Tangan Aldevan terkepal selama menuju kolam renang belakang sekolah, ada rasa khawatir dan ketakutan sendiri menyerbu hatinya. Beberapa siswa yang tadinya sibuk makan berusaha mengekor diam-diam dari belakang, tetapi tidak untuk Arlan, Kevin, Sarah, Tasya, Raya dan Hana yang secara terang-terangan mengikuti sahabatnya.
"Gue rasa lo harus tenang dulu, Al ," saran Arlan sembari mensejajarkan langkah, menepuk pundak Aldevan berniat menenangkan.
Aldevan mendelik dengan ujung matanya. "Gimana gue bisa tenang, bego?!" sahutnya membuat Arlan bungkam.
"Lo pastiin dulu berita itu bener atau nggak." Arlan berani bersuara, Aldevan sontak menghentikan langkahnya begitu juga empat orang di belakangnya, menatap Arlan.
"Jadi Kakak kira aku bohong?" tanya Sarah, tidak terima merasa diragukan.
Arlan mengernyit menatap Sarah. "Jangan-jangan, kenapa cuma lo yang liat?"
Sarah mendengus. "Ceritain sekarang sama aja buang waktu, Kak, mending kak Aldev
Selang puluhan menit sudah, Aldevan menopang dagunya dengan tangan. Sambil menunggu kabar dari dokter tentang keadaan Mery, yang sedang dirawat di ruang ICU. Jam berdetak pada dinding koridor memecah kesunyian, Aldevan memijit pelipisnya berkali-kali, kepalanya terasa berdenyut saat memikirkan siapa pelaku itu. Mungkinkah Hana? Tapi bagaimana ia tahu jika Mery tidak bisa berenang? Memilih memikirkan itu nanti, Aldevan menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Suara langkah kaki terdengar mendekat, Aldevan melirik ke samping dan mendapati Raya bersama Bu Astri berjalan mendekat. "Gimana, udah ada kabar?" tanya Raya cemas. Aldevan menggeleng cepat. "Belum." Raya menghembuskan napas berat. "Gue takut Mery kenapa-kenapa." Lalu menjatuhkan pantatnya pada kursi samping Aldevan. "Lo nggak cemas gitu?" tanya Raya, menatap Aldevan. "Apa dari muka gue lo nggak bisa simpulin sesuatu?" tanyanya datar. Raya langsung nyengir.
"Rambut gue sakit, gue dijambak, mata gue ditutup pake kain, tangan gue diiket, kaki gue juga. Saat itu, gue merasa kayak mumi yang siap dilempar ke dalam peti," kata Mery. Ia menunduk ketakutan. "Gue ingat tubuh gue juga diiket, setelah itu gue nggak bisa gerak, boro-boro mau ngelawan." Mery bersuara serak, setelah Aldevan menanyakan kronologi kejaAldevan sebelum dia dilempar ke kolam, mata cewek itu berkaca-kaca, tangannya meremas selimut berwarna putih. Wajahnya pucat serta bibirnya gemetar. Untuk kedua kalinya, Aldevan melihat Mery menitikkan air mata, selepas pertanyaannya beberapa hari lalu di perpustakaan. "Lagi, apa yang lo ingat?" Meski berat, Aldevan tetap bersikukuh melanjutkan pertanyaannya. Karena selagi ia bisa, tidak ada kecuali untuk mengurungkan perintah Bu Astri. "Setelah itu … gue diseret sampai ke kolam, selagi gue diseret gue denger mereka ngobrolin sesuatu. Gue denger nama lo dan gue disebut beberapa kali, tapi gue
Bel pulang berbunyi nyaring, itu tandanya semua murid diperbolehkan pulang. Hana yang sedari tadi duduk tegap memperhatikan dengan seksama pelajaran pak Yoshi kini menghembuskan napas lega. Ia mengedar pandang, terlihat semua murid sibuk mengemas buku mereka bersiap untuk pulang, raut kebahagiaan nampak dari wajah mereka. Lain halnya dengan Hana, wajahnya justru murung kala menatap satu kursi kosong di sampingnya. Kursi Aldevan. Ya, dia menunggu cowok itu sejak lama. Kapan sih gue bisa ngomong lagi sama lo? Batin Hana kecewa. Bahunya merosot seketika. "Na." Panggilan kecil itu membuat Hana menoleh, ia mendapati Arlan berjalan mendekat. "Mau pulang bareng?" tanya Arlan. Cowok itu menampilkan senyum tipis setelahnya. Hana menggeleng cepat, entah kenapa, ia kembali menatap kursi Aldevan. "Enggak,Lan, makasih, Gue udah minta jemput papa." Mengikuti tatapan Hana, Arlan bersuara, ia sedikit heran karena pandangan cewek itu ke arah lain. "Lo nunggu Aldevan?" "Eng ... enggak kok," elak
