Share

Terikat Kontrak
Terikat Kontrak
Penulis: X ChaLvin

Sebuah Rencana

“Pak, saya sudah melaksanakan apa yang Anda perintahkan.” Hendra menyampaikan pesan kepada majikannya.

Pria berwujud setengah dewa itu bergeming beberapa saat. Mata elangnya tetap tertuju pada layar laptop di hadapannya seolah tidak mendengar ucapan Hendra. Wajah datar andalannya tak pernah berubah di berbagai situasi, tetap menakutkan sekalipun pria itu tidak dalam keadaan marah. Dhananjaya Abraham, si pemilik aura mematikan bagi siapa pun meski hanya mendengar namanya saja.

“Siapkan keperluan akad untuk lusa.” Dhananjaya memberikan perintah baru.

“Lusa, Pak?” Hendra ingin memastikan pendengarannya. Sepertinya ia sedang bermimpi, bagaimana bisa menyiapkan pernikahan dalam waktu secepat itu.

“Ya.” Dhananjaya mengangguk singkat.

“Tanpa resepsi?” Hendra tampak tak percaya, melongo seperti orang bodoh.

Dhananjaya mengangkat wajahnya, menatap orang kepercayaannya yang sedang memasang wajah konyol. “Apa gunanya resepsi? Aku hanya butuh bayi, bukan istri!”

“Ya, tapi—”

“Di mana dia?” Dhananjaya bangkit dari duduknya, bersiap menemui wanita yang akan ia nikahi.

“Di kamar tamu, Pak. Tapi, sebaiknya Anda tidak perlu melihatnya untuk saat ini.” Hendra mengkhawatirkan sesuatu.

“Kenapa?” Dhananjaya menatap waspada.

“Begini, Pak, saya ingin menyampaikan bahwa perempuan yang saya bawa bukanlah perempuan cantik dan berasal dari keluarga kaya. Ma—maksud saya, dia orang miskin yang sedang butuh banyak biaya untuk pengobatan ayahnya.” Hendra menunduk dalam, tak berani bertatap muka.

“Tidak masalah. Bagiku, siapa dia bukanlah hal yang penting.” Dhananjaya terdengar masa bodoh dengan ungkapan Hendra. Lagi pula, yang ia inginkan hanyalah bayi, bukan istri.

“Saya khawatir Anda mual melihatnya.” Hendra bergumam pelan.

Dhananjaya menghentikan langkahnya, berbalik menatap Hendra yang sedang menundukkan kepalanya. “Apa dia semenjijikkan itu?” tanyanya kesal.

“Pak Jay tidak banyak bertemu dengan seorang perempuan. Adapun perempuan yang pernah Pak Jay temui, mereka dari kalangan atas dan tentu sangat cantik.” Hendra bertutur apa adanya, wajahnya terlihat tak enak.

“Pak, saya terpaksa memilih perempuan yang saya bawa saat ini. Pak Jay minta saya mencarikan perempuan secepatnya. Tapi jika Pak Jay tidak menyukainya, tolong jangan hukum saya.” Hendra ingin berkompromi sebelum majikannya itu benar-benar murka dan membuat pekerjaannya terancam.

“Hari ini kamu terlalu banyak bicara, Hendra.” Dhananjaya mengeluh. “Bawa aku padanya,” ucapnya kemudian.

“Baik, Pak.” Hendra mengangguk sopan, lalu berjalan di belakang tubuh kekar majikannya.

Di dalam kamar yang cukup luas, seorang wanita sedang menundukkan kepalanya, melamun. Lantai yang sedang dipandanginya seakan-akan sebuah layar yang menggambarkan kehidupannya di masa mendatang, tepatnya setelah menikah dengan pria yang tidak dikenalinya. Indah Maharani, wanita berusia dua puluh tahun itu tak henti menangis walau tanpa suara.

Wanita yang tidak memiliki daya tarik sama sekali itu sudah menandatangani sebuah kontrak beberapa saat yang lalu. Kontrak tersebut menuntutnya untuk melahirkan keturunan Abraham, dan akan diceraikan setelah melahirkan. Sedangkan Indah sendiri, menuntut calon suaminya untuk membiayai perawatan sang ayah yang saat ini diambang kematian dan membutuhkan biaya sangat besar.

