Home / Horor / Terjebak Gairah Siluman / 8. Purnama keramat

Share

8. Purnama keramat

Author: Lincooln
last update Last Updated: 2025-10-15 00:05:09

Malam yang dinantikan akhirnya merangkak tiba, menyeret selubung kelamnya ke puncak Halimun. Bulan purnama menggantung di kubah langit seperti mata pucat raksasa, sinarnya yang dingin dan tanpa belas kasihan menumpah ke bumi, mengubah hutan pinus menjadi lautan bayangan dan perak.

Di tengah sungai yang deras, yang airnya sedingin es mengalir dari puncak Halimun, Wulan duduk bersila. Batu pipih yang ia duduki terasa licin dan membekukan, seolah menyedot semua sisa kehangatan dari tubuhnya.

Ia hanya mengenakan sehelai kain jarik tipis yang sudah basah oleh percikan air. Kain itu menempel di kulitnya, menjiplak setiap lekuk tubuhnya yang kini padat dan kencang berkat latihan-latihan brutal Broto.

Angin malam menusuk tanpa ampun, membawa hawa gunung yang menggigit tulang. Tubuh Wulan menggigil hebat, giginya gemeletuk pelan, tetapi matanya tetap terpejam.

Napasnya ia atur dalam-dalam, mencoba mengabaikan hawa dingin yang merayap masuk ke sumsumnya. Dendamnya adalah api yang menghangatkan jiwanya dari dalam.

Malam ini adalah malam pembayaran. Jiwa dan raganya sudah siap.

Dari tepi sungai, di antara bayang-bayang pepohonan, Broto mengamati. Matanya yang kecil berkilat dalam gelap, memantulkan cahaya bulan.

Ia puas. Sangat puas.

Gadis itu telah berubah. Tubuhnya yang dulu hanya indah kini juga mematikan. Kelenturannya bukan lagi sekadar pesona, melainkan senjata. Setiap otot di paha dan betisnya terbentuk sempurna, menjanjikan kecepatan dan kekuatan.

Broto bisa melihatnya, bahkan dari kejauhan. Pemandangan Wulan yang menggigil, dengan kain basah yang nyaris transparan membalut tubuhnya, membangkitkan gairahnya.

Tapi Broto menahannya. Malam ini bukan untuk nafsu rendahan seperti itu. Malam ini adalah untuk sesuatu yang jauh lebih agung.

Tiba-tiba, simfoni malam terhenti. Suara jangkrik, derik serangga hutan, bahkan lolongan burung hantu yang biasa bersahutan di kejauhan, semuanya lenyap.

Gemericik air sungai yang deras menjadi satu-satunya suara, sebelum itu pun terasa meredam, seolah ditelan oleh keheningan absolut yang turun seperti selimut tebal. Kesunyian yang pekak. Kesunyian yang sakral.

Inilah tandanya.

Broto bergerak. Ia menghampiri obor-obor yang ditancapkan melingkari area sungai itu, empat buah di setiap penjuru mata angin.

Satu per satu, ia meniup apinya. Kegelapan langsung menelan mereka, hanya menyisakan cahaya perak pucat dari bulan purnama.

"Wulan."

Suara Broto terdengar berat dan bergema dalam keheningan.

Wulan membuka matanya. Ia tidak menoleh, hanya menatap lurus ke depan, ke arah aliran sungai yang gelap. "Aku siap, Mbah."

"Bagus. Sekarang, berdiri."

Wulan bangkit dengan gerakan yang anggun namun penuh kekuatan. Air menetes dari ujung kainnya, membentuk riak-riak kecil di permukaan sungai.

"Sudah tiba waktunya bagimu untuk melepaskan dunia lamamu. Lepaskan satu-satunya yang tersisa dari dunia itu."

Wulan menunduk, menatap kain jarik yang melilit tubuhnya. Kain terakhir yang ia kenakan saat berlari dari hutan larangan, kain yang menjadi saksi bisu kematian ibunya. Tangannya gemetar saat menyentuh simpul di pinggangnya.

"Jangan ragu," desis Broto. "Kau ingin balas dendam atau ingin terus memeluk masa lalumu yang menyedihkan?"

Kata-kata itu seperti tamparan. Wulan menarik napas tajam. Tangannya berhenti gemetar.

