Share

Keputusan Dhananjaya

“Ayah, Ibu, aku ingin mengumumkan sesuatu malam ini.” Dhananjaya menatap kedua orang tuanya silih berganti. “Lusa, aku akan menikah,” ucapnya santai.

“Apa? Jay, sejak kapan kamu bercanda seperti ini? Tidak lucu!” Basuki jelas tak percaya, menggelengkan kepalanya dengan kesal.

“Aku tidak bercanda. Calon istriku sudah ada di rumah ini,” sanggah Dhananjaya tegas, nadanya terdengar menantang untuk membuktikan ucapannya.

“Apa? Siapa dia?” Maria tercengang, menoleh ke sembarang arah seolah mencari sosok wanita yang putranya maksud.

“Aku umumkan, aku tidak mau mendengar penolakan dari Ayah dan Ibu perihal perempuan yang akan aku nikahi. Siapa pun dia, keluarganya, kastanya, aku tidak peduli dan aku mau kalian setuju dengan keputusanku.” Suara Dhananjaya begitu menggema bagi telinga siapa pun.

Namun, orang tuanya tahu bagaimana sikap Dhananjaya terhadap wanita. Tak mungkin pria itu ingin menikah secara tiba-tiba seperti ini. Jika memang itu yang diinginkan Dhananjaya, permasalahannya kini adalah siapa wanita yang akan dinikahinya.

“Jika perempuan yang kamu pilih memenuhi syarat untuk menjadi menantu Abraham, Ibu tidak keberatan. Tapi jika kamu pilih perempuan sembarangan hanya karena mau memenuhi keinginan kakekmu, itu salah.” Maria menentang keras jika Dhananjaya asal-asalan memilih wanita.

“Pernikahan akan dilaksanakan lusa atau tidak sama sekali, sampai kapan pun. Kalau begitu, Ibu yang putuskan.” Dhananjaya tak main-main dengan ucapannya. Jika ada yang menentang keputusannya untuk menikahi Indah, maka ia tak ingin diganggu dengan kalimat pernikahan apalagi dipaksa di masa mendatang.

“Jawab pertanyaan Ibu, siapa perempuan itu?” Maria mengulangi pertanyaan yang belum juga dijawab sang putra.

“Jay, jangan terburu-buru. Pikirkan dengan matang. Pernikahan hanya sekali seumur hidup,” pesan Basuki sekaligus memperingati.

“Aku sudah putuskan untuk talak dia jika dia sudah melahirkan anakku. Hanya itu yang Kakek mau, cicit.” Dhananjaya bersungut-sungut, rahangnya mengeras diiringi kilatan amarah di wajahnya ketika mengingat permintaan Sanjaya yang sangat tidak masuk diakalnya.

“Ibu yakin, kamu tidak mencintainya, 'kan?” Maria tersenyum kecut, terlihat sedang mengejek keputusan Dhananjaya yang sembarangan.

“Aku bahkan tidak kenal,” jawab Dhananjaya enteng, tak merasa ada yang salah akan hal itu.

Maria mengerjapkan matanya guna meredakan makian yang ingin sekali ia serukan. Sungguh, ia sedang tidak ingin berdebat dengan putranya yang sangat keras kepala melebihi siapa pun termasuk dirinya.

“Jay, ini tidak benar. Kamu tidak boleh menikah dengan perempuan sembarangan. Kamu adalah citra keluarga besar Abraham. Apa yang akan dikatakan publik kalau kamu menikah dengan perempuan asing?” Maria jelas membantah rencana sang putra.

“Pernikahan tanpa resepsi, tidak perlu mengundang siapa pun. Aku hanya tidak mau punya keturunan di luar pernikahan. Itu saja,” ujar Dhananjaya memutuskan sendiri jalan hidupnya.

“Seharusnya Ayah dan Ibu mendukungku. Setidaknya, aku masih ada sisi baik untuk menyelamatkan perusahaan dengan permintaan konyol Kakek yang ingin keturunan dariku. Tapi tidak apa-apa, tidak perlu ada pernikahan. Ingat baik-baik ucapanku ini. Di masa depan, jangan pernah singgung aku tentang pernikahan. Aku akan menikah, kalau aku mau menikah.”

“Maksudmu, kamu tidak ingin dunia tahu kalau kamu sudah menikah?” Basuki terlihat geram, menatap kesal.

