Bagian 34
POV Sofyan
“Sofyan, kenapa tidak bilang Ibu kalau kamu mau masuk tivi? Semua teman-teman Ibu menelepon dan minta penjelasan! Astaga, kamu ini ada masalah apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba tersangkut ke masalah rumah tangga orang segala?” Ibuku menelepon sesaat setelah acara di Trens TV selesai. Aku yang baru saja hendak mengganti kostum di ruang wardrobe, langsung minta izin pada tim penata busana untuk menyingkir ke toilet yang kebetulan tak begitu jauh dari sini.
Dadaku berdegup-degup tak keruan. Bagaimana tidak, ini menyangkut masalah Ibu. Wanita yang paling kucinta dan memang tak kuceritakan tentang masalah yang sedang mendera. Pun mengenai sosok Mila yang sejak lama diam-diam kukagumi. Beliau pasti akan marah besar sebab mengetahui semuanya malah lewat media, bukan dariku.
&
Bagian 35 [Usai 14 Bulan Ditahan, Pria Yang Nikahi Sepupu Sendiri Demi 100 Juta Kini mendekam di RSJ Akibat Depresi Berkepanjangan] Tautan berita dengan judul yang sangat mengejutkan itu baru saja masuk ke ponselku. Anisa yang mengirim. Aku yang tengah asyik duduk membaca buku di taman samping rumah, langsung menginterupsi bacaanku, dan memberikan perhatian besar pada berita tersebut. “Rumah sakit jiwa?” Aku tersentak. Memang sudah lama tak mengikuti kabar tentang Faisal sejak putusan majelis hakim Pengadilan Agama mengabulkan permohonan ceraiku setahun lalu. Hidupku hanya kufokuskan untuk mengurus Syifa dan suami keduaku, Mas Sofyan. Terlebih, saat ini aku sedang mengandung dengan usia kehamilan 11 minggu dan bulan lalu baru saja pindah ke rumah baru yang mengharuskanku buat bekerja agak keras untuk menata barang-barang kami. Mas Sofyan memang masih mempekerjakan Bi Dilah. Namun, barang terlalu banyak dan tenaga Bi Dilah saja tak akan cukup buat
“Bunda, kita mau ngapain ke rumah sakit jiwa?” Syifa bertanya dengan sangat polos. Gadis mungil lima tahun yang baru kami jemput dari sekolah taman kanak-kanak tersebut menunjuk plang besar di depan halaman parkir RSJ Waras Hati. Aku saling pandang dengan Mas Sofyan. Syifa yang enggan duduk di bangku belakang dan memilih duduk di pangkuanku itu lalu menarik ujung hijabku. “Bun, rumah sakit jiwa itu tempat orang gila kan, Bun?” Hatiku perih mendengarnya. Batinku entah mengapa terasa robek. Apakah keputusanku untuk membawa Syifa ke sini salah? “Bukan or
Kami bertiga berjalan sambil bergandengan tangan satu sama lainnya. Menyusuri lorong demi lorong untuk menuju ruang rawat inap di mana Mas Faisal meningap. Setelah bertanya kepada suster jaga yang duduk di meja paling depan koridor ruang rawat inap, kami pun tahu di mana Mas Faisal kini sedang menghabiskan harinya. Di ruang Anggrek Mas Faisal sedang menginap. Didampingi oleh seorang suster perempuan berpakaian serba putih, kami bertiga pun dituntun untuk memasuki pintu bercat cokelat dengan dinding putih yang sudah agak mengelupas dindingnya. Aku syok saat melihat Mas Faisal sedang berbaring di atas ranjang, dengan kondisi kedua tangan dan kaki yang terikat di ujung tempat tidur. “Ayah!” Syifa menjerit. Anakku itu langsung berlari menuju tempat di mana
