MasukPemandangan itu hanya sekejap, sebuah lukisan pualam yang segera dihapus oleh kegelapan yang lebih pekat. Broto mengangkat kain hitam legam itu tinggi-tinggi, tetesan darah dan rempah jatuh kembali ke dalam baskom perak.
Dengan satu gerakan cepat, ia menyelimuti tubuh Wulan yang terbaring pasrah.
Kain itu dingin, basah, dan berat. Seketika, bau anyir darah yang menyengat menyerbu hidung Wulan, bercampur dengan aroma wangi melati yang kini terasa memuakkan.
Gelombang mual menghantam perutnya. Ia mengernyit, menahan keinginan untuk muntah. Napasnya ia atur, pendek dan cepat melalui mulut, mencoba menyaring udara busuk itu.
Kain basah itu menempel erat di setiap jengkal kulitnya, dari lekuk lehernya hingga ke lutut, seperti kulit kedua yang dingin dan lengket.
Alih-alih menyembunyikan, kain itu justru mencetak bentuk tubuhnya dengan lebih jelas. Di bawah sinar bulan yang pucat, siluet tubuh Wulan yang terbungkus kain hitam itu tampak seperti patung gelap yang basah, setiap lekuknya terpahat sempurna dan menantang.
Broto menelan ludah, menekan gejolak panas di pangkal pahanya.
Ia melangkah mendekat, jarinya yang besar dan kasar terulur. Telunjuknya menempel lembut di dagu Wulan yang runcing, lalu mendorongnya perlahan hingga wajah gadis itu menengadah ke langit. Tatapannya kosong, pasrah.
"Jangan melawan apa yang akan kau rasakan. Terima saja," bisik Broto, suaranya serak.
Jari itu kemudian mulai menari. Ia turun dari dagu, menelusuri garis leher Wulan yang jenjang. Terasa geli saat ujung kukunya menggesek kulit di atas kain yang basah itu.
Jari itu terus turun, berhenti sejenak di cekungan di antara tulang selangkanya, sebelum meluncur lebih rendah, membelah gundukan kembarnya. Wulan merasakan napasnya tertahan.
Perjalanan jari itu berlanjut, menyusuri perutnya yang rata, lalu berputar-putar di sekitar pusarnya, mengirimkan sengatan-sengatan aneh ke seluruh tubuhnya.
Gairah yang sebelumnya hanya percikan kini menjadi kobaran api. Tubuhnya tanpa sadar menggeliat pelan di atas batu yang dingin.
Tangannya mencengkeram tepi batu lebih erat, buku-buku jarinya memutih, mencoba menahan tubuhnya agar tidak melengkung keenakan.
Jari itu berhenti tepat di atas gundukan venusnya, menekan lembut dari luar kain. Wulan tersentak, sebuah desahan kecil lolos dari bibirnya yang setengah terbuka.
Tiba-tiba, dengan gerakan yang cepat dan tak terduga, jari itu melesat kembali ke pusarnya.
Kali ini, tekanannya tidak lagi lembut. Broto menancapkan ujung telunjuknya dengan paksa ke dalam lubang kecil itu.
"NGHH!" Wulan memekik tertahan.
Rasa perih yang tajam menusuk perutnya. Jari Broto yang besar terasa merobek pusarnya yang mungil.
Ia menggali, memutar, memaksa masuk lebih dalam. Wulan merasakan sakit. Sangat sakit.
Namun di balik rasa sakit itu, api gairah yang tadi berkobar meledak menjadi lahar panas. Perutnya kejang. Seluruh syarafnya seakan ditarik antara siksaan dan kenikmatan puncak.
Wulan menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, menahan jeritan yang bisa jadi adalah teriakan kesakitan atau desahan kenikmatan.
Ia tidak tahu lagi. Tubuhnya menggelinjang hebat di atas altar batu, pinggulnya terangkat, punggungnya melengkung.
"Tahan.. Sebentar lagi." Suara Broto terdengar jauh, seperti datang dari seberang sungai.
Setelah terasa cukup, Broto menarik jarinya keluar dengan kasar. Wulan terkesiap, tubuhnya lemas seketika, terengah-engah dengan napas yang memburu.
Matanya berkaca-kaca, menatap Broto dengan pandangan kabur.
Broto mengangkat telunjuknya di bawah cahaya bulan. Di ujung jarinya, ada noda darah segar yang berkilauan.
Ia tersenyum puas, seringai serigala yang telah menemukan titik lemah mangsanya.
