LOGINAsri tak pernah menyangka pernikahannya akan menjadi neraka. Dicap pembawa sial, dihina, dan dijadikan babu oleh keluarga suaminya sendiri, ia terperangkap dalam hubungan toksik yang menggerogoti jiwanya. Luka batin itu dipendam Asri dalam diam, di bawah atap yang sama dengan para pencaci. Namun, di titik terendahnya, takdir berbalik. Sebuah peristiwa tak terduga mengubah segalanya, mengangkat Asri ke puncak kesuksesan yang membuat semua orang terkesima. Mereka yang dulu mencibir, kini merapat penuh harap. Tapi Asri yang lama telah mati. Ia bangkit, tangguh, dan siap membalas dendam setimpal.
View More“Pembawa sial, bisakah kau lihat ada apa di sudut ruangan ini?”
Asri yang tengah sarapan jam 12 siang, menoleh ke arah sudut ruangan dapur, sesuai arahan tangan ibu mertuanya, bu Tami. Sebuah tumpukan pakaian kotor menggunung di sana. “Biar aku habiskan dulu makanannya, Bu. Aku sangat lapar karena dari pagi aku belum makan, Bu. Aku sibuk mengerjakan semua. Kasihan janin yang ada di dalam perutku, pasti dia juga merasa lapar,” sahut Asri. Tatapan tak suka, selalu terlempar pada wanita yang beberapa bulan ini telah sah menjadi menantunya. Dari awal bu Tami memang tidak menyetujui pernikahan antara putranya dan juga Asri. Namun, Dirga tetap bersikeras ingin menikahi Asri yang berasal dari keluarga miskin. “Jangan jadikan kehamilan kamu alasan untuk bermalas-malasan. Wanita hamil itu sudah seharusnya perbanyak gerak untuk memperlancar persalinan. Setelah ini kamu cuci baju-baju itu, terus kamu juga harus bersihkan rumah ini. Saya tidak mau rumah ini berantakan,” titah bu Tami. Asri mengangguk, suapan demi suapan makanan ke dalam mulutnya, ibarat jarum yang siap menghunus ke segala sisi tenggorokannya. Matanya tidak bisa menahan tangis akibat ucapan pedas ibu mertuanya. Bu Tami lalu pergi dari hadapan Asri. Terlihat Dirga, suami Asri baru saja pulang dari berjualan. Tampak lelaki itu tengah berjalan sambil menghitung sejumlah uang hasil jualan baju di toko milik ibunya. Asri menyudahi sarapannya, lantas ia berjalan menghampiri Dirga. “Mas, kamu sudah pulang? Wah … jualan hari ini sepertinya laris,” ucap Asri. Dirga tidak menjawab, ia pun duduk di sofa sambil terus menghitung lembaran uang di tangannya. “Mas!” panggil Asri, ia pun duduk di samping Dirga. “Hmmm!” sahut Dirga, masih tetap fokus pada uang itu, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Asri. Dari arah kamar yang pintunya baru saja terbuka, muncul bu Tami lalu mendekati Dirga. “Kamu sudah pulang, Dir? Bagaimana penjualan hari ini?” tanya bu Tami. Dirga mengangkat wajahnya dengan senyuman merekah di bibirnya. Ia pun memperlihatkan uang itu kepada ibunya. “Hari ini jualannya ramai, Bu. Lihat, ini!” Dirga kemudian memberikan sebagian besar uangnya kepada bu Tami. “Ini untuk Ibu, dan untuk kebutuhan rumah ini,” ujar Dirga. Asri pun ikut tersenyum mendengar ucapan Dirga, bahwa jualan hari ini laris. Dari luar terlihat kedua keponakan Dirga yang baru saja pulang sekolah. Mereka adalah anak kembar Ferdi kakak kandung Dirga dan Debi. Kedua keponakannya berlari mendekat ke arahnya. Sehingga fokus Dirga beralih kepada mereka. “Wah … Om Dirga banyak sekali uangnya. Aku mau beli boneka dong, Om,” ujar Rina, salah satu anak kakaknya Dirga. Dirga kemudian kembali menghitung uangnya, lalu memberikan sebagian uang kepada kedua keponakannya. “Ini buat kalian beli boneka,” ujar Dirga. “Terima kasih, Om.” ucap kedua keponakan Dirga, lalu mereka masuk ke dalam kamar. Asri mengusap punggung tangan Dirga. Lantas ia kembali menengadahkan tangannya, meminta uang bagiannya pada Dirga. “Kalau buat aku mana, Mas?” tanya Asri. Dirga kembali menoleh ke arah Asri. Lantas memberikan uang lembaran berwarna hijau sebanyak satu lembar