dan matanya sendiri. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu rumah untuk membukakan pintu.

Seorang pria berpakaian sangat rapi berdiri di depan pagar rumah. Di tangannya, digenggam sebuah tas berbentuk persegi. Senyuman ramah menjadi awal komunikasi sebelum berbicara dengan salah satu pemilik rumah yang sekarang berdiri di hadapannya, “Assalamaulaikum.”

Waalaikumsalam,” jawab Diah, lanjut berkata, “Maaf, mencari siapa ya, Pak?”

“Benar ini rumah Pak Hasan”

“Iya benar, tapi Pak Hasan sedang tidak di rumah.”

“Maaf sebelumnya karena telah mengganggu waktu Ibu. Perkenalkan nama saya Andi, saya diutus oleh perusahaan yang jadi mitra bisnis Pak Hasan. Maksud saya ke sini, untuk bertemu keluarga Pak Hasan. Ada hal-hal penting yang mau kami sampaikan pada keluarga Pak Hasan terkait beliau.”

Padahal belum mendengar betul apa yang akan disampaikan, tapi Diah kecemasan itu datang lagi. Kembali rasa pilu ganas menggerogoti hatinya. Sejenak terdiam, Diah lantas membukakan gerbang, mempersilakan tamunya masuk.

“Silakan masuk, Pak, tapi Maaf ya kita tidak bisa bicara di dalam rumah. Karena di sini hanya ada saya dan anak-anak.”

“Oh iya, Bu. Tidak apa-apa.”

Diah mempersilakan tamunya duduk di kursi yang tersedia di depan pintu. Lalu ke dalam rumah menghidangkan jamuan untuk tamunya. Barulah ia duduk di luar dan siap mendengarkan apa yang akan disampaikan.

 Dari pintu rumah yang terbuka, Izul dan Ridho tampak menyembul ke luar. Izul masih dengan wajah sedihnya menyandarkan tubuh ke kosen. Di sebelahnya, Ridho yang memegang robot-robotan, ikut memerhatikan tamu ibunya.

Seperti biasa layaknya para tamu pada umumnya. Percakapan dimulai dengan basa-basi dan menanyakan kabar orang-orang rumah. Menjelang masuk ke pembicaraan inti, Andi berkata, “Kita mulai dari mana, ya?”

Pertanyaan tersebut muncul karena Andi melihat wajah-wajah sayu yang tampak dari anggota keluarga ini, ia jadi sedikit bimbang, sementara tugas tetap harus dijalankan. Lantas setelah mengambil napas sebentar, ia lanjut berkata, “Sebelumnya, apa Ibu telah mendengar isu tentang pesawat yang ramai jadi perbincangan?”

Dentaman keras yang menyasar perasaannya datang lagi. Diah mulai bisa merasakan topik pembicaraan yang akan dibahas. Sebelum menjawab pertanyaan barusan, ia melempar perhatian pada dua anaknya yang berdiri di ambang pintu. Ia tidak ingin keduanya ikut menjadi pendengar.

“Kakak dan Adik masuk kamar dulu, ya!” ucap Umi. Ridho melihat ke arah kakaknya yang masih terdiam dan ingin terus mendengarkan. Umi sekali lagi mengatakan, “Kakak, bawa adiknya ke dalam, ya!”

“Ayo dong anak-anak salehnya Umi. Masak tidak mau dengar kata Umi.” Dengan sangat terpaksa dan tampak kecewa, akhirnya Izul mengikuti perintah ibunya.

Setelah dirasa kondisi cukup kondusif, Andi kembali memulai percakapan dengan melempar pertanyaan yang sama, “Kita lanjut, ya. Apa sebelumnya Ibu pernah dengar berita tentang pesawat yang hilang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status