Dengan satu gerakan cepat, ia menarik simpul itu. Kain jarik itu melorot turun, jatuh ke dalam air dan langsung hanyut terbawa arus deras, lenyap ditelan kegelapan.

Kini ia berdiri polos di atas batu, di tengah sungai, di bawah tatapan bulan purnama dan tatapan Broto. Kulitnya yang putih mulus seolah menyerap cahaya bulan, berpendar dengan keindahan yang tidak wajar seperti patung pualam.

Setiap lekuk tubuhnya, dari bahunya yang halus, dadanya yang padat dan membusung dengan kuncup yang mengeras karena dingin, pinggangnya yang ramping, hingga pinggulnya yang bulat penuh, semuanya terpapar tanpa penghalang.

Broto menahan napas. Pemandangan itu lebih indah dan lebih menggoda dari apa pun yang pernah ia bayangkan.

Nafsu yang tadinya ia tekan kini bergejolak hebat, panas dan menuntut. Ia ingin berlari ke sana, meraih tubuh itu, merasakannya di bawah tangannya.

Namun ia menggelengkan kepalanya dengan keras, mengusir bayangan itu. "Fokus, Broto, fokus," gumamnya pada diri sendiri.

"Jangan rusak semuanya hanya karena otakmu gatal."

Wulan bisa merasakan tatapan itu. Tatapan lapar yang seolah melahap setiap inci kulitnya.

Dan seperti biasa, tubuhnya berkhianat. Panas menjalar di perut bagian bawahnya, membuat area paling pribadinya berdenyut basah.

Namun, rasa malu yang naluriah sebagai seorang perempuan membuatnya bergerak. Dengan gerakan refleks, ia menyilangkan lengannya di depan dada, sementara tangannya yang lain turun untuk menutupi pangkal pahanya.

Sebuah perlindungan yang sia-sia, yang justru semakin menonjolkan apa yang coba ia sembunyikan.

"Berbaring," perintah Broto dengan suara serak, mencoba mengendalikan gejolak dalam dirinya. "Di atas batu."

Wulan menurut. Ia berbaring telentang di atas batu pipih yang dingin dan basah. Punggungnya seolah menempel pada bongkahan es, tapi ia tidak peduli.

Ia hanya menatap langit malam, pada bulan yang menatapnya balik tanpa emosi.

Broto berbalik, berjalan menuju sebuah baskom perak besar yang telah ia siapkan di tepi sungai.

Di dalamnya, ada cairan kental berwarna hitam pekat. Darah ayam cemani jantan, yang disembelih tepat saat bulan mencapai puncaknya.

Broto menaburkan segenggam bunga melati, beberapa kuntum kenanga, dan irisan akar-akaran wangi ke dalam baskom itu.

Bau anyir darah yang pekat langsung bercampur dengan wangi bunga dan aroma tanah dari rempah-rempah. Sebuah kombinasi yang aneh, membuat perut mual.

Broto mencelupkan kedua tangannya ke dalam cairan itu, mengaduknya perlahan sambil mulutnya mulai berkomat-kamit.

"Ingsun ngundang roh leluhur, ingkang rumekseng ing wana… Ajegaken wadah punika, dadosaken pusaka…"

Mantra dalam bahasa kuno yang serak dan dalam mengalir dari bibirnya, sebuah bisikan yang lebih tua dari pohon-pohon di sekeliling mereka.

Setelah beberapa saat, ia mengangkat kedua tangannya. Cairan hitam pekat itu menetes dari sela-sela jarinya.

Ia meraih kain jarik milik Wulan yang tadi ia pungut dari sungai. Ia mencelupkan kain itu ke dalam baskom, menekannya hingga seluruh kain basah kuyup oleh campuran darah dan rempah.

Saat kain itu diangkat, warnanya telah berubah menjadi hitam legam, meneteskan cairan kental yang berbau menusuk. Broto membawa kain itu, berjalan menyeberangi sungai yang dangkal menuju tempat Wulan berbaring.

Ia berdiri di samping batu altar itu, menatap Wulan yang masih menutupi tubuhnya. Wajahnya yang polos tampak pasrah, namun matanya menyiratkan pergulatan antara rasa takut, malu, dan gairah yang aneh.

"Singkirkan tanganmu."

