Arland menoleh ke arah kamar mandi. Ia teringat menemukan paperbag di dalamnya. Belum sempat ia cek apa isinya karena itu termasuk hal privasi Meika dan akan lebih baik jika Azkara yang membukanya.
"Maaf sebelumnya, Tuan Muda. Saat Anda pingsan tadi, saya mencoba mencari keberadaan Nyonya Meika. Saat saya mengetuk pintu kamar mandi tidak ada respon sama sekali dari dalam. Maaf sekali lagi atas kelancangan saya, Tuan, saya membuka pintunya karena saat itu saya berpikir sedang terjadi sesuatu yang buruk pada Nyonya di dalam, mengingat Anda tadi pingsan. Namun, begitu saya masuk, Nyonya tidak ada. Saya malah menemukan satu paperbag yang teronggok di dekat wastafel," ungkap Arland panjang lebar."Baiklah, saya mengerti. Berikan paperbag yang kau maksud itu," pinta Azkara yang masih agak pusing kepalanya.Arland mengambil paperbag yang terletak di atas sofa berwarna krim di sudut kamar lalu memberikannya pada Azkara. Di paperbag itu terdapat tulisan kata "Maaf" dalam bahasa Jerman "Verzeihen" yang dicetak tebal.Pria yang masih terbaring itu dengan cekatan membukanya. Tangannya mengeluarkan sebuah gaun pengantin."Arland! Ini gaun pengantin istri saya. Dia tidak jadi memakainya lalu kemana dia?" tanya Azkara yang panik."Saya dan anak buah masih mencari keberadaan Nyonya Meika, Tuan Muda," jawab Arland."Apa sudah kau coba hubungi Meika?""Sudah, Tuan. Tetapi, nomornya tidak aktif."Azkara tampak berpikir mengapa istrinya tidak jadi memakai gaun pengantin yang kini ia pegang, padahal dia sendiri melihat bahwa Meika masuk ke dalam kamar mandi sambil menenteng gaun tersebut. Meika sendiri yang mengatakan bahwa dia akan berganti pakaian setelah istirahat.Sebelum ke kamar mandi, istrinya memberinya teh hangat. Setelah meminum teh tersebut mendadak kepala Azkara terasa pusing dan rasa kantuk menyerangnya. Matanya lambat laun terasa berat untuk terbuka, perlahan ia pun tertidur.'Tidak mungkin Meika memberiku obat tidur,' batin Azkara."Arland, selidiki siapa yang telah mencampur obat tidur dalam minuman saya. Gelasnya ada di atas nakas," perintahnya."Baik, Tuan Muda! Bagaimana dengan para tamu Tuan? Mereka sudah lama menunggu bahkan beberapa dari mereka sudah ada yang pulang terlebih dahulu.""Sebentar lagi saya akan turun untuk meminta mereka pulang saja. Percuma untuk melanjutkan resepsi," jawab Tuan Muda. Ada rasa kecewa, sakit dan sesak serta bingung menjadi satu dalam dirinya."Saya permisi, Tuan Muda! CCTV di gedung ini harus saya cek," pamit Arland pada Azkara."Untuk CCTV di kamar ini hanya saya saja yang boleh melihatnya. Kirim salinan rekamannya ke laptop saya dan antarkan kepada saya segera," perintah Azkara."Baik, Tuan! Segera saya antar secepatnya. Saya undur diri," pamit Arland.'Di mana kamu sayang?' gumam Azkara.Wajah sendunya semakin bertambah gusar. Ia lalu mengambil ponsel dan melacak posisi Meika melalui GPS ponselnya yang dihubungkan ke ponsel Meika."Tidak terhubung! GPS-nya mati? Astaga!" teriaknya. Ia sungguh kesal."Ini tidak beres. Apa kamu diculik, Mei? Tapi selama ini tidak ada musuh yang mengintaimu. Penjagaan di sini juga ada. Lalu? Apa kau sengaja meninggalkanku?" gumamnya masih dengan wajah yang gusar.Beralih pada Arland yang sedang berkutat di depan layar monitor CCTV dan juga laptop bosnya. Ia menonton satu video rekaman sebelum listrik padam.Ada pesan masuk dari Gio.