Share

3. Siapa Nama Anda

"Tangannya bergerak, Bi."

Umi Salimah yang begitu gembira melihat pergerakan jari jemari tangan Ezra. Abi El Haq pun memperhatikan ke dua tangan putranya, secara perlahan gerakan jari-jemari tangan itu kembali bergerak.

"Alhamdulillah ya Allah," seru keduanya begitu senang. 

Hari yang dinanti-nantikan akan segera tiba, dimana Ezra akan kembali pulih dan bangun dari komanya begitu pikir mereka.

"Panggil Dokter lagi Bi."

Umi Salimah berseru pada suaminya agar perkembangan Ezra bisa dilihat segera oleh dokter dan mereka mendapat kabar baik selanjutnya. Abi El Haq pun bergegas memencet tombol di samping kanan brangkar. Lalu kembali mendekati istrinya yang memanggil-manggil nama putra mereka.

"Nak bangun sayang, ini Umi dan Abi," ucap Umi Salimah.

Ia meraih tangan Ezra yang masih bergerak lemah, mencium punggung, telapak tangannya berulang-ulang secara bergantian hingga air matanya juga ikut membasahi tangan Ezra.

"Ezra, ini Abi Nak. Kamu mendengar Abi?"

Kini giliran Abi El yang memanggil dengan lembut di samping telinga Ezra. Ia juga mengusap pelan rambut putranya itu.

"Bangunlah jika memang kamu sudah siap bangun sayang, sungguh kami sangat menantikan matamu untuk terbuka kembali."

Masih Abi El yang berbicara, tak henti-hentinya juga ia mengucap kalimat dzikir tahmid alhamdulilah ia ucapkan disela-sela bisikannya. Kadang berganti dengan kalimat tauhid laa ilaha illallah berulangkali. Membuat mata Ezra mengerjap-ngerjap. Berusaha untuk membuka mata karena mendengar suara-suara dan kalimat asing yang terdengar di telinganya.

"Lihat dia mau membuka mata, Bi."

Umi Salimah begitu gembira menunjuk pada mata sang putra yang bergerak perlahan. Seruan syukur terus diucapkan oleh pasangan paruh baya itu. Sambil terus memperhatikan perkembangan pergerakan di tubuh Ezra.

"Ayo Nak, buka mata. Lihat Abi dan Umi ada di sini."

Umi Salimah memberi semangat dengan menggenggam erat tangan putranya. Sesekali ia ciumi punggung dan telapak tangan yang pucat itu. Sedangkan Abi El terus membisikkan kalimat tauhid dan hauqalah secara bergantian. Sedang tangannya tak henti-henti mengusap puncak kepala Ezra.

"Lā haula wa lā quwwata illā billāh,  laa ilaha illallah."

Sedangkan lelaki yang dipanggil itu perlahan tapi pasti berusaha untuk membuka mata. Awal

pandangannya terasa buram pekat, hanya nampak seperti bayangan yang bergerak-gerak. Disaat bersamaan dokter membuka pintu ruangan, membuat Abi dan Umi menjeda sejenak kegiatan mereka.

"Jemari tangan dan kelopak matanya bergerak Dokter, anak saya sadar," lapor Umi. Sembari menegakkan tubuhnya untuk mempersilakan dokter memeriksa keadaan Ezra.

Abi El merangkul pundak istrinya, membawanya mundur beberapa langkah menjauh dari brangkar dan dengan gerakan tangannya mempersilahkan dokter melakukan tugasnya.

"Apakah pasien sudah lama bergerak seperti ini, Kyai?" tanya Dokter Jibril sesaat setelah melihat pergerakan jemari tangan Ezra.

"Belum Dokter, sekitar lima menitan kurang lebih."

