“Sepertinya ada yang menekan bel,” ucap Shanaya sambil menahan dada Oriaga yang sudah berada di atas tubuhnya malam itu.“Sudah abaikan saja, lagi pula siapa juga yang malam-malam ingin datang bertamu,” balas Oriaga yang tak ingin momen kebersamaannya dengan Shanaya terganggu. Oriaga mencium bibir Shanaya lembut, mengusap pipi gadis itu dan hendak memulai foreplay mereka saat lagi-lagi bel pintu penthouse berbunyi.“Ish, itu belnya berbunyi lagi. Coba lihat dulu! Mungkin Papa atau Pak Wira, siapa tahu ada hal penting,” ujar Shanaya. Dia menepuk lengan meminta Oriaga agar menyingkir dari atas tubuhnya.Oriaga pun mencebik kesal, meski begitu dia akhirnya bangkit keluar lantas melihat siapa yang datang malam-malam dan mengganggu waktu bercintanya. Dia tampak semakin kesal setelah mengintip dari monitor yang terpasang di dinding, karena ternyata Isaak lah yang menekan bel berulang kali.“Papamu itu mau apa malam-malam datang ke sini,” ujar Oriaga sambil menoleh Shanaya yang mengekor di
Hari itu selama sehari penuh Shanaya betah berada di rumah Isaak karena ada bayi Amora yang baru saja lahir. Dia sangat suka dengan bayi laki-laki itu, apalagi saat mencium wangi dari parfum bayi yang menguar.“Kalau capek menggendongnya, taruh saja di box,” ucap Amora karena Shanaya terus memangku Xavi — putra keduanya dan Isaak.“Tidak, aku tidak capek, Ma. Aku suka menimangnya seperti ini,” balas Shanaya.“Apa kaamu tidak mau pulang? Ini sudah malam, bagaimana kalau Oriaga mencarimu?” tanya Amora karena Shanaya berada di sana sejak pagi hingga malam hari.“Kalau dia sudah pulang, paling juga akan mencari ke sini, Mama tidak perlu cemas,” jawab Shanaya.“Kalau Mama capek, tidur saja dulu, biar aku yang menjaga Xavi,” ujar Shanaya lagi karena senang memiliki adik bayi.Amora hanya mengedikkan bahu, lantas memilih beristirahat sejenak karena menjadi ibu baru memang sedikit melelahkan.Sementara itu, tanpa Shanaya tahu Oriaga baru saja pulang. Pria itu sudah masuk ke penthousenya dan b
"Hadeh Nona, bagi orang yang sudah menikah mengingat kapan waktu datang bulan itu sangat penting."Shanaya menekuk bibir, sejenak memikirkan ucapan Pak Wira setelah itu membalas.“Tidak usahlah, Pak. Aku yakin hanya masuk angin."“Coba tes saja, tidak ada salahnya Nona mencoba. Lagipula saya sudah susah payah membelinya di apotek, sampai-sampai penjaga apotek menatap aneh karena mungkin berpikir kenapa aki-aki macam saya ini membeli testpack,” ujar pak Wira sedikit memaksa.Shanaya masih bergeming menatap testpack itu, sebelum mengangsurkan tatapan ke Pak Wira yang masih menyodorkan barang itu di depan mukanya. “Tidak ada salahnya dicoba, biar tidak penasaran juga, Nona,” ucap Pak Wira lagi.Shanaya pun akhirnya mau menerima tetspack itu karena Pak Wira terus memaksa.“Ya sudah, tapi aku gunakan nanti saja,” ucap Shanaya lantas menyimpan testpack itu di laci.“Ingat, jangan lupa dipakai!" Pak Wira mengingatkan sebelum pergi meninggalkan Shanaya di kamar sendirian.Shanaya memperhatik
Hari itu cuaca tidak begitu panas juga tidak tampak seperti akan turun hujan, langit seperti mendukung apa yang akan Shanaya lakukan hari itu.Shanaya menoleh Oriaga yang sedang mengemudi. Meski sempat berdebat, tapi dia akhirnya berhasil mengajak Oriaga pergi ke rumah Nugroho. Sesaat setelah sampai di sana, Shanaya dan Oriaga sama-sama dibuat terkejut karena melihat sebuah kedai makanan di depan rumah Nugroho. Kedai itu bahkan tampak ramai pembeli. Shanaya yang awalnya bingung pun seketika merasa bersyukur karena Ariani mau bekerja.“Ibu tirimu benar-benar serius membuka usaha sendiri," ucap Oriaga saat baru saja memarkirkan mobil. "Hm ... setidaknya dia berubah dan tak lagi seenaknya memanfaatkan orang lain demi keuntungan pribadi,” balas Shanaya sambil memulas senyum.Oriaga pun mengangguk, mereka keluar dari mobil bersama lantas berjalan menuju rumah.Shanaya terus memperhatikan Ariani yang sedang melayani pelanggan. Ariani yang melihat kedatangan Oriaga dan Shanaya, lantas meno