Wulan ragu-ragu.

"Kubilang, singkirkan!" bentak Broto, kesabarannya menipis.

Dengan gerakan kasar, ia menepis lengan Wulan yang menutupi dadanya. Lalu ia menyingkirkan tangan yang menutupi bagian bawahnya.

"Sekarang rentangkan tanganmu ke atas. Pegang ujung batu. Kakimu luruskan."

Wulan menurut tanpa perlawanan. Tubuhnya kini terbaring pasrah dalam posisi terbuka, membentuk huruf Y, mempersembahkan dirinya sepenuhnya pada malam dan ritual yang akan datang.

Setiap bagian tubuhnya yang paling intim kini terpapar jelas di bawah cahaya bulan dan tatapan tajam Broto.

Broto tersenyum puas. Sempurna.

Gairah di dalam diri Wulan mencapai puncaknya. Kepasrahan total ini, tatapan Broto yang seolah memiliki setiap inci tubuhnya, mengirimkan gelombang kenikmatan yang begitu kuat hingga kepalanya terasa pening.

Napasnya menjadi pendek dan cepat. Ia siap. Apa pun yang akan terjadi, ia siap menerimanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjebak Gairah Siluman   81. Pindah ke Jakarta

    Cahaya pagi yang pucat menyelinap masuk melalui celah-celah dinding bilik, menusuk kelopak mata Wulan yang masih terpejam. Ia terbangun bukan karena cahaya itu, melainkan karena rasa hampa yang dingin dan menusuk dari pusat tubuhnya.Sebuah kekosongan yang berdenyut, sisa dari ekstasi yang dipenggal paksa, kenikmatan brutal yang tertunda dari Batara Durja. Kondisi ini jauh lebih menyiksa daripada rasa sakit fisik mana pun. Tubuhnya terasa gatal dari dalam, sebuah kebutuhan yang tidak terpenuhi yang membuatnya gelisah.Ia bergerak perlahan di atas dipan bambu yang berderit. Tubuhnya telanjang, hanya udara pagi yang lembap yang menyelimutinya. Di sampingnya, sehelai kain jarik teronggok seperti kulit ular yang ditinggalkan.Wulan segera meraihnya, melilitkan kain itu dengan gerakan cepat dan rapat di sekeliling tubuhnya, seolah kain itu bisa mengisi kekosongan di dalam dirinya.Gubuk itu terasa sunyi. Suara Broto ti

  • Terjebak Gairah Siluman   80. Portal gaib

    Kepala Broto masih tertunduk dalam. Udara di sekelilingnya terasa berat, dipenuhi aura kekuatan gurunya yang kini tidak lagi membakar dengan nafsu, melainkan menekan dengan rasa ingin tahu yang dingin.Pertanyaan itu menggantung di antara mereka, lebih berat dari keheningan malam itu sendiri."Dia… wadah yang hamba temukan, Guru.""Aku tidak bertanya apa dia. Aku bertanya siapa dia." Suara Durja kembali menggema di benak Broto, tidak sabar."Tangisnya bukan tangis perempuan yang kehilangan kenikmatan. Itu tangis karena kehilangan sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang membuatnya mampu menolakku. Tidak ada manusia biasa yang bisa melakukannya."Broto menarik napas pelan, mengumpulkan kata-kata untuk merangkai sebuah kisah yang bukan miliknya. "Namanya Wulan. Dia tidak lahir di desa. Dia ditemukan.""Ditemukan di mana?""Di Hutan Larangan, Guru. Di tepi lembah yang menjadi bat

  • Terjebak Gairah Siluman   79. Siapa perempuan ini?

    Kekehan rendah yang bergetar di dada Durja adalah gempa kecil yang meruntuhkan sisa pertahanan Wulan.Ciuman itu berakhir dengan kasar, meninggalkan bibir Wulan bengkak dan perih, namun seluruh tubuhnya menjerit menginginkan lebih.Durja melepaskan cengkeramannya, hanya untuk mengangkat tubuh telanjang Wulan dengan mudah seolah ia tak berbobot.Dengan beberapa langkah, ia membanting tubuh Wulan ke atas batu pipih yang dingin di tepi sungai.Brakk"Emhh.."Punggung Wulan menghantam permukaan batu yang keras, membuatnya mengerang pelan. Namun rasa sakit itu segera lenyap, ditelan oleh gelombang gairah yang membakar.Sosok raksasa itu kini menjulang di atasnya, sebuah bayangan hitam mengerikan berlatar piringan purnama. Mata kuningnya yang menyala menatapnya dengan nafsu purba yang tak tertahankan.Tanpa basa-basi, Durja menekan tubuhnya, dan Wulan merasakan ujung kejantanannya yang luar biasa besar menekan pintu masuk liangnya yang telah basah oleh gairah dan ketakutan.Broto menyaksika

