Makan malam selesai, dan suasana rumah terasa hangat dengan canda Nayla dan senyum Mama Siska. Tapi saat kami hendak membereskan bekas makan, tiba-tiba terdengar ketukan keras di pintu depan.“Siapa tamu malam-malam begini?” tanya Mama Siska, tapi aku segera menghentikannya, jantungku berdegup kencang. Setelah pesan ancaman Alex kemarin, mungkin itu ulah Alex dan aku tidak ingin Mama Siska celaka.“Biar aku saja yang membukanya, Ma,” kataku, berjalan ke pintu. Aku membuka pintu secara perlahan, tapi tidak ada siapa-siapa. Jalanan di luar sepi, hanya suara angin dan lampu jalan yang redup.Aku memanggil-manggil, “Halo? Apa ada orang?” tapi tidak ada jawaban.Saat aku hendak menutup pintu, mataku menangkap kotak kecil di lantai, mirip paket ancaman dari Alex di kantor dulu. Tulisan tangan di atasnya bertuliskan namaku.Aku mengambil kotak itu, tanganku gemetar, dan menutup pintunya takut mereka melihatnya. Di dalamnya ada foto-foto—aku dan Alicia, tapi bukan foto biasa. Gambar-gambar
Pagi di kantor terasa berbeda saat aku melihat Liana di mejanya, rambutnya terikat rapi, tapi matanya masih menyimpan duka. Sarah mengatakan dia telah kembali setelah ayahnya meninggal, dan aku merasa bersalah karena mengabaikannya akhir-akhir ini.Aku mendekat, suaraku pelan, “Li, kamu baik-baik saja? Aku turut berduka cita atas kepergian Ayahmu.”Dia menoleh, tersenyum kecil, wajahnya terlihat lelah tapi tetap terlihat tegar.“Makasih, Raka. Ayah… tiba-tiba saja pergi. Ayah tekena serangan jantung,” katanya, suaranya gemetar. Dia bercerita bagaimana dia pulang ke kampung halamannya, merawat ibunya yang patah hati, dan menahan tangis di pemakaman sang Ayah. Aku mendengarkan, hati ini begitu tersentuh—kehilangan orang tua pasti sangat berat, dan aku tahu rasanya hidup tanpa keluarga. Selama bertahun-tahun ini aku sendiri, hingga aku menemukan keluargaku. “Aku yakin pasti kamu kuat, Li. Kalau kamu perlu apa-apa, bilang aku aja, ya,” kataku, tulus.Liana mengangguk, matanya berkaca-ka
Malam ini terasa sejuk saat aku melaju pulang dari apartemen orangtuaku, pikiranku penuh haru setelah perpisahan dengan Ayah, Ibu, dan Lila. Kalung Dupont di leherku terasa hangat, simbol keluarga yang kini jadi bagianku. Tapi saat berhenti di lampu merah, mataku menangkap sosok familiar di trotoar—Liana? Rambutnya terurai, wajahnya tampak bingung, seolah menunggu seseorang. Bukankah dia masih di kampung karena ayahnya meninggal? Aku mengerutkan dahi, hati ini terbelah.Akhir-akhir ini, aku sengaja menjauhi Liana, merasa tidak enak dengan Reza, yang kini justru acuh padanya. Tapi Liana, tetap saja tidak berubah walaupun aku acuh padanya. Dia memang keras kepala, tapi aku tidak bisa membalas perasaannya. Menerima perhatiannya hanya akan membuatnya semakin berharap, dan aku tidak ingin menyakitinya lebih jauh. Tapi melihatnya begitu kebingungan, hati ini tergelitik—meski aku tersakiti oleh Tiara, aku masih punya empati. Aku hampir turun dari motor untuk mendekatinya, tapi ojek online t
Jam makan siang tiba, dan Alicia mendekatiku di kantor, suaranya pelan.“Raka, kita makan siang di luar, aku mau bahas tentang Daniel. Bilang saja mau meeting, agar mereka tidak curiga.” Aku mengangguk, masalah ini cukup kita berdua saja yang tahu dan mungkin Alex masih mengawasi jika aku terlihat mencurigakan. Kami pamit pada mereka termasuk Claire, berpura-pura membawa dokumen proyek, dan melaju ke restoran kecil di pinggir kota, tersembunyi dengan bilik-bilik privat. Suasananya sepi, hanya beberapa pelanggan, cocok untuk obrolan rahasia.Kami memesan makanan dan jus, lalu Alicia mulai bercerita, matanya berbinar.“Semalem usahaku sukses, Raka. Aku sengaja memancing Daniel—aku bilang jika aku ingin putus, dan dia marah besar, ngomong kasar, bahkan mencoba menarik tanganku. Orangtuaku, yang sembunyi di ruang sebelah, langsung keluar. Daniel kaget, nggak bisa mengelak lagi. Ayahku marah, langsung putusin pertunangan. Daniel pergi dengan muka merah,” katanya, tersenyum lega.Aku ikut
Mama Siska tertawa kecil, "Dasar anak muda, nafsunya besar."Aku tersenyum nakal, "Jadi gimana aku dikasih gak?"Dia hanya tersenyum, itu menandakan jika dia juga menginginkannya. Aku segera membuka pakaianku, aku cium bibirnya dan aku remas buah dadanya. Badannya licin oleh sabun, benda pusakaku sudah sangat berontak sangat keras seperti baja.Aku membungkuk mencari sarang, aku masukkan benda pusakaku ke dalam sarangnya. Karena badannya penuh oleh sabun, hanya satu gerakan saja kita sudah menyatu."Ahh punya kamu gede banget Raka," Mama Siska merintih, tangannya mencengkram erat lenganku."Tapi kamu suka kan? Yang gede lebih enak dan puas." kataku tertawa puas.Dia pun tertawa kecil dan mencubit hidungku. Posisinya kurang nyaman, mungkin karena aku lebih tinggi. Akhirnya aku angkat tubuhnya, aku dorong tubuhnya sampai menyentuh dinding. Aku gerakan pinggulku secara perlahan sambil mencium bibirnya. Suara kucuran air, membuat suara hentakanku tersamarkan. Kita harus segera menyelesai
