BAGIAN 44
Saat aku kembali ke kamar untuk salat Subuh, kudapati Mas Sofyan sudah bangun dan mengangkat telepon di atas ranjang. Pria itu duduk dengan muka yang masih sembab dan rambut yang acak-acakan. Kutatap dia dengan penuh tanya di kepala. Siapa yang menghubungi suamiku pagi-pagi begini?
“Iya, Mbak. Siap. Aku sudah pesan ke istriku untuk makanan yang mau pengen.” Ucapan Mas Sofyan membuatku tertegun sejenak di ambang pintu.
“Siap, Mbak. Jam delapan aku sudah standby di bandara. Mbak Reva nggak usah khawatir nunggu lama di sana.” Mas Sofyan lantas melirik ke arahku. Dia mungkin sudah menyadari bahwa ada istrinya di ambang pintu sini.
“Sini,” ucap Mas Sof
BAGIAN 45 Setelah mandi sambil sempat bersimbah air mata lara, aku keluar dalam keadaan telah memakai handuk di kepala dan kimono putih yang menutupi tubuh hingga lutut. Kulihat, Mas Sofyan turun dari ranjang kala melihat aku datang dengan langkah yang sedikit ragu. Pria itu menatapku. Tatapannya tampak teduh. Namun, tetap saja aku sedikit kikuk. Mengingat, di telepon tadi sikapku memang sangat kekanakan ketika berbicara dengan Mbak Reva. “Salat duluan, Mila. Aku juga mau mandi,” ucap Mas Sofyan. Bicara pria itu lembut. Dia juga terlihat senyum sambil menenteng handuk dan pakaian ganti. Aku yang sudah deg-degan kini mulai lega. Syukurlah, dia tidak marah, pikirku. “Iya, Mas. Aku salat duluan, ya.”&
BAGIAN 46 Akhirnya, dengan sedikit menaruh perasaan kesal, aku pun bergerak atas instruksi Pak Dosen tersayang. Gegas aku memasak di dapur. Membuatkan menu-menu makanan yang diminta oleh Mbak Reva—si ratu sejagad. Bi Dilah bukannya tak ikut jengkel. Walaupun hanya berstatus pembantu rumah tangga, tetapi beliau sudah seperti mamaku sendiri. Paham benar dengan apa yang tengah kurasakan. “Mbak Mila, sabar-sabar ya, Mbak. Semoga, kedatangan nyonya besar itu tidak membuat kita jadi semakin spaneng.” Bi Dilah menguatkanku saat beliau tengah fokus memasak rendang daging sapi dan sup iga di satu kompor yang sama. Sedang aku sendiri, tengah menghidangkan kepiting asam manis yang baru saja selesai kuangkat dari wajan.&n
BAGIAN 47 “Yan! Ya ampun, rindu sekali aku sama kamu, adikku tercinta!” Pekik heboh Mbak Reva memecah kesunyian di antara aku, Mas Sofyan, dan Syifa. Setelah menghabiskan sepanjang perjalanan hanya dengan saling diam satu sama lain, akhirnya, aku mendengarkan suara jeritan juga. Aku hanya bisa terpaku membisu tatkala melihat kakak iparku menghambur ke arah Mas Sofyan. Perempuan bertubuh tinggi langsing yang mengenakan celana ketat berwarna khaki dan kemeja putih poloh berlengan panjang serta kerudung motif abu-abu yang hanya menutupi sebagian kepalanya itu langsung memeluk suamiku erat. Dia sibuk memberikan cipika-cipiki kepada Mas Sofyan, tanpa mau menoleh sedikit pun ke arah aku maupun Syifa. Dia pikir, kami berdua ini patung selamat datang kali, ya? “Mbak Reva, bagaimana kabarnya? Tadi di pesawat tidak ada kendala, kan?” tanya Mas Sofyan sambil merangkul kakak nomor duanya tersebut. Sengaja kutatap Mbak Reva yang menyemir rambutnya dengan warna
BAGIAN 48 “Belagu amat istrimu, Yan! Kelakuannya sudah seperti nyonya besar saja! Mengerikan! Bekas janda punya anak bawaan aja, bisa sesok ratu ini ke suami. Istighfar, Mil!” Mbak Reva ngomel-ngomel panjang kali lebar. Suara cemprengnya yang terdengar seperti kaleng rombeng atau radio butut itu membuat telingaku sangat kebisingan. Namun, bukan Mila namanya kalau tidak memberikan perlawanan. “Hati-hati kalau bicara, Mbak. Biasanya, kalau ada orang yang ngata-ngatain janda, habis itu bisa ikutan jadi janda juga, lho.” Aku sengaja menoleh. Kuberikan senyuman tersengit yang pernah kumiliki kepada Mbak Reva. Perempuan berambut pirang itu langsung mengecimus bibir tebalnya. Dia masuk dan duduk di bangku belakang, kemudian membanting pintu dengan kasar. Masa bodoh! Aku tidak peduli. Kalau pintu mobil ini sampai lepas, berarti dia yang harus mengganti. Mas Sofyan terlihat agak gopoh memasuki mobil. Rautnya berubah agak cemas. Dia duduk di ku