Kondisi ayahnya benar-benar sangat buruk. Penyakit yang dideritanya bukan hal sepele, melainkan komplikasi jantung. Tidak adanya biaya membuat pihak rumah sakit tak dapat menanganinya. Besarnya biaya ditentukan fasilitas rumah sakit, banyaknya pembuluh darah yang harus diganti, tenaga medis yang dibutuhkan, serta teknologi yang digunakan, dan masih banyak lagi.

Takdir mempertemukannya bersama Hendra. Dalam keadaan genting itu, Indah menawarkan dirinya yang tak pernah terjamah kepada Hendra, pria yang memang senang menghabiskan malamnya bersama seorang wanita. Namun, yang terjadi tidak sesuai rencana awal, Indah malah akan dinikahi Dhananjaya.

“Indah, beri sapaan kepada Pak Jay.” Hendra memerintah, persis seperti majikan kepada bawahannya.

“Pak.” Indah mengangguk kecil dalam kebingungan.

“Indah berasal dari Kota Probolinggo. Dia datang ke Jakarta bersama ayahnya untuk mencari ibunya. Tapi, kesehatan ayahnya memburuk dan memerlukan tindakan medis secepatnya, Pak.” Hendra menceritakan sekilas tentang Indah.

Tanpa mengatakan apa pun, Dhananjaya mundur satu langkah, lalu berbalik dan keluar dari kamar tersebut. Hendra ada di belakangnya dengan hati dan pikirannya yang sangat kacau. Ia sudah membayangkan apa yang akan dikatakan majikannya itu. Menyalahkannya karena memilih Indah yang jauh dari kata layak untuk seorang Dhananjaya Abraham.

Tinggi Indah diperkirakan 155cm, sementara tinggi Dhananjaya mencapai 190cm, tentu membuat keduanya sangat mencolok. Belum lagi tubuh Indah sangat kurus, bertolak belakang dengan tubuh Dhananjaya yang sangat berkharisma dihiasi otot-otot kekar, nyaris sempurna. Indah benar-benar kecil untuk Dhananjaya, jauh dari kata cocok untuk bersanding.

“Hendra, sebenarnya aku tidak masalah dengan wajahnya, tapi tinggi badannya itu ... apa kamu mau anakku seperti kerdil?” Dhananjaya memprotes saat memasuki ruangannya kembali.

“Maaf, Pak. Beri saya waktu untuk mencari perempuan lain. Saya akan cari perempuan yang sangat cantik bahkan artis sekalipun. Saya yakin, banyak yang menginginkan Anda. Syaratnya hanya satu, yaitu waktu.” Hendra merasa tak enak. Tanpa menyalahkannya secara langsung, ia sudah merasa bersalah duluan.

“Lupakan.” Dhananjaya tak ingin pusing.

“Maksudnya, Pak?” Hendra sedikit menegakkan kepalanya, tak mengerti apa yang diinginkan Dhananjaya. Majikannya itu ingin ia mencari wanita lain, atau menerima Indah.

“Aku ingin menikah secepatnya. Bawa dia ke bawah setengah jam lagi.” Dhananjaya memberikan keputusan terakhirnya.

“Baik, Pak.” Hendra menghela napas lega.

Pria tampan dan kaya raya selalu identik dengan wanita cantik di sampingnya. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Dhananjaya Abraham. Pria yang sudah tiga tahun menjadi seorang pemimpin perusahaan keluarga itu selalu sibuk dengan bisnisnya yang terus ia kembangkan. Waktunya habis untuk mengurus perusahaannya, bahkan di hari libur sekalipun. Dalam pikirannya, hanya ada kata bisnis, bisnis, dan bisnis.

Selain terkenal tegas, disiplin, kejam, penyendiri, irit bicara, ia juga dikenal sebagai pria tak normal. Di usianya yang sudah menginjak dua puluh sembilan tahun, jangankan menikah, memiliki kekasih saja tidak. Baginya, takdir adalah penentu segalanya, tidak perlu dipikirkan apalagi dicita-citakan dari sekarang. Jika ia harus menikah di suatu hari nanti, memiliki istri dan anak, maka terjadilah. Ia hanya tak ingin pusing dengan bagaimana caranya jatuh cinta, mendekati seorang wanita, lalu menikahinya.

Namun, kenyamanannya untuk tetap membujang terusik saat kantor Abraham Group kedatangan seorang pria beberapa hari yang lalu. Pria berusia tujuh puluh tahun itu tampak perkasa meski wajahnya hampir penuh dengan keriput. Wibawanya sebagai pendiri Abraham Group tetap sama seperti beberapa puluh tahun yang lalu. Ia adalah Kakek Dhananjaya, Sanjaya Abraham.

