Share

BAB 5: MANUSIA BARBAR

Perlahan kedua mata Hasan membuka, dibangunkan debuk suara yang terdengar di ujung kabin. Ia belum menyadari betul apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Beberapa kali ia pejamkan mata, menjernihkan pandangan yang agak sedikit buram—efek baru bangun tidur.

Entah sudah berapa lama ia tertidur di kabin pesawat. Bahkan tidak diketahui pasti, bagaimana ia bisa tertidur. Kejadian terakhir yang ia ingat, selepas getaran dahsyat yang dialami para penumpang pesawat, beberapa saat kemudian ia merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Lantas tertidur begitu saja.

“Ampuni aku! Tolong! Ampuni aku!” Sebuah jeritan membuat matanya tiba-tiba menyalang, diiringi debuk suara yang terus-terusan terdengar. Cahaya kemerah-merahan yang terus bergejolak dan menyala-nyala tampak di depan sana, dekat pintu depan pesawat.

Butuh waktu beberapa saat hingga Hasan mengenali, gejolak merah tersebut adalah api dari sebuah obor. Dipegangi sesosok manusia berkulit sawo matang, bertelanjang dada, bagian bawahnya dibungkus kain kasar. Tampaknya kain kasar tersebut asalnya berwarna putih, berubah agak kecokelatan lantaran kerap bersentuhan dengan tanah.

Di sisi pemegang obor, adalah lelaki yang juga bertelanjang dada. Hanya saja yang dikenakan di bagian bawahnya berbahan daun. Kelihatannya cara berpakaian orang-orang ini hanya ala kadarnya. Bunyi debuk barusan, berasal dari dua kepalan tangan orang ini, kiri-kanan, terus secara bergantian.

“Ampun! Tolong lepaskan aku! Apa salahku?!” jerit penumpang kabin yang terus-terusan dianiaya itu. Beberapa titik warna lebam menghiasi wajahnya, ada yang malah mengeluarkan darah.

Sejumlah tinju masih dilepaskan, hingga ucapan “ampun” tidak lagi terdengar. Sosok yang dianiaya telah kehilangan kesadaran, barulah si pemukul menghentikan aksinya. Tangannya terjulur, memastikan kalau orang yang disiksa masih memiliki napas. Lalu ia dan rekannya yang memegang obor, mengikat tangan dan kaki korbannya, sebelum diserahkan ke rekan lainnya yang menunggu dekat pintu keluar.

Tarikan napas Hasan berasa tertahan ketika menyaksikan detail penyiksaan tak berperikemanusiaan tersebut. Ia sedikit menurunkan kepalanya yang sempat dilongokkan, menyembunyikan wajah di balik kursi penumpang yang ada di hadapannya. Tangannya mengepal, geram, ingin rasanya melawan, tapi berisiko.

Ia belum tahu berapa jumlah orang-orang barbar ini sebenarnya, bisa jadi di luar masih banyak, dan entah senjata apa yang mereka persiapkan. Selain itu, ia juga belum tahu apakah selain dirinya, ada penumpang lain yang terjaga? Di saat pikirannya masih menduga-duga, penumpang yang duduk di bekang korban yang hampir purna diikat, tiba-tiba terbangun dan bersuara:

“Eh!? Siapa kalian?!”

Si pemegang obor serta-merta mengangkat kakinya tinggi, kemudian menghempaskannya sekuat tenaga, tepat terarah ke dada lelaki yang baru saja terbangun. Lelaki malang itu lantas terbatuk-batuk, helaan napas yang tengah diupayakan terdengar begitu berat, sebelum menerima hantaman yang sama sekali lagi, lalu pingsan.

Hal yang sama dilakukan sebagaimana terhadap korban sebelumnya. Si pemegang obor berdiri, memberikan pencahayaan pada dua temannya yang berjongkok dan melakukan pengikatan. Secara tiba-tiba, pemegang obor itu mendongakkan kepala, memandang bagian belakang kabin.

Hasan yang kebetulan tengah melongok, langsung menurunkan tubuhnya. Jantungnya berdebar kencang, ia yakin betul, barusan matanya sempat berpapasan dengan mata sosok barbar itu. Dan begitu adanya, si pemegang obor segera mencolek salah temannya, kepalanya memberikan isyarat agar ikut memeriksa di kursi bagian belakang.