[Siap laksanakan, Pak! Gelas akan segera dikirim untuk diperiksa lebih lanjut.][Bapak masih di ruang pemantauan CCTV? Tadi saat mengambil gelas di kamar Tuan Muda Azkara, beliau bilang untuk segera membawakan laptop kerjanya. Beliau sekarang menunggu di lantai bawah bersama para tamu.]Arland membaca pesan tersebut langsung membalas, [Baik, terima kasih. Lanjutkan kerjamu.]Saat ia tengah berberes, anak buahnya datang berlari tergesa-gesa."Pak! Pak Arland! Ada bom di dalam gedung, Pak!" teriak anak buahnya yang ngos-ngosan."Astaghfirullah!" pekiknya. Matanya membulat, jantungnya berpacu kencang, Arland kaget setengah mati. Ditambah lagi ia melihat apa yang ada dalam genggaman Vyan.Dia bergidik ngeri. 'Berani sekali anak ini,' batinnya."Saya berusaha mengutak-atik kabel bomnya. Akan tetapi, nihil. Waktunya terus berjalan, Pak. Tersisa dua menit lebih 40 detik lagi. Kita harus cepat keluar dari sini! Serahkan saja semua pada saya," sergah Vyan, anak buahnya yang berkompeten di bidang khusus itu.Arland mengangguk cepat meski rasa khawatir menjalari perasaannya. Ia berkata, "Baiklah, berhati-hatilah, Vyan."Arland kemudian berlari menuju aula di mana para tamu berada."Tuan! Kita semua harus segera keluar dari sini!" bisik Arland yang sudah panik. "Telah ditemukan bom di dalam gedung!" sambungnya lagi.Sementara itu, Vyan meletakkan bom yang waktunya tersisa 2 menit 30 detik di area belakang gedung. Lokasinya cukup jauh dari gedung. Hanya terlihat pepohonan lebat serta banyak semak belukar. Ia ditemani oleh dua anak buah lainnya. Mereka pun berlari sekencang mungkin meninggalkan bom."Para Hadirin! Segera tinggalkan gedung ini! Karena akan ada ledakan yang terjadi. Segera keluar!" jerit Azkara menggunakan microphone.Sontak para tamu berhamburan keluar meninggalkan gedung sejauh mungkin. Para anak buah lain pun menjerit memperingati melalui toak dan microphone bahwa semua yang ada di dalam gedung harus segera keluar.Azkara menaiki tangga dengan cepat."Tuan Muda Azkara! Ledakan sebentar lagi akan terjadi untuk apa Anda naik kembali?" teriak Arland sambil mengejar bosnya, tapi tidak dihiraukan Azkara.Azkara mengambil paperbag di atas kasur lalu bergegas lari."Ayo cepat turun dan keluar dari sini!" teriaknya pada Arland.Arland pun berbalik memutar arah larinya. Mereka berlari sangat kencang hingga terguling-guling saat menuruni tangga lalu bangkit dan berlari kembali.Waktu bom yang tersisa sekitar sepuluh detik saat semuanya berhasil keluar dan menjauh termasuk Azkara dan Arland.Tanpa mereka sadari terdapat bom lain di area depan gedung, tepatnya di tanaman pagar berbunga dekat jendela. Waktu di bom tersebut tersisa lima detik lagi hingga ledakan pun terjadi. Beberapa anak buah yang belum keluar dari gerbang akhirnya terkena ledakan.Sekitar beberapa detik kemudian, ledakan kembali terjadi dari arah belakang. Gedung pun hancur luluh lantah dan sekitarnya juga berimbas terkena ledakan.Malam telah berlalu."Akhirnya kita bersama Mei," ucap lirih pria berwajah blasteran Indonesia-Korea berkulit putih. Ia duduk di samping Meika yang tengah tidur.Dia tersenyum sembari membelai pucuk kepala Meika dengan lembut. Sorot mata yang dipancarkan pada Meika begitu hangat dan mesra.Pria itu adalah Malvin. Lelaki yang amat mencintai Meika jauh sebelum Meika mengenal Azkara."Rupanya bius itu sangat ampuh hingga kau tertidur selama ini," gumamnya. Ia tak menyangka sekarang bisa bersama dengan wanita pujaannya.Sejak malam tadi hingga pagi ini Meika belum bangun sama sekali. Malvin menyuntik Meika dengan bius yang sangat ampuh yang bisa membuat mereka yang terkena suntikannya tertidur dalam waktu yang cukup lama.Malvin adalah dalang di balik insiden malam tadi. Semua ia rencanakan dengan amat matang. Bermain secara tenang, lihai, dan cerdik. Sehingga rencananya tidak terendus sama sekali oleh Azkara, tangan