“Pagi, Runa,” ucap Ezra sambil mengangkat tangan, wajahnya santai seolah tidak ada masalah dunia.
Aruna menghela napas, menahan senyum. “Kenapa kamu ada di sini? Biasanya kamu telat lima menit.”Ezra mengedikkan bahu. “Ya… aku pikir, kalau aku telat, kamu bakal kepikiran. Jadi aku datang lebih cepat.”Aruna menunduk, menahan rona merah di pipinya. “Kamu ini… bikin orang salah paham terus.”Ezra terkekeh. “Yaudah, biar aku yang salah. Yang penting kamu nggak sendirian.”Mereka berjalan masuk bersama. Beberapa murid berbisik, sebagian menatap dengan rasa penasaran, bahkan iri. Tapi Aruna hanya menegakkan punggungnya, sementara Ezra dengan santainya menaruh tangan di saku dan tetap di sisi Aruna.Waktu istirahat, Aruna duduk bersama Nadira dan teman sekelas lainnya. Ezra tanpa ragu menaruh nampannya di sebelah Aruna.“Eh, Ezra… biasanya kamu duduk sama cowok-cowok,” celetuk salah satu teman mereka.Ezra dengan santTepat saat itu, Raska datang sambil membawa beberapa buku. “Aruna, ini catatan tambahan kalau kamu mau. Bisa ngebantu buat ujian.”Aruna menerima dengan senyum tulus. “Makasih, Raska.”Ezra menatap Raska dengan wajah datar tapi tegang. “Nggak usah, Aruna udah cukup. Aku juga bisa bantu dia.”Raska hanya mengangkat alis sambil menahan tawa. “Santai, Ezra. Aku cuma kasih catatan.”Aruna bisa merasakan atmosfer dingin di antara keduanya. “Kalian ini… kayak anak kecil yang berebut mainan.”Ezra bersandar di kursi, tapi matanya tetap ke arah Raska. “Mainan? Bukan. Aku cuma nggak suka kalau ada orang yang sok peduli berlebihan.”Aruna menghela napas panjang. Dalam hatinya, meski kesal, ada rasa hangat yang tak bisa ia tolak Ezra benar-benar serius menjaga keberadaannya.Hari olahraga, kelas Aruna bermain basket. Raska kebetulan jadi kapten tim, dan ia sering memberi arahan pada Aruna.“Aruna, kamu di sayap kanan.
“Pagi, Runa,” ucap Ezra sambil mengangkat tangan, wajahnya santai seolah tidak ada masalah dunia.Aruna menghela napas, menahan senyum. “Kenapa kamu ada di sini? Biasanya kamu telat lima menit.”Ezra mengedikkan bahu. “Ya… aku pikir, kalau aku telat, kamu bakal kepikiran. Jadi aku datang lebih cepat.”Aruna menunduk, menahan rona merah di pipinya. “Kamu ini… bikin orang salah paham terus.”Ezra terkekeh. “Yaudah, biar aku yang salah. Yang penting kamu nggak sendirian.”Mereka berjalan masuk bersama. Beberapa murid berbisik, sebagian menatap dengan rasa penasaran, bahkan iri. Tapi Aruna hanya menegakkan punggungnya, sementara Ezra dengan santainya menaruh tangan di saku dan tetap di sisi Aruna.Waktu istirahat, Aruna duduk bersama Nadira dan teman sekelas lainnya. Ezra tanpa ragu menaruh nampannya di sebelah Aruna.“Eh, Ezra… biasanya kamu duduk sama cowok-cowok,” celetuk salah satu teman mereka.Ezra dengan sant
Pagi itu, langit biru cerah, udara terasa lebih ringan meski gosip di sekolah belum benar-benar reda.Aruna datang ke gerbang sekolah lebih awal, tapi ternyata Ezra sudah menunggunya.“Pagi, Runa,” ucap Ezra sambil mengangkat tangan, wajahnya santai seolah tidak ada masalah dunia.Aruna menghela napas, menahan senyum. “Kenapa kamu ada di sini? Biasanya kamu telat lima menit.”Ezra mengedikkan bahu. “Ya… aku pikir, kalau aku telat, kamu bakal kepikiran. Jadi aku datang lebih cepat.”Aruna menunduk, menahan rona merah di pipinya. “Kamu ini… bikin orang salah paham terus.”Ezra terkekeh. “Yaudah, biar aku yang salah. Yang penting kamu nggak sendirian.”Mereka berjalan masuk bersama. Beberapa murid berbisik, sebagian menatap dengan rasa penasaran, bahkan iri. Tapi Aruna hanya menegakkan punggungnya, sementara Ezra dengan santainya menaruh tangan di saku dan tetap di sisi Aruna.Waktu istirahat, Aruna duduk bersama N