Bunyi langkah kaki terdengar semakin jelas, nyala api kian terang, bayangan dua lelaki itu semakin mendekat. Hasan memegang sebuah kain yang diam-diam telah dipersiapkan. Lalu mengambil sebotol air meneral, menumpahkan isinya hingga membasahi kain yang dipegang.

Ketika menarik ujung kain itu dengan dua tangannya, tampak getaran-getaran halus yang menjalar dari sekujur tubuhnya. Getaran yang berasal dari luapan emosi, kesal, sedih, cemas, takut. Lagi pula dalam kondisi seperti ini, memilih pasrah juga percuma. Orang-orang bengis ini kelihatan punya niat yang buruk, maka melakukan perlawanan masih lebih baik. Pilihannya hanya dua: pasrah untuk mati atau bertahan hidup.

Rasa panas dari gejolak api mulai bisa dirasakan, Hasan menutup kedua matanya, berpura-pura tidur. Sayangnya si pemegang obor hanya mengarahkan kedua matanya tepat di depan Hasan, sekadar memastikan bahwa inilah sosok yang tadi berpapasan dengannya.

Hampir ia memindahkan obor yang dipegang ke tangan satunya lagi, ketika Hasan secara tiba-tibe mengeluarkan kain yang telah dibasahi. Ia menggulung api tersebut, beriringan dengan suasana kabin yang berubah gelap total. Dua tangannya melepas ujung kain, beralih mencengekeram batang obor, dan menariknya kuat-kuat.

Saat suasana kabin diterangi gejolak api tadi, ia memerhatikan di mana posisi dan kondisi dua sosok barbar yang sekarang berada di dekatnya. Bermodalkan ingatan tersebut, Hasan menghantamkan obor padam yang sudah berada di tangannya. Satu benturan keras telak mengenai tengkuk lelaki yang bagian bawahnya mengenakan kain berbahan kasar. Suara erangan memilukan terdengar, disusul bunyi ambruk tubuhnya.

Tanpa membuang waktu, Hasan melayangkan hantaman keras kedua. Lagi-lagi pukulan telak terjadi, erangan, disusul bunyi ambruk tubuh yang jatuh. Bersenjatakan kayu obor yang sepertinya cukup keras dan kuat, Hasan menghampiri orang ketiga yang ia ketahui ada di pintu depan pesawat.

 Karena kondisi kabin yang benar-benar gelap, hingga tangan sendiri pun tidak tampak, Hasan menjulurkan salah satu tangannya, meraba medan yang akan dilalui. Ia sampai di bagian depan, ia tahu itu lantaran ketika meraba, tidak mendapati ada seseorang yang duduk.

Beruntung, ternyata ketika obor ia padamkan, orang ketiga telah menyeret dua korbannya tadi untuk dilemparkan keluar. Dari posisinya sekarang, matanya bisa menangkap sedikit cahaya yang berasal dari pintu depan kabin. Pancaran cahaya lembut, sepertinya berasal dari cahaya rembulan.

Hasan mendekati ruangan yang disiram sedikit cahaya, pelan-pelan melangkah. Bayangan seseorang yang sedang sibuk mengerjakan sesuatu tampak. Ia mengintip sedikit apa yang sedang terjadi, ternyata itu adalah orang ketiga yang tadi ia lihat. Dari ambang pintu pesawat, orang itu berbicara kencang pada teman-temannya yang menunggu di bawah. Entah apa yang mereka bicarakan, karena bahasanya tidak ia mengerti, baru kali itu didengar.

Orang itu mengangkat salah satu tubuh yang terikat kencang, lalu mencampakkannya ke luar. Berdebum, bunyi yang menegaskan kalau di bawah sana, tak ada seorang pun yang menyambut lemparan barusan. Lalu tubuh kedua dilemparkan dengan cara yang sama.

Kalau saja situasinya tidak seperti ini, mungkin orang yang melempar barusan akan ia tendang kencang-kencang, agar bisa merasakan apa yang korbannya rasakan. Namun Hasan hanya bisa menahan diri, menunggu orang itu kembali ke dalam kabin.

Begitu orang ketiga kembali ke dalam kabin, suasana gelap total membuatnya keheranan. Ia bersorak, seperti memastikan keberadaan dua temannya, dan tidak mendapat jawaban. Lantas tersadar kalau sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.