  • Terjebak Gairah Siluman   78. Sosok penakluk

    Akhirnya malam ritual pun tiba. Purnama menggantung sempurna di langit yang jernih, menumpahkan cahayanya ke atas hutan Halimun, mengubah daun-daun basah menjadi permata dan aliran sungai menjadi untaian perak cair.Di tepi sungai itu, di atas sebuah batu pipih yang dingin oleh embun malam, Wulan duduk bersila. Ia adalah persembahan yang hidup.Kain jarik yang membalutnya hanya menutupi separuh tubuhnya, dari dada hingga ke atas lutut. Simpul tunggal yang mengikat kain itu terselip di antara belahan dadanya. Dalam posisi bersila, pahanya yang putih mulus tersingkap, berkilauan diterpa cahaya bulan. Rambut hitamnya yang panjang bergelombang tergerai bebas, jatuh seperti tirai kelam di punggungnya yang putih mulus."Sudah siap?" suara Broto memecah keheningan dari balik punggungnya. Pria itu berdiri beberapa langkah di belakang, bersandar pada sebatang pohon besar, lengannya bersedekap."Saya siap, Mbah."

  • Terjebak Gairah Siluman   77. Batara Durja

    Jalan setapak yang mereka lalui terasa semakin sempit saat malam merayap turun, menelan sisa-sisa warna lembayung di ufuk barat.Keheningan pasca-badai di rumah Jaya masih membayangi langkah mereka, sebuah keheningan yang sarat akan pengkhianatan dan hati yang hancur.Wulan berjalan di belakang Broto, bayangan tuannya itu tampak besar dan menjulang dalam kegelapan yang mulai pekat.Akar-akar pohon yang menonjol dari tanah menjadi jebakan tak terlihat, membuatnya beberapa kali nyaris tersandung.Broto berhenti. Ia merogoh saku celananya, lalu sebuah benda persegi panjang berwarna hitam legam ada di tangannya.Dengan satu sentuhan ibu jari, benda itu menyala, memancarkan seberkas cahaya putih yang tajam dan dingin, membelah kegelapan di depan mereka.Cahaya itu menyorot jalan tanah yang basah, menampakkan setiap kerikil dan daun kering dengan jelas.Wulan tertegun. Matanya terpaku pada sumber cahaya itu. Benda aneh yang ada di genggaman Broto.Di desanya dulu, ia pernah sekali melihat s

  • Terjebak Gairah Siluman   76. Cinta buta (end case 1)

    Helaan napas panjang dan bergetar itu memecah keheningan ruang tamu yang beku. Rani mengangkat kepalanya yang tertunduk, untuk pertama kalinya sejak Wulan keluar dari kamar Surya.Wajahnya yang dulu selalu terlihat anggun dan terawat kini pucat dan lumat oleh air mata yang telah mengering, menyisakan jejak-jejak keputusasaan.Matanya yang bengkak menatap kosong ke lantai kayu, tidak berani bertemu pandang dengan siapa pun."Aku… aku mengenalnya sebelum aku mengenalmu, Kangmas."Suara Rani serak, nyaris tak terdengar. Kata-kata itu ditujukan untuk Jaya, sebilah pisau pertama yang ia hunjamkan ke jantung lelaki yang duduk membatu di seberangnya."Irwan… kami tumbuh di desa yang sama. Jauh sebelum aku datang ke sini."Jaya tidak bereaksi. Wajahnya seperti topeng pualam yang retak, matanya menatap lurus ke depan, melihat sesuatu yang tidak ada di sana."Lalu kenapa kau mau menikah denganku?" Suara Jaya datar, kosong, tanpa emosi. Sebuah pertanyaan dari reruntuhan hati.Tawa kecil yang get

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status