"Lihat?" Ia menunjukkan jari itu ke hadapan wajah Wulan. "Pintu pertama sudah terbuka. Sekarang, bersiaplah untuk tamu kita."
Jantung Broto sendiri berdebar kencang. Inilah intinya. Bagian paling berbahaya, di mana satu kesalahan kecil bisa membuat mereka berdua dimangsa oleh kekuatan yang ia panggil.
Seolah menjawab penantian itu, dari kedalaman hutan di seberang sungai, seekor anjing gunung melolong panjang dan sedih.
Lolongan itu segera disambut oleh puluhan lolongan lain dari segala penjuru, menciptakan paduan suara yang mengerikan dan memilukan.
Pada saat yang sama, gumpalan awan hitam pekat bergerak dengan kecepatan tak wajar, menutupi bulan purnama sepenuhnya.
Cahaya perak yang tadi menyinari mereka lenyap seketika. Kegelapan absolut menelan segalanya. Hanya suara napas Wulan yang terengah-engah dan gemericik sungai yang terdengar.
Lalu, Wulan merasakannya.
Sesuatu bergerak di bawah kain hitam yang membungkusnya. Tepat di kulitnya.
Rasanya seperti sebuah tangan yang kasar, besar, dan dingin merayap dari lutut, lalu naik perlahan ke pahanya.
Mata Wulan membelalak ngeri dalam gelap. Itu bukan tangan Broto. Ia bisa melihat siluet Broto yang masih berdiri diam di sampingnya.
"Mbah…" bisiknya ketakutan, suaranya bergetar hebat.
Tangan itu terus merayap naik. Sentuhannya tidak terburu-buru, seolah sedang menjelajahi wilayah baru. Wulan gemetar hebat, bukan lagi karena dingin, melainkan karena teror murni.
Namun, saat jari-jari kasar itu membelai paha bagian dalamnya, sengatan kenikmatan yang luar biasa dahsyat menyetrumnya, jauh lebih kuat dari sentuhan Broto tadi.
Ia menggigit bibirnya lebih keras hingga berdarah, mencoba membungkam desahan yang memaksa keluar.
Tangan itu tidak sendiri.
Tiba-tiba, ia merasakan tangan lain di punggungnya. Lalu satu lagi di perutnya.
Dua, tiga, empat, entah berapa banyak tangan kasar dan besar yang kini meraba-raba seluruh tubuhnya dari balik kain itu. Tangan-tangan tak terlihat yang bergerak dengan kehendak mereka sendiri.
Sepasang tangan meremas payudaranya dengan kasar, memelintir kuncupnya hingga Wulan menjerit lirih. Tangan lain mencubit pinggulnya dengan keras, meninggalkan rasa perih yang anehnya terasa nikmat.
Jari-jari panjang dan dingin menusuk-nusuk pusarnya yang masih perih, membuatnya menggelinjang hebat.
"Aahhh… Hentikan… Jangan…" Wulan mulai meracau, kepalanya menggeleng ke kiri dan kanan.
Tapi kata-katanya terdengar seperti permohonan untuk lebih, bukan untuk berhenti.
Setiap sentuhan adalah teror. Setiap sentuhan adalah kenikmatan yang tak tertahankan. Tubuhnya menjadi arena pertarungan antara rasa takut dan nafsu yang paling liar.
Ia tidak bisa lagi mengendalikan dirinya. Pinggulnya mulai bergerak-gerak, mengikuti ritme sentuhan tangan-tangan gaib itu.
"Nikmati, Wulan! Terima mereka! Jadilah satu dengan mereka!" Perintah Broto menggelegar di tengah kegelapan, terdengar seperti suara dewa.
Puncak kenikmatan datang bertubi-tubi, seperti gelombang pasang yang menghantamnya tanpa henti.
Satu, dua, tiga kali. Tubuhnya kejang hebat, setiap ototnya menegang hingga batasnya. Ia mendesah, menjerit, meracaukan kata-kata tak jelas.
Dunianya kini hanya berisi sensasi murni, tanpa pikiran, tanpa rasa takut, hanya gelombang pasang kenikmatan yang menenggelamkannya.
Kesadarannya mulai memudar. Tepat saat kegelapan di ujung matanya mulai merayap masuk, Broto bergerak.
Dengan sigap, ia mengambil sebuah benda dari samping baskom perak. Sebuah kayu jati tua berbentuk lingga, dipahat halus dengan ukiran-ukiran kuno, ujungnya tumpul namun kokoh.