kanan beserta ajudan dan anak buahnya.Ia memendam rasa cintanya pada Meika dan tak pernah menunjukkannya sedikit pun pada siapa pun. Saat mengetahui dambaan hatinya akan menikah dengan orang lain sebulan yang lalu, ia tak rela. Timbul hasrat untuk merebut dan memiliki Meika yang kini sudah bersuami. Sungguh ambisinya begitu besar.Azkara kini berada di rumahnya. Ia masih tidur. Sejak dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya malam tadi, Azkara masih merasakan kantuk yang luar biasa. Kepala terasa berat dan pusing, tangan kebas kesemutan, serta napasnya pun tersengal-sengal. Alhasil dir
Beberapa menit kemudian Azkara tertidur lalu lampu yang tadi menyala seketika padam. Kamera CCTV pun otomatis berhenti merekam."Agghhrr," teriak Azkara.'Apa yang terjadi selama listrik padam?' ucapnya dalam hati.Wajahnya tampak tak tenang, ia geram pada keadaan."CCTV itu juga tidak bekerja!" gerutunya. Ia menyandarkan tubuhnya di senderan kursi lalu memandang langit-langit ruang kerjanya.'Aku yakin pasti telah terjadi sesuatu pada Meika saat lampu itu padam,' batinnya.Arland sudah sampai di kediaman Azkara. Mereka tengah berada di ruang kerja Azkara, sebuah ruangan khusus yang Azkara siapkan di rumahnya, tepat di sebelah kamar tidurnya."Apa Meika sudah ditemukan? Di mana dia dan bagaimana keadaannya?" tanya Azkara penuh harap."Tidak, Tuan. Kami belum berhasil menemukannya. Tapi, ada satu titik lokasi bahwa Nyonya Meika diduga berada di sana. Namun, setelah didatangi, Nyonya tidak ada," ungkap Arland."Di mana lokasinya?" tanyanya lagi."Lokasinya di hotel G Foresst sebelah sela
Yasmin menunggu sendirian di aula. Sudah hampir tiga puluh menit, rekannya tak jua kembali. Gadis itu mulai kesal dan bangkit dari duduknya."Kemana dia? Apa dia sudah pulang? Kenapa tidak mengabariku?" gerutu Yasmin. Ia lalu berjalan mondar-mandir.'Jika tidak terpaksa. Aku tak sudi bekerja sama dengan Oliv. Modelan orangnya saja begitu. Dasar jutek!' ucapnya dalam hati.Ia ingin sekali menelepon rekannya itu. Tetapi, ia takut akan mengganggu percakapan antara Oliv dan si Nyonya Muda."Yas!" tegur Oliv.Ia sudah tiba di aula. Kali ini tangannya membawa sebuah map berisi perjanjian kontrak kerja sama dengan Nyonya Muda."Lama sekali kau! Aku muak menunggu di sini," keluh Yasmin padanya."Anggap saja kita impas. Beruntung Nyonya Muda itu mau bekerja sama dengan kita. Nampaknya ia sangat menyukai desain gaunmu. Kode desainmu yang ZD09X.""Oh, yang itu. Aku pikir tidak akan ada yang menyukainya. Karena model yang kubuat itu cukup abstrak. Tetapi biar bagaimana pun itu terlihat unik! Janga
Liza buru-buru beranjak dari sana. Sesampainya di kamar, ia berjalan mondar-mandir. Ia terlihat sedang cemas.'Apa benar itu adalah Meika?''Apa dia berhasil lolos? Tapi kenapa dia tidak langsung pulang ke sini saja?''Apa wanita itu punya rencana lain?'Begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Liza kemudian menelepon seseorang. Namun, nomor yang dihubungi tidak aktif."Bisa-bisanya saat keadaan gawat seperti ini, dia malah tidak bisa dihubungi!" geramnya.Liza lalu duduk di kasur, dengan kesal ia melempar bantal.***"Arland, siapkan saja semua dana untuk membayar kerugian ini," pinta Azkara."Baik, Tuan Muda!"Arland lalu beranjak pergi membawa beberapa berkas dokumen yang sudah ditandatangani oleh Azkara.Saat hendak berbelok arah ke kanan koridor, tiba-tiba muncul tangan seseorang di balik tembok koridor tersebut yang mencegatnya. Ia sontak berhenti. Hampir saja dadanya mengenai tangan itu. Orang di balik tembok akhirnya keluar berdiri tepat menghadapnya. "Emm ... dengar!