Terlambat, Hasan yang berdiri di sebelahnya, menyempil depan kursi yang sudah tidak diduduki, tengah mengangkat kayu obor tinggi-tinggi. Satu pukulan keras menghantam bagian di antara leher dan pundak. Sosok ketiga ambruk.

Ia menyeret tubuh yang baru tersungkur itu mendekati dua temannya tadi. Ia telah membuat rencana, akan menunggu di sini hingga kawanan manusia barbar ini datang dan memeriksa keadaan. Lalu melakukan hal yang sama terhadap mereka. Jika kondisi dirasa sudah benar-benar aman, barulah ia keluar.

Beberapa saat berlalu, belum ada tanda-tanda seseorang akan datang. Hasan mengintip lorong yang mengarah ke pintu keluar, hanya mendapati tali yang diikat kuat di sekitar ambang pintu, dan menjuntai sampai ke bawah. Baru berjalan beberapa detik, terjadi pergerakan di tali tersebut. Hasan menarik napas dalam-dalam, kembali bersiap-siap, lalu hal yang sama berhasil dilakukan.

Orang kelima, keenam, ketujuh, memperoleh perlakuan yang sama dan ikut tertumpuk dengan manusia barbar lainnya. Kedelapan dan kesembilan datang hampir bersamaan, masuk dalam lorong kabin pesawat berdua. Ia berhasil merubuhkan orang kedelapan, namun yang kesembilan gagal, pukulannya telaknya berhasil ditahan.

Orang kesembilan itu kelihatan terhuyung-huyung, mempertahankan kesadaran. Dilihat dari fisiknya yang lebih kekar kawan-kawannya yang lain. Mungkin jika Hasan berkelahi dengannya secara adil, sulit baginya untuk menang. Maka ia tidak mau menyianyiakan kesempatan ini, ujung kayu obor keras itu ia serudukan tepat ke hulu hati lawannya. Begitu tubuh kekar itu bersimpuh menahan sakit, Hasan kembali menghadiahi pukulan keras beberapa kali, hingga musuhnya benar-benar hilang kesadaran.

Ia kembali menunggu, namun kali ini penantiannya memakan waktu lebih lama dari sebelumnya. Jika dipikir-pikir lagi, terlalu lama menunggu pun tidak akan aman. Orang-orang yang ia buat pingsan ada saatnya akan terbangun. Setelah menunggu lebih lama lagi sambil mempertimbangkan langkah, Hasan memutuskan turun dari pesawat dengan tali yang telah terpasang kuat.

Sialnya, manusia-manusia barbar itu ternyata masih ada di luar. Hasan yang sudah memanjat tali, seketika memerosotkan dirinya ke bawah. Tangannya yang belum terbiasa menahan gesekan tali, hanya mampu bertahan sebentar, lalu melepaskan genggamannya, jatuh berdebum membentur tanah.

Ada sobekan-sobekan kecil di telapak tagannya, perih memang, tapi tidak ada waktu untuk merasai kesakitannya. Salah satu manusia barbar telah berdiri persis di depannya, siap mengayunkan pedang. Refleks Hasan menarik kakinya dan menendang dada orang tersebut kuat-kuat hingga berhasil terpental.

Ia segera bangun, tidak memedulikan lagi perih yang dirasakan ketika luka di tapak tangannya menyentuh tanah, berlari kencang. Melalui sudut mata, ia bisa melihat manusia barbar yang lain menarik tombaknya ke belakang, lalu membuatnya terbang di udara dan mengarah kencang menuju Hasan.

Entah keberuntungan atau memang pemain tombak itu benar-benar jitu, lemparan tombaknya sesuai dengan kecepatan lari Hasan. Sekilas melihatnya, Hasan bisa merasakan bagaimana ketajaman tombak tersebut bisa merobek dadanya. Sekuat tenaga ia berusaha menahan langkah, tapak kaki menabrak ranting-ranting kecil yang dilalui, termasuk ranting tajam yang merobek kulit. Lantas ia lebih menekan dua kakinya ke tanah.

Suara benda tajam menembus tanah cukup menimbulkan perasaan ngilu. Napas Hasan tersengal, serangan tadi hampir saja merenggut keselamatannya. Sejenak ia perhatikan betapa mengerikannya hunjaman barusan, hingga setengah tombak terendam ke dalam tanah. Hasan mendekati tombak tersebut, sekuat tenaga menariknya keluar, berhasil.

