Esok harinya, waktu sudah menunjuk angka lima sore.Langit sore itu memancarkan semburat jingga keemasan. Awan tipis melayang perlahan, seakan sengaja memberi jalan bagi matahari yang hendak turun di ufuk barat.Di rooftop apartemen sederhana itu, suasana berubah menjadi sakral. Tidak ada hiasan berlebihan, hanya beberapa rangkaian bunga putih yang dipasang Selly dan Alysa sejak pagi, kursi kayu berjejer rapi, dan altar kecil dengan kain putih sederhana.Evi berdiri di sisi ruangan yang telah ditata. Gaun putih sederhana melekat pada tubuhnya, jatuh dengan anggun hingga menyentuh lantai.Gaun itu bukan buatan desainer ternama, melainkan jahitan seorang penjahit langganannya sejak dulu.Namun justru kesederhanaan itulah yang membuatnya terlihat memukau. Rambutnya ditata Selly, disanggul rapi dengan hiasan bunga kecil.Senyumnya bergetar, tangannya dingin, namun matanya memancarkan cahaya bahagia.Di sisi lain, Liam berdiri tegap dengan
Lima bulan telah berlalu sejak Liam resmi melamar Evi. Waktu seolah berjalan dengan cepat, namun setiap detik terasa penuh warna bagi mereka.Kini, sore yang hangat di apartemen sederhana itu diselimuti kesibukan kecil. Bukan riuh rendah persiapan pesta besar dengan ratusan tamu, melainkan sentuhan sederhana yang justru memancarkan ketulusan.Selly sibuk menata bunga di sudut ruang tamu, tangannya cekatan merangkai mawar putih dengan pita satin yang ia beli khusus untuk hari istimewa itu.Wajahnya berbinar, sesekali dia bersenandung kecil. Di sampingnya, Alysa, adik Ardi, ikut membantu menggantungkan lampion kertas berwarna pastel di dekat jendela besar apartemen.“Eh, hati-hati, Kak Alysa. Jangan sampai jatuh,” kata Selly sambil menopang kursi yang diinjak Alysa.Alysa menoleh ke bawah dan tertawa kecil. “Tenang aja, aku nggak setinggi itu kok. Cuma perlu sedikit menjinjit.”Sementara itu, Evi duduk di kursi sambil m
Mereka sudah kembali ke apartemen.Dan Evi masih tertegun menatap cincin yang melingkar manis di jari manisnya. Hatinya seakan menari, masih sulit percaya bahwa Liam benar-benar baru saja melamarnya dengan cara yang begitu sederhana namun menggetarkan jiwa.Tangannya bergetar saat mengelus cincin itu, sementara senyumnya tak pernah lepas dari wajahnya.Selly yang sejak tadi berdiri di ambang pintu ruang tamu, akhirnya tak bisa menahan diri. Ia berlari kecil menghampiri kakaknya, lalu langsung memeluk erat tubuh Evi.“Mbak … akhirnya!” seru Selly dan matanya tampak berbinar penuh kebahagiaan.“Aku benar-benar bahagia banget lihat Mbak akhirnya dilamar sama Kak Liam. Rasanya kayak mimpi.”Evi terkekeh kecil, masih terhanyut dalam rasa haru.Ia mengusap rambut adiknya, lalu bertanya dengan tatapan menyelidik, “Selly … jangan bilang kamu sudah tahu dari awal kalau Mas Liam mau melamarku?”Selly mendongak dengan senyum penuh kemenangan. Wajahnya jelas-jelas tak bisa menyembunyikan rahasia.
Udara di restoran itu seolah menahan napas. Lilin di meja kecil di hadapan Evi bergoyang pelan, seperti ikut menyerap ketegangan yang mengalir di udara.Liam masih berlutut, cincin berkilau di tangannya, sementara mata tajamnya menatap Evi tanpa berkedip, penuh kesungguhan yang membuat dada siapa pun bisa bergetar.Evi menggenggam kedua tangannya di atas dada. Air matanya jatuh membasahi pipinya yang pucat.Tubuhnya gemetar halus, seolah kata-kata yang hendak ia keluarkan tertahan oleh benang kusut yang menjerat di kerongkongan.“Mas,” panggilnya lirih, nyaris patah. “Aku … aku takut.”Liam mengernyit, tapi tatapannya tetap lembut. “Takut apa, Vi?” tanyanya sedikit bingung.Air mata Evi makin deras. Ia menggeleng lemah, matanya berkilat antara sedih dan panik.“Aku takut … aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku sudah terlalu banyak dihina, dicibir, dianggap sial oleh orang-orang kam
Satu minggu setelah Nala dipenjara dan diputuskan hukuman selama dua belas tahun penjara. Hati Evi merasa lega meski sedikit iba pada wanita itu.Namun, Liam tak pernah mau Evi mengasihani wanita itu. Karena ulah Nala, Evi diusir dari kampungnya sendiri.Dan kini, Liam membawa Evi ke sebuah restoran untuk makan malam hanya berdua, di mana Evi pun tidak diberitahu.Dari kursi penumpang, Evi sesekali melirik ke arah pria di sebelahnya.Liam tampak tenang, matanya fokus ke jalan, sementara jemarinya mengetuk ringan setir mengikuti alunan musik lembut yang mengalir dari radio.“Kenapa sih kita harus makan di luar? Padahal aku bisa masak sesuatu di rumah,” gumam Evi, mencoba membuka percakapan.Liam hanya tersenyum kecil. “Sekali-sekali kamu harus menikmati sesuatu yang berbeda, Vi. Anggap saja malam ini aku ingin melakukan sesuatu yang istimewa.”Evi mengernyit bingung. “Istimewa? Ada apa?” tanyanya ing
Dua hari kemudian.Di ruang sidang yang sudah dipenuhi orang yang ingin melihat perkara apa lagi yang dilakukan oleh Nala.Nama Nala sudah terlalu sering jadi buah bibir: istri yang ditinggalkan, wanita yang katanya dikhianati, sekaligus sosok penuh skandal yang tak henti membuat sensasi.Di kursi terdakwa, Nala duduk dengan wajah penuh riasan tebal, bibir merah menyala, namun mata menyiratkan amarah bercampur kepanikan.Sesekali dia menoleh ke arah Liam yang duduk di kursi penggugat bersama kuasa hukumnya.Di samping Liam, Evi juga hadir, wajahnya pucat pasi, namun berusaha tegar meski tatapan penuh benci dari Nala menusuknya dari kejauhan.Hakim kemudian mengetuk palu, memulai jalannya sidang.“Sidang dibuka kembali. Hari ini kita akan mendengarkan keterangan tambahan dari pihak tergugat. Saudari Nala, apakah ada yang ingin saudari sampaikan?”Nala bangkit perlahan dan langkahnya sengaja dibuat dramatis, seakan dia sedang berada di panggung sandiwara.Dia menarik napas panjang lalu