Share

4. Clay

Ezra menatap wajah dokter yang lagi-lagi menanyakan namanya. Apakah dia benar-benar dianggap amnesia sehingga membuat orang-orang di sekelilingnya begitu menunggu jawaban dari bibirnya.

Haruskah aku memberitahukan namaku saat ini? Sebentar. Ezra kembali mengingat-ingat nama panggilan dan kata-kata asing yang ia dengar. Sejurus kemudian ekor matanya menoleh pada dua orang pasangan paruh baya itu. Wajahnya senang tapi ada gurat cemas terpancar begitu jelas. 

"Siapa mereka?" tunjuknya pada Abi El dan Umi Salimah.

Alih-alih menjawab pertanyaan dokter tentang namanya. Ia ingin tau siapa orang yang sejak tadi menangisi dirinya, bahkan Ezra yakin dua orang itulah yang telah membisikkan kata-kata-kata asing di telinganya. saat ia berusaha membuka kedua matanya.

"Anda tidak ingat mereka?"

Lagi Dokter Jibril yang bertanya, Ezra menggeleng. Bagaimana dia ingat pernah bertemu saja tidak, bukankah ini pertemuan pertamanya dengan orang-orang yang berada di ruangan ini, gerutunya tentu dalam hati.

"Ya Allah, Ezra lupa sama kita Bi," jerit Umi Salimah membuat Abi El memeluknya erat.

"Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah, ayo ikuti Abi istiqfar Mi. Hanya Allah yang tau takdir apa yang sedang kita jalani," lirih Abi El menuntun istrinya agar lebih tenang. Tentu tindakan keduanya tak lepas dari pantauan Ezra.

Membuatnya semakin heran dan yakin ada kesalahpahaman besar yang terjadi dengannya dan orang-orang di sekelilingnya. Dua orang perawat yang tak jauh dari dokter pun saling berbisik.

"Apa dia benar-benar amnesia? Kasihan sekali," bisik perawat wanita yang lebih muda.

"Tidak hanya amnesia sepertinya ia juga terkena penyakit halusinasi. Tetapi ini yang terparah dari pasien yang pernah kutangani sebelumnya," jawab perawat yang lebih senior berjenis kelamin sama itu.

Tentu telinga Ezra yang tajam mendengar bisikan lirih dari dua perawat yang sejak tadi diam. Apa katanya? Aku terkena amnesia dan halusinasi. Haha mengada-ngada sekali mereka. Ezra memicingkan matanya pada dua perawat tersebut. Memberi ancaman lewat sorot matanya agar keduanya tidak menyimpulkan sesuatu yang bukan-bukan. Membuat dua perawat tersebut langsung terdiam.

"Ustad Ezra, itulah nama anda dan mereka itu kedua orang tua anda."

Dokter Jibril akhirnya memberitahukan nama Ezra dan dua orang pasangan paruh baya itu. Ingin melihat reaksi dari pasiennya. Agar bisa menguatkan analisanya.

"Bukan! Saya tidak mengenal mereka dan nama saya bukan seperti yang anda sebutkan tadi," ucap Ezra tegas. Membuat Abi El dan Umi Salimah semakin terkejut sekaligus sedih secara bersamaan.

"Lalu siapa nama anda jika bukan Ustad Ezra?" untuk ketiga kalinya dokter mempertanyakan nama pasiennya yang sejak tadi belum dijawab.

"Clay, panggil Clay."

Pada akhirnya Ezra memberitahukan namanya. Membuat Dokter Jibril pun menganggukkan kepala. Baginya sudah cukup untuk analisanya hari ini. Ia lalu mendekati Abi El dan istrinya, meminta keduanya keluar ruangan terlebih dulu.

Meski berat tapi keduanya menurut. Keduanya juga penasaran apa yang sebenarnya terjadi pada putranya itu. Bahkan sejak tadi nada suara Ezra berbeda dari sebelum koma. Ezra yang selama ini dikenalnya selalu bersuara lembut, tapi Ezra yang sekarang ketus dan terkesan emosional. Apakah itu dampak dari kecelakaan itu? Ingatkan dirinya untuk bertanya pada dokter tentang hal ini.