“Jay, Kakek ingin membicarakan sesuatu.” Sanjaya menghentikan ucapannya sejenak, menatap netra sang cucu dengan saksama. “Kakek ingin cicit darimu. Segeralah menikah.”

“Kakek bercanda?” Dhananjaya menatap penuh kewaspadaan seolah kakeknya itu memintanya untuk berperang melawan negara.

“Kakek tidak bercanda.” Sanjaya menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Kamu cucu kesayangan Kakek. Kakek sangat percaya padamu bahkan melebihi ayahmu sendiri. Tapi, Kakek masih ragu dengan kenormalanmu,” cibirnya sinis.

“Aku tidak mau menikah.” Dhananjaya langsung memberikan jawaban tegas di saat itu juga.

“Apalagi yang kamu mau? Kekayaan sudah kamu dapat, kehormatan yang tinggi juga sudah melekat di namamu. Dengar, waktu Kakek mungkin sudah tidak banyak lagi. Kakek sudah sangat tua.

“Jika kamu mau memberi Kakek cicit, maka setengah dari harta yang Kakek punya akan menjadi milikmu, sedangkan setengahnya lagi akan dibagi rata untuk anak-anak Kakek. Dengan itu, kamu akan memiliki saham terbesar dan tetap memimpin perusahaan.” Sanjaya berkata panjang lebar, nadanya terdengar memohon.

“Aku tidak tertarik.” Dhananjaya menggeleng pelan, wajahnya benar-benar tak peduli dengan iming-iming yang diberikan sang kakek.

“Itu karena kamu sudah memimpin perusahaan, Jay. Jika Kakek mati, kamu tidak akan dapat apa pun selama ayahmu masih hidup. Abraham Group akan jatuh ke tangan Haidar dan kamu akan ditendang dari perusahaan.” Sanjaya meraung dengan nada tinggi. Matanya bahkan melotot, tangannya bergerak-gerak secara tak beraturan seolah geram dengan sikap tenangnya Dhananjaya.

“Aku tahu.” Dhananjaya mengangguk paham, tahu hal itu akan terjadi.

“Kamu yakin dengan keputusan itu?” Sanjaya ingin memastikan sekali lagi, menatap cucunya dalam-dalam.

Dhananjaya diam beberapa detik, lalu bertanya, “Jika aku bisa menawar, adakah cara lain selain cicit dariku?”

“Tidak ada.” Sanjaya menjawab dengan cepat dan tegas. “Sebelum Kakek mati, Kakek ingin pastikan bahwa kamu laki-laki normal. Jangan lupakan rumor yang beredar tentang kamu memiliki kelainan. Apa kamu suka sejenis?” cibirnya tak enak didengar bagi telinga siapa pun.

“Beri aku waktu, Kek.” Dhananjaya tidak bisa mengambil keputusan saat itu juga.

“Hamil itu bukan waktu yang sebentar. Kakek tidak mau menunggu lebih lama lagi.” Sanjaya kehabisan kata untuk membujuk, ia pun memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu.

Sanjaya tidak asal membual. Jika dirinya meninggal, maka perusahaan Abraham Group akan jatuh ke tangan anak tertuanya, Haidar, Kakak dari Ayah Dhananjaya. Haidar sempat menjabat sebagai pemimpin perusahaan selama sepuluh tahun, dan selama itu pula perusahaan selalu dalam masalah hingga merugi besar. Puncaknya, Sanjaya mununjuk Dhananjaya untuk menggantikan Haidar dan perusahaan berangsur-angsur pulih bahkan lebih sukses dari sebelumnya.

Oleh karena itu, Dhananjaya memikirkan bagaimana nasib perusahaan yang sudah susah payah kakeknya bangun selama berpuluh-puluh tahun yang lalu. Walau bukan haknya, tak mungkin Dhananjaya akan membiarkan perusahaan keluarganya jatuh ke tangan sang paman yang artinya kehancuran sudah dipastikan akan terjadi.

Tidak ada pilihan lain selain menuruti permintaan sang kakek, yaitu memberikannya cicit semata-mata agar dirinya tetap menjadi seorang pemimpin perusahaan. Sebenarnya Dhananjaya bukanlah orang serakah. Jika bisa, ia lebih setuju kakak sepupunya yang memimpin perusahaan. Apa boleh buat, kakak sepupunya lebih tertarik menjadi seorang dokter dan tidak berniat untuk ikut andil ke dalam perusahaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status