kepadanya. Asri menatap datar uang 20 ribu dari Dirga. Tidak habis pikir kenapa Dirga hanya memberikannya uang paling kecil kepadanya. Baru saja Asri hendak membuka mulut, ingin protes kenapa ia hanya diberi uang paling kecil, sementara ibu dan keponakannya lebih besar. Namun, Dirga segera bersuara. “Dengar, dia ibuku,” ucap Dirga dengan nada tegas, tangannya mengepal keras. Matanya menatap tajam ke arah Asri, napasnya mulai memburu seiring emosi yang mengalir. Dirga seakan tahu isi pikiran Asri. “Ibu yang melahirkanku ke dunia ini. Ibu yang pernah mengurusku hingga aku bisa sekolah tinggi,” lanjutnya. “Menikah denganmu? Aku malah sial. Kamu tahu kan, aku langsung dipecat setelah menikah denganmu?!” Deg! Jantung Asri berdetak lebih kencang, dadanya terasa sesak. Tak terasa wajahnya memerah menahan tangis dengan bibir gemetar. Lalu, Dirga menatap ibunya, “Tapi Ibuku yang membuatku bangkit, dengan mempercayakan usaha toko bajunya padaku!” Bu Tami tampak tersenyum, ia mengusap punggung Dirga. “Sekarang, kamu tidak usah protes dengan berapa pun uang yang aku beri buat kamu. Soal Rina dan Rani, mereka keponakanku. Kamu jangan coba-coba melarangku memberikan uang pada mereka!” “Terima kasih, Nak. Kamu selalu membuat Ibu bangga sama kamu. Tapi … jangan seperti itu sama istri kamu. Dia kan lagi hamil,” timpal bu Tami. Asri hanya melirik sekilas ke arah ibu mertuanya. Ucapannya memang manis jika di depan Dirga. Namun, jika di belakangnya, perangainya seketika akan berubah kasar. “Tega kamu ngomong seperti itu sama aku, Mas!” Asri berdiri lalu berlari ke dalam kamarnya. Ia menumpahkan tangisnya di dalam sana sambil memegangi uang 20 ribu dengan tangan bergetar. Bagaimana bisa, sikap Dirga berubah seperti itu. Dirga yang dulu ia kenal baik, kini perangainya berubah setelah ia dipecat dari pekerjaannya. *** Malam itu, Asri dan Dirga tengah duduk berdua sambil menyaksikan acara televisi. Lalu dari arah pintu depan, muncul bu Tami dan Debi dari luar sambil membawa satu buah kantong kresek berwarna putih di sebelah tangan Debi. Kedua wanita itu pun duduk di dekat Dirga dan Asri. “Nak, kamu tidak usah masak, ya. Ibu sudah membeli makanan untuk makan malam kita semua,” ujar bu Tami, nada bicaranya begitu lembut. Asri hanya mengangguk sebagai jawaban. “Wah … sepertinya Ibu dapat kiriman uang lagi dari ayah. Em … kapan ayah pulang, Bu?” tanya Dirga. “Iya, tapi ayah kamu belum bisa pulang. Bosnya belum memberikannya waktu untuk cuti. Tapi tidak apa-apa, yang penting ayah kamu tidak lupa sama kewajibannya,” jawab bu Tami. Asri bisa mencium aroma harum masakan dari dalam kantong kresek itu. Perutnya merasa lapar, lantas ia pun hendak membawanya untuk disiapkan di ruang makan. “Biar aku saja yang siapkan!” Debi menepis tangan Asri, lalu membawa kresek itu ke belakang. Asri menatap lurus tangannya yang terulur, mengurungkan diri saat Debi lebih dulu mengambil makanan itu dari meja. Asri lalu berdiri dan pergi ke ke belakang untuk buang air kecil dan mencuci tangan. “Ye … makan!” Terdengar kedua keponakan Dirga berteriak gembira dari ruang makan. Selesai membasuh tangan, Asri pun berjalan ke ruang makan, untuk bergabung bersama yang lain. Namun, di sana Asri tidak mendapati Dirga dan yang lain. Hanya ada Rina dan Rani yang ada di sana. Asri pun kembali ke ruangan di mana Dirga dan yang lain berada. Namun, langkahnya sesaat terhenti dengan tubuh berdiri mematung, saat melihat Dirga tengah duduk bersebelahan dengan seorang wanita asing.“Rain!” teriak Asri dan Ello.Di dalam gubuk tersebut, Rain tengah duduk di samping tubuh terbaring seorang lelaki dewasa.Lalat-lalat tampak berkerumun di ruangan itu. Ya, Asri bisa melihatnya dengan jelas. Lalat-lalat hijau itu tengah mengerubungi tubuh lelaki itu.Menahan mual, Asri dan Ello masuk ke dalam gubuk itu untuk menghampiri Rain.