"Ih. Nggak mau pulang ke rumah, gue pengen di sini aja. Gue takut di rumah sendirian," mencak Mery. Ia menarik-narik seragam Aldevan. Membuat cowok itu menghela berat. "Terus lo mau pulang kemana selain ke rumah? Kata dokter lo harus banyak istirahat, Ry. Lo belum pulih penuh," jawab Aldevan. Mery mengerucutkan bibir lalu melepaskan tarikannya dari seragam Aldevan. Mery mendengus. "Rumah gue kan sepi, gak ada orang, papa pasti pulangnya malam," lirih Mery. "Lagian kita kemana kek, asal jangan pulang ke rumah gue. Males banget dah." Aldevan menggeleng sambil berdecak beberapa kali, melihat tingkah Mery yang aneh itu. Tapi, mengapa ia harus menghindar dari rumahnya sendiri? "Kita jalan-jalan aja," saran Mery. Aldevan mengernyit, lagipula ini sudah sore, sepertinya tidak baik bagi mereka berdua menghabiskan waktu berdua. Entar ada gosip-gosip tidak enak tersebar luas. "Ini udah sore, Ry." "Ya nggak papa kan, kita cuma jalan-jalan,
"Berapa kali bunda katakan sayang, bunda pasti buat Aldevan kembali suka sama kamu, tinggal tunggu waktunya yang tepat saja," ujar Hasna--bundanya Hana, yang mencoba memperingatkan lagi pada Hana agar tidak mempertaruhkan kesehatannya hanya demi Aldevan. Cewek itu terlihat menangis sesegukan, sambil memijat kakinya yang membengkak akibat terjatuh sore tadi. "Sekarang kamu lihat lutut kamu, sampai lecet begini, mama takut berdampak pada penyakit kamu, apa sebaiknya sekarang kita ke dokter?" tanya Hasna khawatir. Hana menggeleng. "Nggak usah, Ma, cuman lecet sedikit. Beberapa hari lagi juga sembuh." Hasna menghembuskan napas berat, ia menatap putrinya nanar dan mengusap turun rambut Hana. "Sedikit apanya? Ini parah Hana, ayo kita ke dokter." Hana menggeleng lagi, sesaat ia tersenyum menatap Hasna. Sungguh, meski sakit di lukanya masih terasa, ia harus tetap kuat. "Ma, Hana nggak selemah itu sampai harus ke dokter, Hana masih bisa m
Tiga orang cewek sedang berkumpul di salah satu ruangan berac lengkap dengan beberapa fasilitas lainnya. Ada wifi, TV LED, kulkas, AC, bahkan luasnya hampir sama dengan ruang tamu. Dimana lagi kalau bukan di kamar Mery, kamar yang penuh makanan serta fasilitas mewah yang membuat siapa saja betah berlama di sana. Tasya sibuk berkutat menyelesaikan tugas di macbooknya, sesekali memijat pelipis, faktor dari banyaknya tugas yang diberikan Pak Yoshi. Memusingkan kepala. "Ah sialan." Kini Tasya sudah muak pada tugasnya. Ia menutup macbook, meluruskan kaki, sebelum akhirnya menguap dan merebahkan tubuh pada kasur king size Mery. "Kesel banget Sya, why?" tanya Raya, tangannya sibuk mengepang rambut Mery. Tasya menoleh setelah mendengus. "Biasa, tugas pak kumis, nyuruh-nyuruh gue bikin soal matematika." Raya terbahak puas. "Kesian deh lo, untung gue sama Mery di rumah sakit waktu itu, jadi kita ada alasan ngehindarin tugas. Iya kan, Ry?" Raya m
Pening, sakit perut, dan penglihatannya memburam. Setidaknya itulah yang dirasakan Aldevan sekarang. Setelah berulang kali memuntahkan semua isi perutnya, kini cowok itu bersandar pada tembok di belakangnya. Menahan gejolak aneh yang ada di perutnya. "Lo yakin gapapa, sini gue bantu lo ke UKS. Lo minta bisa obat di sana," ucap Kevin yang sedari tadi berada di sampingnya. "Nggak perlu, sebaiknya lo tinggalin gue aja. Biarin gue sendiri. Gue takut Mery liat," jawab Aldevan, wajahnya memucat. Kevin maju selangkah, ia menatap Aldevan. "Kenapa lo takut Mery liat?" "Gapapa." "Masa?" "Vin. Lo ngerti perintah gue nggak?!" kali ini suara Aldevan naik satu oktaf. Mengerti, Kevin pasrah. Ia bersuara lalu menepuk pundak Aldevan. "Oke, karena lo sedang emosi. Lo tunggu di sini, gue ambilin obat." Tanpa mendapat respon, Kevin pergi dari hadapannya. Aldevan sekilas mendapati cowok itu membuka bekal pink milik Mery. Bukan h
"Tinggalin semua kebiasaan buruk lo." Jawaban Aldevan membuat Mery mengerucutkan bibir, jika ditanyakan soal kebiasaan ia memang sulit merubahnya. Dari dulu, kebiasaan buruk Mery bagai bayangan yang mengikuti kemana pun ia pergi. Jangankan merubah, hal sepele seperti mengancing dua seragam atasnya saja ia sering lupa. "Merubah gimana sih maksud lo? Dari sananya gue emang ditakdirin kayak gini. Enggak ah gak mau, gue nggak terima," rengek Mery. Melipat tangan di bawah dada. Aldevan memutar bola matanya malas, menarik satu tangan Mery dan menyentuhkannya ke dadanya. "Ya sudah, terserah lo. Jadi hadiahnya juga nggak jadi." Mery menatap Aldevan terkejut. "Eh, masa gitu?" Aldevan menatap Mery pongah. "Supaya adil, lo nggak terima, gue juga nggak terima ciuman pertama gue lo ambil percuma. Lagian, apa susahnya lo berubah demi gue, demi masa depan lo sendiri," kata Aldevan. "Artinya lo bakal nikah sama gue?" tanya Mery antusias.