Kini semuanya sudah berada di luar ruangan, tentu pintupun tertutup rapat agar tidak terdengar oleh pasien. Dokter, Abi dan Umi Salimah kini berdiri saling berhadapan dengan jarak cukup dekat. Sedangkan dua perawat yang bertugas mencatat itu berada di belakang Dokter Jibril.

"Kenapa anak saya jadi begitu, Dok? Dia tidak ingat dirinya dan kami," tanya Umi Salimah dengan tak sabar.

"Kami belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada putra Kyai dan Nyai. Memang analisa sementara Ustad Ezra mengalami amnesia dan halusinasi efek dari kecelakaan tersebut. Tetapi kita perlu memastikan lebih lanjut dengan memeriksa kembali agar analisa saya menjadi akurat.

Untuk sementara saya sarankan agar Kyai dan Nyai tidak memaksakan dulu memanggil namanya dengan nama Ustad Ezra. Karena seperti yang kita lihat, ia terlihat tidak suka dan sangat yakin jika dia bukan Ustad tapi Clay. Nama yang disebutkan olehnya," terang Dokter Jibril.

"Seberapa parah dan berapa lama proses penyembuhan itu Dokter? Bukan, bukan kami tak bersyukur anak kami kembali sadar. Sungguh kami sangat gembira dan bersyukur sekali. Terima kasih saya ucapkan atas kerja keras dokter dan paramedis selama ini.

Tetapi sebagai orang tua yang tidak dikenali anaknya. Sungguh membuat kami terluka dan bersedih teramat sangat, walau kami sadari itu bukan karena kesengajaan. Namun, mendengar dan menghadapi langsung tentu rasanya sangat berbeda, Dokter."

Kali ini Abi El yang menyuarakan hatinya. Hatinya pun mendadak rapuh, putra satu-satunya calon penerus pesantren kini nampak berbeda. Ia takut jika Ezra tak bisa kembali seperti sifatnya yang dulu. Walau ia seorang kyai besar yang paham akan makna sebuah takdir Allah, tapi ia juga manusia biasa yang merasakan sakit jika tercubit dan kini ia merasakan hal itu.

Dokter Jibril memahami keresahan wali pasiennya, sesuatu hal yang wajar dialami. Terlebih ini bukan pertama kalinya ia berhadapan dengan wali pasien. Ia masih bersyukur wali pasiennya kini pemahaman agamanya sangat baik.

Hingga sebulan berjalan sejak Ezra dinyatakan koma, keduanya tidak terlalu menuntut dan banyak bertanya mengenai kapan putranya bisa sadar dan bangun dari koma. Mereka hanya akan menanyakan berkaitan dengan perkembangannya saja. Apakah ada kemajuan atau tidak, selebihnya mereka tak rewel sama sekali.

"Mohon maaf Kyai, mengenai kapan sembuh dan berapa lama proses penyembuhannya seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya. Kami sebagai tim medis tidak bisa memastikan, hanya bisa menyarankan dan memberikan pengobatan terbaik bagi setiap pasien.

Seperti Pak Kyai dan Nyai, kami juga sangat bersyukur Ustad Ezra sudah bisa tersadar dari komanya. Walau sesuatu yang tidak kita harapkan terjadi tapi ini bagian dari proses sembuhnya Pak Ustad."

Abi El dan Umi, keduanya memejamkan mata sesaat sebelum membuka kembali setelah mendengar penjelasan dari dokter.

"Ya benar Dok, ini bagian dari proses itu. Semoga Allah memberi kesabaran lebih banyak pada kami," ucap Abi El dengan nada lemah.

"Amiin." Serempak mereka yang disana mengaminkan perkataan Abi El.

"Kami akan menjadwalkan pemeriksaan lebih lanjut pada Ustad, Kyai. Jadwalnya akan menyusul dan akan kami infokan pada Kyai dan Nyai. Apa masih ada yang ingin ditanyakan Kyai?" ucap Dokter JIbril.

Abi El menghela nafas, ia berusaha tersenyum saat menjawab pertanyaan dokter. "Tidak ada Dok, sementara cukup."

