Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Hawa malam yang lembap menyelinap masuk lewat celah-celah jendela dapur, membuat aroma sup hangat dan bumbu tumis semakin terasa menggoda.
Evi sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk para majikannya. Tangannya cekatan memotong seledri dan menaburkannya ke dalam mangkuk sup yang mengepul harum.
Di atas kompor, daging tumis lada hitam telah matang sempurna, sementara ikan goreng tepung keemasan baru saja dia tiriskan.
Semua menu favorit Liam telah dia buat dengan trampil seperti biasanya. Setiap bumbu dia racik dengan takaran yang nyaris sempurna, bukan karena cinta—tapi karena tugas.
Namun entah mengapa, setiap kali memasak sesuatu yang disukai pria itu, hatinya ikut berdebar, seakan menunggu pengakuan yang tak pernah benar-benar dia minta.
Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak terdengar mendekat. Suara yang sudah sangat dia kenal, dan selalu membuatnya waspada.
“Evi?”
“Oh! Jadi, orang tua kamu tidak pernah menghubungimu dan protes kalau dia minta cucu darimu, huh?” serang Nala dengan nada menyudutkan.Liam mengangkat alisnya perlahan. Pandangannya tajam dan sinis, tak menyukai arah pembicaraan yang mulai menyentuh batas privasi keluarganya.“Apa maksudmu bawa-bawa nama orang tuaku?” tanyanya pelan namun tajam. “Bahkan hubungan kamu saja dengan mereka tidak pernah akur.”Nada suara Liam tidak meninggi, tetapi cukup tajam untuk melukai harga diri Nala. Sebuah serangan balik yang tak butuh teriakan, hanya fakta dingin yang disampaikan tanpa belas kasihan.“Ya. Tidak pernah akur sampai-sampai menuduhku yang tidak mau punya anak,” balas Nala cepat dan tak mau kalah. Matanya membara, rahangnya mengeras, dan tangannya mulai mengepal erat di atas meja.“Memang dari awal kamu yang menolak, Nala. Jangan pura-pura amnesia,” ucap Liam santai sembari menyeruput air minumnya dengan elegan.Nada santainya justru membuat Nala makin murka. Tangan yang semula mengep
Evi yang tengah mencuci peralatan dapur bekas masak tadi sontak menghentikan pergerakannya.Suara air dari keran masih mengalir deras, namun tangan Evi membeku di atas tumpukan piring berminyak.Hatinya langsung mencelos begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut Nala barusan.Perlahan, dia melirik ke arah ruang makan dari balik dinding dapur. Tatapannya tajam namun penuh kehati-hatian, seperti seseorang yang sedang menguping pembicaraan yang tidak boleh didengar.Di sana, Nala duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, sementara Liam menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.Liam mengerutkan keningnya. Ucapan Nala barusan membuat alisnya terangkat dan dahinya mengernyit seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar.“Anak?” ulang Liam, suaranya rendah namun terdengar jelas, nyaris bercampur bingung dengan sinis.Nala mengangguk cepat dengan antusias. Senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ucapannya barusan
Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Hawa malam yang lembap menyelinap masuk lewat celah-celah jendela dapur, membuat aroma sup hangat dan bumbu tumis semakin terasa menggoda.Evi sedang sibuk di dapur menyiapkan makan malam untuk para majikannya. Tangannya cekatan memotong seledri dan menaburkannya ke dalam mangkuk sup yang mengepul harum.Di atas kompor, daging tumis lada hitam telah matang sempurna, sementara ikan goreng tepung keemasan baru saja dia tiriskan.Semua menu favorit Liam telah dia buat dengan trampil seperti biasanya. Setiap bumbu dia racik dengan takaran yang nyaris sempurna, bukan karena cinta—tapi karena tugas.Namun entah mengapa, setiap kali memasak sesuatu yang disukai pria itu, hatinya ikut berdebar, seakan menunggu pengakuan yang tak pernah benar-benar dia minta.Tiba-tiba, suara langkah sepatu hak terdengar mendekat. Suara yang sudah sangat dia kenal, dan selalu membuatnya waspada.“Evi?”
Liam baru saja tiba di kantor. Suasana masih lengang, belum banyak karyawan yang datang.Sinar matahari pagi menembus jendela besar ruangannya, menerangi meja kerjanya yang tertata rapi.Dia baru saja duduk di kursi putar kulit hitam kesayangannya ketika pintu ruangannya terbuka pelan.“Masih pagi, Ardi. Kamu sudah bawa tumpukan dokumen aja,” ucap Liam setengah malas ketika melihat Ardi—sahabat sekaligus rekan kerjanya—muncul sambil menenteng map tebal berisi berkas-berkas yang sepertinya akan menyita banyak waktu.Ardi menyeringai sambil meletakkan dokumen-dokumen itu di meja Liam. “Pak Bos udah nanya dan harus segera konfirmasi ke kamu. Kayaknya dia mau mempercepat progresnya karena duitnya gede. Proyek luar negeri yang kemarin itu,” jelasnya lalu menjatuhkan diri ke sofa di sudut ruangan dan menyilangkan kaki dengan santai.Liam menghela napas lalu mulai membuka halaman demi halaman berkas tersebut. Matanya menelusuri angka dan paragraf panjang dengan ekspresi serius.“Istrimu masi
“Nggak juga. Aku hanya bicara fakta,” ucap Liam pelan dan matanya tak lepas dari wajah Nala yang kini terlihat memerah karena kesal.Wajah itu—yang dulu dia kira anggun dan kuat—kini hanya tampak penuh tuntutan dan keluhan.Tatapan Nala menyala marah, tapi dia tidak berkata apa-apa lagi.Bibirnya terkatup rapat dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Napasnya naik turun menahan emosi yang jelas sudah memuncak.Dengan langkah cepat dan berat, Nala berbalik lalu berjalan menuju kamar mandi. Suara pintu kamar mandi yang ditutup sedikit keras menggema di seisi kamar, namun Liam sama sekali tidak bergeming.Liam hanya menggeleng pelan, lalu menghela napas panjang seakan baru saja lolos dari medan pertempuran emosional.Dia meraih ponselnya di meja samping ranjang dan menyalakan layar. Sebuah pesan masuk dari Evi masih menyala di notifikasi.Evi: Terima kasih, Pak.Liam menatap pesan singkat itu. Ada se
Nala beranjak dari duduknya dengan gerakan cepat. Tumit sepatunya menghentak lantai keras, menciptakan bunyi nyaring yang membuat Evi refleks menegakkan tubuhnya.Tatapan dingin Nala menusuk wajah Evi seperti belati. Matanya menyipit penuh amarah, dan napasnya terdengar berat.“Kamu minta uang? Yang benar saja, Evi?!” Suaranya meninggi dan menggelegar di ruang tamu yang tadinya sunyi.“Bahkan kamu dapat informasi soal Liam ada di hotel aja dari aku. Dan kamu minta uang? Apa kamu gila, hah?!”Pekikan itu menghantam telinga Evi seperti tamparan. Tubuhnya langsung menciut. Bahunya menguncup, dan kepala tertunduk rendah. Matanya menatap lantai, nyaris tak sanggup mengangkat wajah.“Ma-maaf, Bu. Saya butuh uang untuk pengobatan ibu saya. Dan Ibu juga sudah menjanjik—”“Menjanjikan apa?!” Nala memotong dengan tajam dan matanya kini melebar.“Aku tidak pernah menjanjikan apa pun ke