Tanpa ragu, ia menyingkap sedikit ujung kain di antara paha Wulan yang terbuka. Dengan satu dorongan kuat, ia membenamkan lingga kayu itu ke dalam liang kenikmatan Wulan yang sudah basah dan berdenyut.
Tepat masuk ke inti gairahnya yang paling dalam.
"AAAAAAAAHHHHHHHH…."
Sebuah desahan panjang yang melengking keluar dari bibir Wulan, desahan terakhir yang membawa serta sisa-sisa kesadarannya. Matanya memutih, dan tubuhnya yang tadi tegang kini terkulai lemas di atas batu. Ia pingsan.
Saat itu juga, awan hitam yang menyelimuti bulan tersibak. Sinar purnama kembali menumpah, menerangi tubuh Wulan yang tak sadarkan diri, terbungkus kain hitam dengan lingga kayu yang masih tertancap di antara kedua pahanya.
Tangan-tangan gaib itu telah lenyap. Broto menghela napas panjang, napas lega yang luar biasa. Wajahnya basah oleh keringat. Ia berhasil.
Dengan perlahan, ia menarik lingga kayu itu keluar dari tubuh Wulan. Permukaan kayu itu kini basah, berlumuran darah yang bercampur dengan cairan gaib dari ritual itu.
Tanpa ragu, Broto mengangkat lingga itu ke depan wajahnya, lalu menjilat darah itu hingga bersih dengan lidahnya. Rasanya manis, asin, dan penuh kekuatan.
"HAHAHAHAHA… HAHAHAHAHA!"
Tawanya meledak, menggema di keheningan malam, tawa kemenangan yang buas dan penuh kebanggaan. Ia telah berhasil. Kontrak gaib itu telah disegel dengan darah dan kenikmatan.
Kini, Wulan bukan lagi sekadar gadis desa. Ia adalah miliknya. Ia adalah wadah bagi sekutunya.
Sebuah persekongkolan jahat antara manusia tamak dan siluman lapar telah terjalin. Wulan, dengan kecantikan dan dendamnya, telah menjadi boneka mereka yang paling indah dan paling mematikan.
Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti
Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat
Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika
Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."
Jalan setapak yang mereka lalui terasa semakin sempit saat malam merayap turun, menelan sisa-sisa warna lembayung di ufuk barat.Keheningan pasca-badai di rumah Jaya masih membayangi langkah mereka, sebuah keheningan yang sarat akan pengkhianatan dan hati yang hancur.Wulan berjalan di belakang Broto, bayangan tuannya itu tampak besar dan menjulang dalam kegelapan yang mulai pekat.Akar-akar pohon yang menonjol dari tanah menjadi jebakan tak terlihat, membuatnya beberapa kali nyaris tersandung.Broto berhenti. Ia merogoh saku celananya, lalu sebuah benda persegi panjang berwarna hitam legam ada di tangannya.Dengan satu sentuhan ibu jari, benda itu menyala, memancarkan seberkas cahaya putih yang tajam dan dingin, membelah kegelapan di depan mereka.Cahaya itu menyorot jalan tanah yang basah, menampakkan setiap kerikil dan daun kering dengan jelas.Wulan tertegun. Matanya terpaku pada sumber cahaya itu. Benda aneh yang ada di genggaman Broto.Di desanya dulu, ia pernah sekali melihat s
Helaan napas panjang dan bergetar itu memecah keheningan ruang tamu yang beku. Rani mengangkat kepalanya yang tertunduk, untuk pertama kalinya sejak Wulan keluar dari kamar Surya.Wajahnya yang dulu selalu terlihat anggun dan terawat kini pucat dan lumat oleh air mata yang telah mengering, menyisakan jejak-jejak keputusasaan.Matanya yang bengkak menatap kosong ke lantai kayu, tidak berani bertemu pandang dengan siapa pun."Aku… aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu, Kangmas."Suara Rani serak, nyaris tak terdengar. Kata-kata itu ditujukan untuk Jaya, sebilah pisau pertama yang ia hunjamkan ke jantung lelaki yang duduk membatu di seberangnya."Irwan… kami tumbuh di desa yang sama. Jauh sebelum aku datang ke sini."Jaya tidak bereaksi. Wajahnya seperti topeng pualam yang retak, matanya menatap lurus ke depan, melihat sesuatu yang tidak ada di sana."Lalu kenapa kau mau menikah denganku?" Suara Jaya datar, kosong, tanpa emosi. Sebuah pertanyaan dari reruntuhan hati.Tawa kecil yang get