Dokter Jibril pun mengangguk lalu ia mulai memeriksa pasien komanya itu. Sedangkan Ezra berhasil membuka mata dengan sempurna. Lamat-lamat pandangan kabur itu berganti dengan lebih jelas. Melihat ke atas, depan, samping kanan dan kiri seolah sedang memindai tempat saat ini. Dokter Jibril seolah mengerti akan respon pasiennya.

"Anda berada di rumah sakit, Ustad."

Ezra masih diam, dahinya mengeryit melihat wajah-wajah yang nampak asing. Terutama pasangan paruh baya yang berada berdiri di sisi kirinya.

"Ustad Ezra, apa anda bisa mendengar suara saya?"

Ezra hanya mengangguk sebagai jawaban. Masih enggan membuka suara. Abi El dan Umi terlihat tersenyum walau kecemasan masih melanda keduanya.

"Ustad, apakah anda bisa melihat saya dengan jelas?" Lagi Ezra hanya mengangguk.

"Bisa anda bersuara?" Dokter Jibril terus bertanya untuk memastikan keadaan pasiennya.

"Ya," jawab Ezra singkat ditambah gumaman alhamdulillah dari orang-orang sekitar.

"Bisakah Ustad memberi tahu kami apa yang dirasakan oleh Ustad saat ini?"

Ezra nampak bingung, bukan karena pertanyaan dari dokter melainkan panggilan ustad sangat asing terdengar di telinganya. Tetapi mengapa berulang kali dokter memanggilnya dengan sebutan itu?

"Ustad Ezra," panggil dokter lagi.

"Ezra? Siapa itu?" tanyanya pada dokter.

Tentu jawaban Ezra membuat Abi El dan Umi Salimah terkejut. Keduanya memandang pada dokter dengan sejuta pertanyaan dalam benaknya. Namun, Dokter Jibril tersenyum dan tenang dalam menghadapi pasien yang baru bangun dari koma tersebut.

"Siapa nama Ustad?"

Sejenak Ezra terdiam mendengar pertanyaan dari dokter tersebut. Merasa aneh akan pertanyaan sang dokter. Bukankah setiap pasien yang datang di rumah sakit pasti akan tertulis data dengan lengkap beserta riwayat penyakitnya. Oh apakah mereka menyangka dia amnesia. Bahkan dia ingat dengan jelas kenapa sampai terbaring di rumah sakit saat ini, pikir Ezra dalam hati.

"Berapa lama saya terbaring?" tanyanya. Tanpa menjawab pertanyaan dokter sebelumnya.

"Satu bulan."

"Tidak mungkin,” sangkalnya cepat.

Ezra menyangkalnya karena merasa baru kemarin ia dilemparkan dari teping dan tubuhnya terbawa arus sungai. Masa ia sudah satu bulan saja, lalu dimana anggotanya, mengapa tidak ada satupun yang nampak. Apakah mereka langsung diserang oleh Nostra dan habis tanpa sisa? Banyak pertanyaan yang muncul dibenaknya. Ingin sekali bertanya tapi dia asing dengan orang-orang yang kini berada di sekitarnya.

"Apanya yang tidak mungkin, Ustad?" tanya Dokter lagi.

"Anda tidak berbohong, Dokter? Yakin saya sudah satu bulan terbaring di sini?"

Dokter mengangguk, Ezra melihat orang-orang di sekelilingnya meminta jawaban. Seolah mereka mengerti dan mengiyakan jawaban dokter. Membuatnya semakin bingung.

"Bisakah anda memberi tahu sekarang tanggal dan bulan berapa?" Ezra tak menyerah ia ingin memastikan sesuatu agar tidak salah.

Dokter pun membuka kalender di ponselnya dan memperlihatkan pada lelaki itu. Ia juga menjelaskan kapan ia datang ke rumah sakit. Ezra yang melihat itu menggelengkan kepala tak percaya. Lagi-lagi ia melihat sekelilingnya, seolah tak puas akan jawaban dari dokter.