Kerumunan kembali gaduh antara yang kaget, ragu, ada yang masih menuduh. Tapi aura Aruna dan Ezra yang berdiri bersebelahan, saling menggenggam tangan di bawah cahaya api unggun dan kembang api terakhir, menciptakan momen yang begitu kuat.Beberapa siswa yang semula berteriak kini mulai diam. Ada yang saling berbisik, bingung, bahkan mulai meragukan gosip itu.Raska yang berdiri di samping, akhirnya maju setengah langkah. Dengan senyum tipis namun tegas, ia berkata:“Kalian semua tahu Aruna. Kalian lihat sendiri siapa dia di sini, setiap hari. Masa kalian rela percaya kebohongan murahan tanpa bukti lain?”Kata-kata itu makin memecah kebisuan.Aruna menunduk sebentar, air matanya jatuh tapi kali ini bukan karena putus asa, melainkan karena ia merasa kuat untuk pertama kalinya.“Aku tidak akan lari lagi. Tidak dari diriku sendiri, tidak dari mereka, dan tidak darinya…”Ia menggenggam tangan Ezra lebih erat, menatap api unggun y
Ezra bergerak cepat, berdiri di depan Aruna, melindunginya dari tatapan-tatapan penuh tuduhan.“Berhenti! Jangan percaya begitu saja!” suaranya tegas, tapi tak cukup menghentikan bisik-bisik yang makin membesar.Raska yang ada di kerumunan maju, mencoba menenangkan siswa lain.“Tunggu dulu, ini belum tentu benar—”Tapi seseorang menyela lantang:“Foto nggak mungkin bohong!”Suasana menjadi kacau. Beberapa siswa menyalakan ponsel mereka, memotret foto itu, menyebarkan ke media sosial. Gosip berubah jadi gelombang fitnah yang tak terbendung.Aruna merasakan dunia mengecil. Suara musik festival berganti jadi gema yang memekakkan. Wajah-wajah yang tadinya tersenyum kini menatapnya seperti monster.“Semua orang tahu. Semuanya terbongkar. Aku… kotor.”Air mata hampir pecah, tapi Aruna menahannya mati-matian. Ia mundur selangkah, lalu selangkah lagi, sampai punggungnya menyentuh bahu Ezra.“Aruna…” Ezra menoleh, sua
Musik tradisional bercampur dengan lagu modern dari panggung siswa. Beberapa pasangan mulai menari di dekat api unggun. Ada yang saling menggenggam tangan, ada juga yang duduk berdekatan menikmati kembang api kecil yang dibagikan panitia.Ezra tiba-tiba berbalik menatap Aruna.“Mau ikut?”“Hah? Apa?”“Menari. Atau paling nggak, jalan ke dekat api. Kamu kelihatan pengen, tapi nahan.”Aruna refleks menyangkal. “Nggak ah. Aku malu.”Ezra tidak menjawab panjang. Ia hanya mengulurkan tangan. Matanya menatap dalam, seolah berkata: “Aku di sini. Kamu nggak sendirian.”Aruna menatap tangan itu lama. Jantungnya berdebar. Semua gosip, semua trauma, seolah memudar saat ia akhirnya meletakkan tangannya di genggaman Ezra.Mereka berjalan ke dekat api. Kilau cahaya membuat wajah Aruna bersinar, dan Ezra tidak bisa mengalihkan pandangan.Di antara kerumunan yang tertawa dan bersorak, mereka berdua seperti punya dunia sendiri.“A