Hari itu Oriaga mengajak Shanaya pergi ke rumah utama, karena sudah lama mereka tidak menginjakkan kaki di sana. Sebenarnya Oriaga juga ingin melihat bagaimana reaksi Shanaya sebelum dia mengajak calon ibu dari anaknya itu kembali tinggal di sana. Shanaya tampak bersikap biasa, meskipun dalam hati dia merasa sedih sekaligus senang. Bagaimanapun juga rumah utama memberikan banyak kenangan baginya, setiap sudut rumah itu seolah memiliki cerita tersendiri.“Rumahnya masih sama,” ucap Shanaya sambil menatap rumah mewah itu.“Memangnya kamu pikir akan berubah seperti apa?” Oriaga malah menanggapi ucapan Shanaya dengan candaan, hingga membuat sang istri tertawa. “Ayo keluar!” ajak Oriaga sambil membuka pintu mobil.Shanaya pun menganggukkan kepala, dia melepas seatbelt sambil memandang Oriaga yang selalu membuatnya terpesona. Oriaga bergegas membukakan pintu sebelum pelayan mendekat, pria itu bahkan meletakkan tangan di atas kepala Shanaya.“Selamat datang.”Pak Wira dan pelayan menyambut
“Kalian datang.” Amora terlihat senang melihat Shanaya datang bersama Oriaga ke penthousenya sore itu. Padahal hampir setiap hari sang anak dan menantunya datang.Shanaya hanya mengangguk membalas ucapan Amora. Dia kemudian duduk di samping baby box tempat Xavi berbaring.“Dia lucu sekali,” ucap Shanaya sambil menusuk-nusuk pelan pipi adik bayinya itu.“Kalian dari mana? Apa dari rumah utama langsung ke sini?” tanya Isaak yang kebetulan juga sudah berada di sana. Pria itu mendekat sambil mengaduk cairan pekat bercampur susu di cangkir. Oriaga langsung melirik Isaak, tentu saja ada arti dari tatapan matanya itu.“Tidak! Kami baru saja dari rumah sakit untuk melihat calon bayi kami,” jawab Oriaga penuh rasa bangga. Meskipun di dalam hati dia sedikit kesal karena lupa menanyakan hal penting ke dokter kandungan. Amora dan Isaak langsung saling tatap. Mereka hampir saja tertawa, lantas melihat Oriaga yang mengeluarkan sesuatu dari saku kemeja.“Lihat, ini hasil USG calon bayi kami. Dia p
Hari itu Kirana dan Elkan pergi ke apartemen Isaak. Mereka memang sengaja datang ke sana untuk menjenguk bayi Amora.“Dia lucu sekali.” Kirana memangku bayi Amora sambil sesekali menusuk pipi bayi itu.Elkan duduk di samping Kirana sambil memangku Celine. Dia ikut menatap keponakannya itu seraya memberitahu Celine bahwa Xavi adalah sepupunya.Mereka larut dalam keceriaan, hingga Elkan tiba-tiba bertanya pada Amora, saat kakak kandungnya itu menyuguhkan teh untuknya dan Kirana.“Apa Kakak sudah membantu bicara ke Papa dan Mama soal rencanaku ingin menikahi Kirana?” tanya Elkan bahkan sebelum Amora mendaratkan bokong di kursi.Kirana langsung menoleh Elkan saat mendengar pertanyaan pria itu. Wajahnta menunjukkan gurat keterkejutan, lantas menatap ke Amora.“Sudah,” jawab Amora lugas.“Lalu? Apa kata mereka?” Elkan penasaran, meskipun di dalam hati sudah memutuskan. Elkan berjanji pada dirinya sendiri, mau mendapat atau tidak izin dari kedua orang tuanya, dia akan tetap menikahi Kirana.
Hari itu Shanaya dan Oriaga ke rumah sakit untuk mengecek kondisi kandungan Shanaya. Oriaga terlihat tak tenang. Dia tampak canggung dengan sekitar, apalagi banyak orang yang juga sedang menunggu giliran untuk diperiksa.Sebenarnya Oriaga sudah meminta Shanaya menemui dokter secara private, tapi Shanaya malah memilih antrean biasa dengan alasan tidak perlu membiasakan calon anak mereka menikmati fasilitas mewah sejak dari kandungan.“Di sini banyak sekali orang,” bisik Oriaga. Entah kenapa Oriaga tiba-tiba merasa malu karena orang-orang tampak memandang aneh padanya. Padahal sebelumnya dia tidak peduli dan bersikap cuek.Shanaya bahkan sampai terkejut mendengar ucapan suaminya itu. Dia sempat memindai wajah Oriaga sebelum menjawab," “Ya, namanya juga tempat umum, pasti ramai."“Bukan begitu,” ucap Oriaga sambil memperlihatkan rasa tak nyamannya.Shanaya menatap bingung ke Oriaga, suaminya itu tampak begitu gelisah tak seperti biasa.“Lihat tatapan mata mereka ke kita, apa mereka mengi