Wanita bersanggul itu kemudian meletakkan cangkir kopinya."Maaf, Nyonya Ira. Mengapa Anda begitu membenci Nyonya Meika?""Apa kau ingin tahu penyebabnya?" tanya Mahira. Arland mengangguk. "Iya, Nyonya.""Arland, bukankah kau tahu bahwa aku tidak membenci sembarang orang tanpa sebab yang fatal. Meika yang kelihatan polos itu benar-benar telah menyakitiku sebagai seorang ibu!" sergah Mahira."Dia memaksaku agar menyetujui pernikahannya dengan Azkara karena rahasiaku yang diketahuinya. Dia menjadikan itu sebagai senjata untuk mengancamku. Apa kau masih berpikir dia wanita tulus dan baik?""Rahasia?" tanya Arland."Ya, aku akan mengatakannya padamu. Aku rasa kau adalah orang yang tepat untuk kuberitahu. Aku mempercayaimu, Arland. Kuminta setelah kau mendengarnya, jangan beritahukan pada siapapun termasuk Azkara dan Liza.""Tapi kenapa, Nyonya Ira? Kenapa mereka tidak boleh tahu?""Mereka mungkin akan terluka," jawab Mahira. Sesaat ia termenung mengingat kejadian dua puluh delapan tahun s
"Baiklah, aku punya sesuatu untukmu," imbuh Oliv."Apa?"Oliv mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang membuat Yasmin semakin heran."Botol parfum?" tanya Yasmin. Sedari tadi ia terus memperhatikan botol di genggaman Oliv."Iya! Ini bukan sembarang botol parfum.""Tapi kenapa warna airnya begitu?" Jarinya menunjuk botol parfum.Oliv meletakkan botol itu di meja. "Ini isinya bukan parfum atau air bibit wangi, melainkan air cabai." "Untuk apa kau membawanya?" Yasmin tercengang tak mengira Oliv bisa menyediakan benda seperti itu di dalam tas. Ia sebenarnya sempat melihat di televisi dan sosmed mengenai botol parfum atau botol semprot yang diisi air cabai sebagai senjata wanita saat bepergian. "Untuk jaga-jaga. Ini bisa jadi senjata pamungkas bagi seorang wanita. Apalagi jika sendirian. Tidak mungkin, kan, kalau kita pergi kemanapun harus membawa pisau atau pistol? Jadi lebih baik pakai ini saja. Kita bisa membawanya di dalam tas. Tapi, tetap harus hati-hati jangan sampai tertukar. N
"Tidak. Aku sengaja tidak memberi tahu Mama. Mama pasti tidak akan mengizinkan karena kondisi mental dan fisikku. Semalam saja Mama terus menyuruhku untuk istirahat akibat obat tidur dan ledakan itu, padahal aku baik-baik saja. Kuminta jangan beritahu siapa pun. Untuk pekerjaan di kantor pusat Kak Liza dan kau yang meng-handle," tutur Azkara. Arland tak habis pikir, kenapa seorang suami harus diam-diam pergi untuk mencari istrinya. "Azkara, kau pergi dengan siapa?" tanya Arland. "Beberapa ajudan dan seorang supir.""Aku akan beri tahu Akbar supaya mereka tidak usah kembali ke sini. Biar mereka tetap di sana saja menunggumu. Mereka yang terlebih dulu tahu info tentang istrimu.""Baiklah, ide yang bagus!" Azkara menaiki tangga menuju pintu perpustakaan diikuti oleh Arland di belakangnya. Saat mereka mendekat, pintu terbuka otomatis. Pintu tersebut terbuat dari mirror glass dengan ukuran besar dan tinggi. Dari dalam bisa terlihat dengan jelas keadaan di luar ruangan.Lain halnya jika
Aldrich sudah tiba di mension. Ia membuka bagasi lalu menggendong Yasmin yang berada dalam kantung jenazah. Pintu mension dibukakan oleh pengawal. Ia masuk kemudian menaiki tangga menuju lantai dua. 'Menyebalkan! Bisa-bisanya dia menempatkan kamar wanita ini di lantai atas,' omelnya dalam hati. Setibanya di kamar, ia membaringkan Yasmin di kasur pasien. Datanglah dua orang perawat yang membantunya mengeluarkan Yasmin dari kantung janazah.Kamar itu berisikan alat-alat medis seperti di kamar rumah sakit pada umumnya. Bahkan yang ada di kamar itu jauh lebih lengkap. Sekarang Yasmin sedang ditangani oleh seorang dokter dan dua perawat. ***Aldrich sedang menunggu seseorang di lantai bawah. Ia meregangkan otot-ototnya. Menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri sehingga menimbulkan bunyi gemeretak. Orang yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. "Oh, Aldrich! Ternyata kau sudah sampai. Di mana Yasmin? Apa dia telah tiada?" tanya seorang wanita dengan gaun hitam yang melekat di tubuhnya. S