“Bunda, Ayah sadar!” pekik Syifa bahagia. Gadis kecil itu menghambur ke arahku. Mendekap tubuhku erat-erat sambil tersenyum ke arah Mas Faisal. “S-syi-fa ….” Ya Allah, Mas Faisal menyebutkan nama anak kami. Suaranya lirih. Seperti orang menggumam, tapi aku bisa mendengar jelas bahwa itu adalah memanggil nama Syifa. “Iya, Ayah. Syifa di sini. Ada Bunda juga. Ayah bangun, yuk? Kita main.” Syifa kembali mendatangi Mas Faisal. Menggenggam tangannya yang kurus, lalu menciumi punggung tangan yang menampakkan urat-urat berwarna hijau tersebut. “M-mi-la ….” Mas Faisa
Bagian 39 “Kita harus hubungi orangtuanya Faisal, Mil. Bagaimanapun, mereka perlu tahu kondisi anaknya.” Mas Sofyan berkata kepadaku seusai kami menjenguk Mas Faisal. Aku yang duduk di kursi depan, langsung terhenyak. Menghubungi Ummi dan Abi? Bukankah kata petugas rumah sakit dan orang lapas yang tadi menjenguk Mas Faisal nomor mereka tak aktif? “Kan, nomornya dibilangin nggak aktif, Mas,” ucapku sambil menarik napas. Aku sekilas melirik ke belakang. Syifa sudah terlelap di atas tempat duduknya sambil mengenakan sabuk pengaman. Sedari tadi dia sibuk bercengkerama dengan ayahnya. Kasihan anak itu, pikirku. Dia pasti sangat lelah karena sepulang sekolah memang belum istirahat. 
BAGIAN 40 “Eh, ayo pada masuk. Jangan berdiri di depan pintu saja.” Ummi langsung mempersilakan kami untuk masuk. Gerak-geriknya begitu canggung dan kikuk. Ketika aku dan Mas Sofyan memasuki ruang tamu milik Ummi, terasa olehku lantai yang berdebu. Bahkan kaki ini serasa menginjak butir-butir pasir yang kasar. Ya Allah, Ummi. Sudah tak lagi bersih sekaligus terawat istanamu sekarang. Sofa hijau emerald di tengah ruangan pun tampak tak secemerlang dulu kala. “Ummi, ini ada sedikit oleh-oleh.” Mas Sofyan meletakan bingkisan tadi di atas meja kaca di depan kami. Kulihat sekilas, Ummi tampak berbinar matanya. “Masyaallah, baik sekali kalian. Eh, siapa namamu? Ummi lu
BAGIAN 41 “Mila, Karmila mantan menantuku.” Abi memanggilku dengan suaranya yang serak. Degupan jantungku kian cepat tatkala terdengar derap langkah kaki sekaligus bunyi ketukan tongkat di ubin. Mau tak mau, aku mengangkat kepala. Terkesiap aku menatap sosok yang tengah dipapah oleh suamiku dan Ummi. Lelaki itu tampak sangat lesu, kurus, dan bahkan … rambutnya kini semakin tipis dan hampir botak penuh di bagian depannya. Ya Allah … ini Abi? Abi yang dahulu masih segar bugar dan tampak begitu gagah, mengapa kini berubah sangat drastis hingga aku hampir saja tak lagi mengenalinya. “A-abi ….” Aku memanggil beliau dengan suara lirih. Mulutku sempat menganga heran untuk setengah detik, tapi lekas kusadari bahwa keterkejutanku ini tentu tak akan membuat sosok Abi nyam
BAGIAN 42 Mas Sofyan sampai ke rumah kami tepat pukul 21.00 malam. Pria itu sejak siang mengurusi keperluan Mas Faisal dan memfasilitasi kedua orangtuanya untuk menjenguk putra semata wayang mereka. Aku sebenarnya tak enak hati dengan Mas Sofyan. Baik hati sekali pria itu. Dia rela berletih-letih di sela kesibukannya mengajar sebagai dosen, hanya untuk mengurusi orang lain yang bukan bagian penting dalam hidupnya. Kusambut kehadiran Mas Sofyan dengan penuh suka cita. Bahkan, Syifa yang sudah mengantuk pun, rela terjaga hanya untuk menunggu kehadiran sang papa sambungnya. “Papa! Kenapa lama sekali?” tanya Syifa sambil menghambur ke arah Mas Sofyan. Bocah kecil itu memeluk papanya dengan sangat erat. Mas Sofyan yang bahkan belum bertukar pakaian sejak pagi itu pun