BAGIAN 49 Sepanjang perjalanan menuju rumah baruku dan Mas Sofyan, kami berempat saling diam seribu bahasa. Mbak Reva yang semula berapi-api dan penuh energi negatif, mendadak jadi bisu. Aku bersyukur karena Mas Sofyan akhirnya berani menegur perempuan kasar itu. Coba kalau dibiarkan terus-terusan. Bisa semakin besar kepala dia. Sesampainya di halaman parkir rumah, aku dan Syifa bergegas keluar dari mobil. Anakku sudah tidak menangis lagi. Namun, dari raut wajahnya, tampak betul bahwa si Syifa masih badmood dan sedih. Kasihan dia. Masih kecil, tapi harus ikut-ikutan tertekan di tengah situasi genting yang orangtuanya hadapi. Tanpa menghiraukan Mas Sofyan apalagi Mbak Reva, aku mengajak Syifa untuk masuk. Kupimpin tangannya menuju kamar. Di dalam kamar yang bernuansa serba pink dan dihiasi dengan banyak mainan-mainan berbentuk karakter Minnie Mouse itu, Syifa tampak lesu tak bersemangat. Kuantar dia hingga ke atas ranjangnya yang beralaskan sprei war
BAGIAN 50 “Nggak, Sayang. Papa nggak akan pergi dari sisi kita. Tante Reva adalah orang yang baik. Bunda yakin, pasti beliau tidak akan tega membuat Papa pergi dari Syifa maupun Bunda.” Kubujuk Syifa dengan segenap perasaan luluh lantak di jiwa. Anak ini sangat pintar. Dia begitu peka, meski usianya masih terbilang sangat kecil. Waktu yang telah menempanya menjadi lebih dewasa dari usia yang sebenarnya. Aku betul-betul kasihan kepada Syifa. Tok! Tok! Tok! Terdengar pintu kamar Syifa diketuk dari luar sebanyak tiga kali. Bergegas aku turun dari ranjang anakku. Syifa pun ikut turun juga. Dia berjalan di belakang tubuhku dengan gerakan mengendap. Kubuka pintu perlahan. Ternyata Mas Sofyan. Lelaki itu telah berganti pakaian dengan kaus oblong warna marun polos dan celana jins pendek di bawah lutut. Suamiku tersenyum santai sembari menatapku dalam. “Bunda sayang, kita sebaiknya keluar dulu, yuk? Ngobrol-ngobrol sama Tante Reva. Aj
BAGIAN 51 “Ini nasinya, Tante Reva. Jangan bengong begitu, dong. Nanti lalatnya masuk ke mulut.” Kupastikan senyuman yang terukir di bibir ini sangat menusuk Mbak Reva. Piring yang kusodorkan ke arah Mbak Reva pun disambar dengan gerakan yang sangat kasar. Perempuan berpakaian seksi dan sangat tidak sopan itu langsung mengerucut masam bibirnya. Mukanya berubah merah padam. Penuh dendam sekaligus amarah. Terserah, Mbak. Jengkelnya hatimu bukan tanggung jawabku. Inilah aku dan segala isi rumah tanggaku. Kamu tidak suka? Silakan angkat kaki dari sini! Kulihat, Mbak Reva menyendok lauk pauk dengan semau hati. Kuahnya sampai berceceran ke mana-mana. Bi Dilah yang kebetulan mengantarkan air minum untuk kami pun kulihat melirik sekilas ke arah meja yang ditempati Mbak Reva. Semuanya kotor sekaligus berantakan. Cangkang kepiting saja dia letakan di atas meja, padahal sudah disiapkan wadah kotornya. “Silakan minumannya, Mbak Mila.” Bi Dilah menua
BAGIAN 52 “Duh, malah pada ngobrol, ya!” Mbak Reva tiba-tiba mendatangi kami. Perempuan itu tadinya kami biarkan asyik duduk di meja sembari memainkan ponselnya, setelah puas menandaskan lauk pauk yang terhidang di meja. Untung saja, pagi tadi kami masak banyak. Masih ada yang kami sisihkan dan disimpan dalam wadah bertutup rapat. Itulah yang rencananya bakal dihidangkan untuk makan siang tadi. Aku dan Bi Dilah yang sedari tadi bercakap-cakap dengan suara pelan pun mendadak menoleh ke belakang. Mbak Reva yang berpakaian seperti cabe-cabean pinggir jalan itu ternyata dengan sangat tahu dirinya tengah membawa piring dan gelas kotor miliknya tadi. Kupikir, setelah kami selesai membereskan meja dan mengangkut semua wadah kotor terkecuali piring serta gelas miliknya, perempuan itu akan meninggalkan benda kotor tersebut di atas meja begitu saja. Ya, aku tidak berharap kalau dia mau usung-usung barang kotor itu sampai ke wastafel. Sudah bisa menebaklah, seperti apa ta