"Baik kalau begitu, beberapa saat lagi alat-alat medis yang terpasang di tubuh Ustad akan dilepas. Seperti alat bantu oksigen dan lainnya. Ustad juga akan kami pindahkan ke ruang rawat agar lebih nyaman."

"Terima kasih Dokter, lakukan saja yang terbaik. Kami pasrahkan semuanya pada Dokter di sini."

Dokter Jibril dan dua perawat itupun pamit meninggalkan pasangan paruh baya itu di depan ruangan Ezra. Kini keduanya duduk di bangku yang ada di depan ruangan. Belum sanggup untuk masuk dan menghadapi Ezra yang sama sekali tidak mengenali mereka. Keduanya sama-sama diam, walau Umi Salimah itu beberapa kali mengeluh dan mengadu pada suaminya tapi Abi El mengajak istrinya itu untuk lebih bersabar dan banyak mengucap kalimat dzikir.

Mereka pun membiarkan begitu saja beberapa perawat yang masuk untuk melepaskan alat-alat yang melekat di tubuh Ezra dan menyiapkan Ezra untuk pindah ke ruang rawat. Menit pun berlalu hingga brangkar Ezra keluar dari ruangan. Abi El dan Umi pun bangkit mengikuti langkah perawat yang memindahkan tubuh Ezra.

Ezra yang melihat keduanya mengikuti brangkar yang membawanya pergi, sekali lagi memicingkan mata. Kenapa mereka tetap mengikuti? Bukankah mereka sudah tau jika aku adalah Clay, bukan Ezra gerutunya dalam hati. Tetapi ia biarkan saja untuk saat ini tak ingin ambil pusing. Toh ia bisa memanfaatkan keduanya. Setidaknya urusan biaya rumah sakit aman begitu pikirnya. Kini Ezra sudah berada di ruang rawat inap VVIP.

Cukup kaya juga orang tua itu, gumamnya. Karena sebelumnya ia berpikir akan dipindahkan ke ruang rawat biasa. Kini hanya selang infus saja yang masih menempel di pergelangan tangannya walau Ezra (yang selanjutnya akan ditulis Clay oleh otor ya, agar memudahkan pembaca dan otor sendiri) kesal tubuhnya masih belum bisa banyak bergerak. Hanya kedua tangan dan kepala saja, sedangkan lainnya terasa sangat kaku.

"Mau minum, Nak?" tanya Umi Salimah.

Setelah ketiganya diam beberapa saat dan hanya meninggalkan mereka bertiga di ruangan yang baru.

"Ckk, aku bukan anakmu dan aku tidak haus," ketus Clay.

Tidak suka atas tawaran Umi Salimah. Ia tidak terbiasa diperhatikan seperti itu. Kehidupannya keras sejak kecil. Baginya hal-hal seperti itu hanyalah bentuk kemunafikan saja karena menginginkan sesuatu darinya. Itulah yang selama ini tertanam dari seorang Clay. Umi tersenyum sedih, ditolak dan tidak diakui sebagai Ibu membuat sisi hatinya terkoyak. Abi El mengerti akan kesedihan istrinya itu. Ia pun menarik tubuh sang istri dan mengusap-usap punggungnya.

"Baiklah, jadi kami harus memanggilmu apa? Ezra atau ...,"

"Clay," potong Clay cepat.

Membuat Abi El menghela nafas panjang agar bisa sedikit banyak memberi ruang kesabaran bagi hatinya yang juga sedang terluka.

"Baik, Nak Clay. Kami akan memanggilmu begitu."

"Cukup Clay, tanpa embel-embel Nak atau Anak. Saya bukan anak kalian camkan itu."

Lagi Clay menjawab dengan ketus, membuat pasangan paruh baya itu mengucap istigfar berkali-kali. Keheningan pun tercipta, baik Abi El, Umi Salimah dan Clay lebih memilih berdiam diri. Menenangkan diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga sebuah suara derit pintu terbuka secara terburu-buru. Membuat semua pasang mata yang berada di sana menoleh serempak pada sosok yang muncul di depan mereka.

"Ck siapa lagi ini?" ucap Clay dengan wajah kesal.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status