Malam ini, aku melaju pulang dari apartemen orangtuaku, angin Jakarta menyapu wajahku, membawa perasaan lega yang lama tak kurasakan. Menceritakan soal Tiara dan Alex kepada Ayah, Ibu, dan Lila seperti melepaskan beban berat dari pundakku. Dukungan mereka—kekhawatiran Ayah, pelukan Ibu, dan semangat Lila—membuatku yakin masalah ini akan selesai. Dengan koneksi Ayah, Alex tidak akan lolos, dan Tiara akan menyesal di ulang tahunnya nanti. Tapi pikiranku melayang ke pertanyaan mereka soal Alicia. Nada ingin tahu Ibu dan godaan Ayah seolah mengira aku punya hubungan dengannya. Aku menggeleng sendiri di bawah helm—yang kucintai hanyalah Mama Siska.Mama Siska, wanita yang selalu jadi pilar hidupku, yang pemaaf dan penuh kasih. Tapi aku tersentak membayangkan apa jadinya jika Ayah dan Ibu tahu aku mencintai mertuaku sendiri, yang usianya jauh lebih tua dariku. Apakah mereka akan merestuinya? Aku tahu Mama Siska berbeda—hatinya tulus, kehangatannya tak tergantikan—tapi dunia ini penuh penil
Langit Jakarta sore itu berwarna jingga, dan aku melaju ke apartemen orangtuaku, hati penuh kehangatan setelah baikan dengan Mama Siska pagi tadi. Motor berhenti di menara kaca yang megah, sekuriti menyapa dengan sebutan “Tuan Muda Raka,” membuatku tersenyum canggung.Di penthouse, Lila menyambutku dengan pelukan ceria. “Kak Raka, akhirnya dateng! Ibu sama Ayah udah nunggu!” katanya, menarikku ke ruang tamu.Aroma kopi dan kue Prancis memenuhi udara, sofa kulit dan jendela panorama menambah kemewahan.Ayah duduk di kursi besar, kemeja linennya rapi, sementara Ibu menyapa dengan senyum lembut, memelukku erat.“Raka, kamu pasti capek kerja seharian,” katanya, tangannya membelai pipiku.Aku tersenyum, merasa seperti anak kecil yang dimanjakan. Lila asyik menunjukkan foto-foto vila kemarin di ponselnya, dan aku duduk, menikmati kebersamaan yang masih terasa seperti mimpi.Ayah menatapku, matanya serius tapi hangat. “Raka, mungkin kita disini hanya tiga hari saja di Indonesia. Bisnis di Pa
Seperti malam kemarin, aku sulit untuk tidur. Hatiku belum tenang sebelum meminta maaf pada Mama Siska, aku harus mencari waktu yang tepat agar bisa berduaan dengannya.Pagi ini aku bangun tidur lebih awal dari biasanya, pukul lima pagi aku segera keluar dari kamar dan berniat ingin berolahraga dulu sebentar. Aku melangkah keluar kamar, berharap menemukan momen untuk bicara. Di dapur, cahaya lampu temaram menyala, dan Mama Siska sudah bangun, mengaduk teh di cangkir, wajahnya lembut tapi penuh beban. Ini kesempatanku.“Ma, bisa bicara sebentar?” tanyaku, suaraku pelan, berdiri di ambang pintu.Dia menoleh, matanya ragu, tapi mengangguk, menunjuk kursi di depannya. Aku duduk, menarik napas dalam, dan mulai berbicara. “Ma, soal di pasar… aku tahu Mama lihat aku pelukan dengan seorang wanita. Itu Bu Alicia, bosku. Mama mungkin belum pernah bertemu dengan dia. Dia nggak lebih dari atasan dan temen biasa, Ma. Hari itu, dia lagi patah hati—pacarnya ketahuan selingkuh. Dia menangis, Ma, dan
Aku berdiri di penthouse apartemen keluarga Dupont, jas Armani biru tua membalut tubuhku, kemeja Gucci terasa lembut di kulit, dan aroma Creed Aventus masih menempel. Rolex di pergelangan tanganku berkilau, sepatu Ferragamo mengkilap, dan kacamata hitam Ray-Ban terselip di saku. Aku memandang cermin, nyaris tidak mengenali pria tampan di depan—bukan Raka dari panti asuhan, tapi seseorang yang seperti keluar dari majalah model.Lila bertepuk tangan, “Kak Raka, kayak aktor Hollywood!” katanya, matanya berbinar. Ayah dan ibu tersenyum bangga, dan aku hanya tersipu, masih canggung dengan kemewahan ini.“Ayo, kita jalan-jalan sekarang melihat bisnis keluarga,” kata Ayah, mengambil kunci mobil. Aku menarik napas dalam, berbisik padanya, “Ayah, tolong cuma tunjukan saja tempatnya, jangan mengenalkan aku pada orang lain. Identitas ini masih rahasia, aku takut nanti mereka akan tahu sebelum waktunya.” Ayah mengangguk, matanya penuh pengertian, dan kami turun ke lobi, di mana Rolls-Royce Pha