“Persis.” Dhananjaya mengangguk satu kali. Jangankan untuk memberitahu dunia tentang pernikahannya, ia bahkan tidak ingin ada satu lalat pun yang mengetahuinya.

“Lalu, bagaimana dengan anakmu yang nanti akan muncul secara tiba-tiba?” Basuki tak mengerti, masih dengan nadanya yang kesal.

Dhananjaya tak ingin melanjutkan perbincangan apa pun, yang penting sekarang, ia sudah mengumumkan rencananya. “Aku sudah putuskan, dan itulah yang akan terjadi. Jika Ayah dan Ibu tidak setuju, maka pernikahan tidak akan pernah terjadi dalam hidupku.”

“Bukan kami tidak setuju, tapi perempuan yang akan menjadi menantu Abraham harus memenuhi syarat.” Maria menegaskan sekali lagi. Ia yakin, wanita yang akan menjadi menantunya pastilah bukan wanita baik-baik, melainkan wanita rendahan yang hanya ingin kekayaan Abraham saja.

“Syarat ditiadakan. Yang penting, dia bisa lahirkan keturunanku,” hardik Dhananjaya tegas seolah ia adalah kepala keluarga Abraham dan dapat memutuskan sesuatu sesukanya tanpa ingin siapa pun meragukannya.

“Biarlah. Kita ikuti keinginan Jay,” kata Basuki pada Maria, tak ingin memperdebatkan apa pun lagi dengan putranya itu.

Maria tersenyum sinis, menatap Dhananjaya penuh kekesalan. “Kita lihat saja nanti. Jangan salahkan Ibu jika Ibu tidak suka dengannya atau bahkan tidak menganggap istrimu itu sebagai menantu,” ucapnya sekaligus ancaman.

“Terserah. Jika Ayah dan Ibu keberatan dia tinggal di sini, aku akan membeli rumah.” Dhananjaya tidak keberatan. Apa pun pendapat orang tuanya, suka atau tidak, bahkan jika mereka tidak menganggap Indah sebagai bagian dari keluarga Abraham, ia benar-benar tidak peduli.

“Jay, tetap di sini.” Basuki tak setuju.

Ya, seperti itulah pria bernama Dhananjaya. Apa pun yang ia putuskan, maka itulah yang akan terjadi, tak peduli dengan hal lainnya. Sang ibu sudah berniat mencari wanita untuk Dhananjaya nikahi, tetapi putranya itu menolak. Padahal, wanita pilihan Maria tak mungkin mengecewakan.

Lantas, apa yang membuat Dhananjaya menolaknya? Maria sudah dipastikan akan sibuk mengatur pesta yang tiada henti, siang dan malam, mengundang ribuan tamu dengan resepsi di beberapa kota, dan Dhananjaya tak ingin itu. Ia tak ingin waktunya tersita dengan percuma, habis karena hal-hal yang tak penting baginya.

Sedangkan menikahi Indah hanya sebuah ijab qabul tanpa resepsi dan tanpa mengundang siapa pun. Ia pun tak berniat untuk mengumumkan pernikahanya ke publik, apalagi memperkenalkan Indah sebagai istrinya. Berbeda jika ia menikahi wanita pilihan ibunya, pastilah wanita tersebut akan selalu berada di sampingnya di berbagai acara, mengganggu kenyamanan serta membuatnya risih.

Tak lama dari itu, Indah datang bersama Hendra. Semua mata tertuju padanya, menelisik penampilan Indah dari atas sampai bawah dengan tatapan buncah. Basuki tampak membuang napas kasar, sedangkan Maria memijat keningnya yang terasa berdenyut hebat. Wajah Indah benar-benar biasa saja, tidak ada apa pun yang menarik.

“Jay—”

“Ya atau tidak, keputusan ada di tangan Ayah dan Ibu.” Dhananjaya tak ingin mendengar omong kosong lagi.

Sedangkan saat itu, Hendra dan Indah berdiri di dekat Dhananjaya, tak berani duduk bersama selain menundukkan kepalanya sebagai bentuk hormat. Namun, Dhananjaya segera meminta Hendra untuk meninggalkan ruangan tersebut bersama Indah. Tentu, Hendra kembali ke lantai atas, mengantarkan Indah kembali ke kamar tamu.