Ia menoleh ke belakang. Niat hati ingin melakukan serangan balik dengan senjata yang dipunya. Sayangnya jumlah musuh bukan hanya tiga orang, sebagaimana yang diperkirakan. Entahlah berapa pastinya jumlah mereka, ia lebih memilih berbalik badan dan kabur ketimbang memperhitungkan perlawanan.

Di hadapannya sekarang adalah pepohonan yang cukup lebat. Bahkan sebenarnya, ia memang berada dalam hutan. Pesawat yang ia tumpangi mendarat di tengah-tengah hutan dan merusakkan batang-batang pohon besar. Manusia barbar lain yang bertelanjang dada dan mengenakan bawahan yang agaknya terbuat dari sulaman jerami, bersiap mengadang. Di tangannya, tergenggam kuat sebilah pedang tajam.

Hasan terus menerobos ke depan. Setidaknya ia diuntungkan dengan ukuran tombaknya yang lebih panjang. Lantas sembarang saja ia putar tombak tersebut dengan satu tangan. Ia tidak peduli apakah serangannya kena atau tidak. Perasaan merobek sesuatu muncul dalam gerakan tangannya. Musuh di hadapannya tiba-tiba bersimpuh, sebelum ambruk di atas tanah.

Ia berlari di antara pepohonan besar, disusul manusia-manusia barbar di belakangnya. Sengaja ia tidak mengambil jalan setapak dalam pelariannya. Karena ia tahu, jalan setapak biasanya mengarah ke suatu pemukiman. Bagaimana jika pemukiman itu adalah pemukiman para manusia barbar? Habislah ia pastinya.

Pelarian yang cukup panjang benar-benar telah menguras tenaganya. Ia tidak mungkin terus-terusan berlari seperti ini, ada kalanya tenaga yang dipergunakan bakal menemukan batasannya. Sekarang saja napasnya sudah sedemikian berat.

Di depannya sekarang adalah batang pohon lebat yang sangat besar nan menjulang tinggi, dan tampak sulit dipanjat. Bahkan dahan terendah pohon ini tidak mungkin bisa dijangkau siapa pun—kisaran tingginya hampir dua kali tubuhnya. Hasan melongok ke atas, memikirkan bahwa setidaknya jika ia berhasil sampai di dahan terendah, dahan-dahan di atasnya lagi akan bisa dijangkau. Pastilah pucuk pohon ini bisa jadi tempat persembunyian sekaligus peristirahatan terbaik. Persoalannya, bagaimana ia bisa mencapai dahan terendah tanpa meninggalkan jejak berarti?

Setelah berpikir keras dan berusaha menemukan solusi secepat mungkin, jawaban itu didapat. Hasan menusuk batang pohon itu sekuat mungkin dengan tombak yang ada di tangannya. Setelah dirasa tancapannya cukup kuat, dan posisinya cukup tinggi namun masih bisa dijangkau, barulah ia menuju dahan pertama setelah memanjat tombaknya. Setelah tangannya berhasil menjangkau dahan pertama, ia sekuat tenaga mencabut tombaknya.

Dahan demi dahan dipanjat, hingga dirasa berada di posisi yang aman, barulah ia bisa menyandarkan diri. Dalam lelah yang teramat sangat, ia pandang dua tangannya yang bergeletar. Selama hidup, ini pertama kalinya ia menumpahkan darah seseorang—bahkan mungkin nyawa. Ia melihat ke atas memandang langit, beristigfar, memohon diberi kekuatan agar bisa melalui ini semua.

Di bawah sana, manusia-manusia barbar bolak-balik mencari keberadaannya. Kebingungan, karena seharusnya—atau setidaknya—yang dicari berada di sekitar sini. Padahal mereka hanya butuh mendongak ke atas dan sedikit lebih teliti memerhatikan, pastilah mereka akan menemukan sosok yang dicari.

Sementara pohon tempat Hasan bersandar, menjatuhkan buahnya secara tidak wajar. Mungkin karena gerakan-gerakan yang secara tidak sengaja ia lakukan. Ini yang membuat orang-orang barbar itu mesti melihat ke atas, dan mereka akhirnya menemukan sesuatu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status