Kenapa bisa begini? Bukankah tanggal segitu aku masih menyerang Zetas. Aku masih ingat dengan jelas tapi mengapa mereka memanggilku dengan nama berbeda. Apakah orang-orangku sengaja menyembunyikan identitasku agar tidak diburu musuh? Ezra bertanya-tanya dalam hatinya. Dokter Jibril untuk sementara diam menunggu Ezra berbicara. Siapa tau ia masih ingin bertanya karena terlihat jelas raut kebingungan di wajah pasiennya. Ia juga sedang menganalisa keadaan Ezra.

"Kaki saya terluka parah akibat peluru. Apa kaki saya diamputasi?"

Pertanyaan yang jauh dari dugaan semua orang. Membuat semuanya jelas terkejut bahkan isak tangis mulai terdengar dari Umi Salimah.

"Anak kita, Bi," adunya pada sang suami. Abi El hanya bisa merengkuh erat wanitanya. Belum bisa berkata apa-apa terkait apa yang sedang dialami oleh Ezra.

"Ustad yakin jika kakinya terkena tembakan peluru bukan karena yang lain?" Masih Dokter Jibril yang bertanya, semua yang di sana pun fokus ingin mendengar jawaban Ezra.

"Ya, bahkan mereka menembak saya di sini, di sini dan di sini."

Ezra menunjuk bagian-bagian tubuhnya yang terkena peluru, "saya tidak menyangka jika masih hidup setelah banyaknya peluru yang bersarang di tubuh dan dilemparkan dari atas tebing tinggi saat itulah kesadaran saya mulai menghilang."

Dokter terdiam sejenak mencoba menerka-nerka gejala penyakit apa yang sedang dialami pasiennya. Apakah pasiennya sedang mengalami gejala halusinasi akibat kecelakaan yang menimpanya?

"Siapa yang menyerang anda?"

'Aku tidak mungkin memberitahukan siapa yang menyerangku bukan. Jika aku beritahukan pada dokter dan orang-orang di sini bisa jadi mereka melaporkan pada musuh yang memburuku. Aku takkan mudah terperangkap untuk kedua kalinya,' gumam Ezra berkata dalam hati.

"Apakah anda tidak ingin mengatakannya pada kami?"

Ezra diam saja bahkan kini ia memalingkan wajahnya dari dokter yang sejak tadi terus bertanya padanya. Melihat itu Dokter Jibril menghela nafas. Ia lalu menyingkap selimut yang menutupi sebagian tubuh Ezra.

"Coba lihatlah kaki anda, keduanya masih utuh walau untuk berjalan anda perlu terapi. Sebulan penuh anda tidak bergerak menyebabkan otot-otot di tubuh menjadi kaku."

Ezra pun tertarik, ia mencoba untuk duduk tapi tubuhnya begitu kaku walau berusaha keras tapi tetap saja ia tak mampu.

"Jangan dipaksakan terlebih dulu, Ustad." Lalu dokter kembali mengambil ponsel dan memfoto ke dua kaki Ezra.

"Coba anda lihat," ujarnya memperlihatkan foto itu pada Ezra. Ezra pun melihat dengan seksama. Ekor matanya memicing melihat kedua kakinya.

"Tidak ada bekas tembakan," ucap dokter menarik ponselnya.

"Kaki anda mulus dan bagus, hanya ada memar di beberapa bagian tapi itupun sudah hilang."

"Tidak ada bekas peluru?" Ezra masih tak percaya jika kakinya tak terluka sama sekali.

"Tidak," jawab dokter sambil tersenyum.

"Sekarang bisakah saya bertanya pada anda Ustad?"

"Bukankah sejak tadi anda sudah banyak bertanya, Dokter?" jawab Ezra dengan ketus dan memperlihatkan tatapan tak suka. Tetapi lagi-lagi hanya dibalas senyuman dari dokter paruh baya itu.

"Siapa nama anda?" tanya Dokter Jibril.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status