Indah yang saat itu belum mengerti, tak henti bertanya-tanya dalam hatinya. Siapa dua orang yang baru ia lihat itu, siapa Hendra di rumah ini, dan mengapa Hendra tampak sangat sungkan. Bukankah ini rumahnya dan mereka adalah orang tuanya. Sungguh, Indah tak mengerti sama sekali.

“Pak, siapa mereka?” Indah penasaran, berjalan di belakang Hendra.

“Keluarga Abraham,” jawab Hendra tanpa menoleh ke arah Indah.

“Keluarga Pak Hendra? Kapan kita menikah?” Indah bertanya kembali. Bukan tidak sabar untuk menikah, tapi ia tak sabar ingin menjenguk ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit.

“Apa? Hahaha .... ” Hendra menghentikan langkahnya saat sudah sampai di lantai dua, tertawa terpingkal-pingkal hingga menyentuh perutnya yang terasa melilit.

Tawanya yang keras, begitu menggelegar di lantai dua rumah itu. Bahkan, beberapa orang yang merupakan orang-orang Dhananjaya, mengintip ke bawah dari lantai tiga. Indah menatap bingung. Apa yang salah dari pertanyaannya?

Hendra segera mengakhiri tawanya, lalu memberitahu sesuatu yang lupa ia sampaikan kepada Indah. “Bukan saya yang akan menikah denganmu, tapi Pak Dhananjaya Abraham.”

“Yang tadi itu?” Indah menatap intens, tak percaya dengan apa yang diucapkan Hendra.

“Ya.” Hendra mengangguk tegas.

Indah benar-benar tercengang. Apa ia tidak salah dengar, pria yang sangat tampan dan berwibawa itu akan menjadi suaminya. Entah apa penyebabnya, Indah merasa beban yang menggunung di dalam tubuhnya terangkat, hilang tak berbekas. Jika saja Dhananjaya bukan pebisnis besar dan hidup sederhana, maka ia akan tetap digilai banyak wanita karena ketampanannya.

Namun, Indah masih tidak mengerti. Jadi, ia kembali bertanya, berjalan mengekori Hendra, “Jadi ... dia yang ingin keturunan?”

“Panggil beliau 'Bapak'. Jaga batasanmu.” Hendra memperingati.

“Maaf,” lirih Indah sambil menundukkan kepalanya. Namun hanya beberapa detik, ia kembali menegakkan kepalanya saat bertanya, “Tapi ... kenapa harus menikah? Ma—maksudku, Bapak itu bisa punya keturunan tanpa nikah, 'kan?”

Bagaimana Indah tidak bingung. Pria seperti Dhananjaya bisa tidur dengan wanita yang ia mau dan tentu menghasilkan keturunan tanpa harus menikahinya. Tapi, apa ini. Pria itu ingin menikahi wanita yang tidak ia kenal sama sekali.

“Ya, tapi Pak Jay tidak mau punya anak haram yang lahir di luar pernikahan. Ngomong-ngomong, kamu sudah tahu 'kan kalau kamu sudah melahirkan, maka Pak Jay akan menceraikanmu dan memberikan kompensasi besar?” Hendra mengingatkan, bahwa pernikahan yang akan terjadi hanya semata-mata untuk mendapatkan keturunan, bukan atas dasar cinta.

Indah mengangguk paham. Hendra lanjut berkata, “Bagus. Perlakukan Pak Jay sebagaimana seorang raja, bukan seorang suami. Mengerti?” pesannya tegas.

“Baik.” Indah mengangguk sekali lagi.

Menikah dengan seorang pria kaya raya, tak pernah terbesit dalam bayangannya. Indah merasa menjadi pemeran di sebuah novel ataupun film. Seorang pria kaya menginginkan keturunan, dan si wanita membutuhkan uang yang sangat banyak. Hal seperti itu ternyata ada di dunia nyata, dan Indah adalah salah satu wanita yang mengalaminya.

Namun, nyatanya tidak seindah seperti di novel-novel. Melihat reaksi Maria dan Basuki bahkan Dhananjaya sendiri, Indah sudah dapat memprediksikan bagaimana kehidupannya nanti. Tapi, tak apa, Indah memikirkan sisi baiknya dari apa yang telah ia korbankan, yaitu hidup layak setelah melahirkan keturunan Abraham nanti.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status