“Rain, kamu sedang apa di sini? Siapa dia?” tanya Ello.Asri memeluk Rain, menciumi wajahnya dengan tangisan haru.Di tempat itu pula, terdapat banyak kantong kresek berisi makanan dan obat. Ada beberapa di antaranya makanan itu telah dikerumuni belatung. Membuat Asri teringat akan obrolannya dengan pemilik warung tadi. Apakah mungkin anak yang dimaksud adalah Rain?Rain menoleh ke arah lelaki itu.“Itu Papa!” jawab Rain.Asri mengernyitkan dahinya, lantas Ello memastikan siapa lelaki yang dipanggil papa oleh Rain tersebut.Tubuh Ello seketika lemas, melihat wajah yang cukup ia kenali.“Sayang, dia Dirga!” ucap Ello.Asri terkejut, lantas ia pun
“Jangan sedih, kita pasti bisa menemukannya. Gunakan nalurimu, karena kamu Ibunya,” imbuh Ello.Setelah dokter mengizinkan pulang, Ello memulai pencarian Rain. Walaupun Asri telah melarangnya, dan menyuruhnya untuk istirahat. Namun, Ello bersikeras ingin mencari anak itu hingga berhasil ditemukan.“Rain, di mana kamu, Nak? Mama kangen sama kamu,” gumam Asri.Keluarganya pun berpencar mencari keberadaan Rain. Mereka berkelompok menjadi beberapa bagian, dan akan saling menghubungi jika ada kemungkinan Rain ditemukan.“Semua ini gara-gara Reno. Aku tidak akan pernah memaafkannya,” ujar Asri.“Sabar, Sayang. Kita pasti bisa menemukannya,” sahut Ello.Ello mengusap bahu Asri, mereka terus berjalan menyusuri jalanan yang cukup sepi. Sengaja mereka tidak membawa kendaraan, mereka ingin menyisir tempat tersebut tanpa terlewati sedikit pun.“Sudah jauh kita berjalan, tapi anak kita belum ketemu, Mas. Aku khawatir, selama ini dia makan apa, tidur di mana, dan … apakah dia ketakutan dan kedingin
Gerakan tangan Asri berhenti dengan tiba-tiba . Terdiam dengan tatapan tak percaya. Terasa mimpi. Namun, ini nyata.Matanya menatap tubuh Ello, lalu beralih menatap petugas pemandi jenazah yang tengah sibuk membersihkan jenazah Ello.“Pak, berhenti!” pinta Asri.Petugas pemandi jenazah itu berhenti, menatap heran ke arah Asri.“Kenapa, Bu?” tanyanya.“Suamiku masih hidup, detak jantungnya masih terasa. Tolong hentikan, bawa kembali ke ruangan tadi,” jawab Asri.Kedua petugas rumah sakit itu saling melempar pandang.“Saya yakin, Pak. Coba sentuh dada suami saya. Saya … merasakan jantungnya masih berdetak. Demi Tuhan, saya tidak bohong,” lanjut Asri.Salah satu petugas yang memandikan Ello pun menuruti permintaan Asri. Menyentuh tubuh Ello di bagian dada.Matanya terbelalak tak percaya. Lantas melirik ke arah temannya, mengangguk kecil sebagai isyarat bahwa perkataan Asri memang benar adanya.“Benar kan, Pak?” tanya Asri.“Ya, sepertinya suami Ibu mengalami mati suri. Sebaiknya kita baw
“Mas!” gumam Asri.Semua yang ada di ruangan itu menoleh. Asri menatap satu persatu keluarga Ello yang tengah menatapnya dengan derai air mata.“Apa yang terjadi?” tanya Asri dengan bibir gemetar.Tubuhnya mematung, degup jantung yang tiba-tiba bertalu hebat. Kemudian lemas saat Erina berbicara dengan suara yang cukup lantang.“Ke mana saja, kamu? Puas kamu melihat anakku terbujur kaku seperti ini?!” sentak Erina.Deg!Jantung Asri serasa berhenti berdetak detik itu juga. Begitu juga dengan Gala, wajahnya memucat saat mendengar kenyataan, bahwa kakaknya telah tiada.“Mas Ello meninggal?” tanya Asri.“Memangnya apa lagi? Kenapa kamu pergi? Kenapa kamu meninggalkan anakku? Lihat dia, dia pergi meninggalkanku, meninggalkan kami semua. Ini semua gara-gara kamu!” Erina menunjuk-nunjuk ke wajah Asri.“Mami, Mami, tenang dulu, Mam. Jangan emosi, kita berikan kesempatan dulu buat Mbak Asri untuk melihat jenazah Mas Ello untuk yang terakhir. Mami duduk dulu!” Nabila membawa Erina ke sofa.Asri












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews