Lidah senja menjilat pucuk-pucuk pohon jati, mewarnai langit dengan palet jingga dan nila. Ningsih menepuk pelan gundukan tanah merah di hadapannya, jemarinya yang kapalan mengusap nisan kayu yang mulai lapuk.Seribu hari. Genap seribu hari ia mengunjungi pusara suaminya, membawa serta aroma tanah basah dari kebun dan sepi yang membusuk di dalam dada.Angin petang berdesir, membawa harum kembang kenanga dari pekarangan warga, tetapi bagi Ningsih, hanya bau tanah kuburan yang melekat di ujung hidungnya."Sudah seribu hari, Kangmas," bisiknya pada angin, suaranya serak ditelan gemerisik daun kering. "Apa kau baik-baik saja di sana? Aku di sini... sendiri."Ia menarik napas panjang, udara dingin menusuk paru-parunya.Sepi bukan lagi sekadar kata. Ia adalah selimut yang membungkusnya setiap malam, hantu yang duduk menemaninya di meja makan, dan beban yang menekan pundaknya saat ia mencangkul di kebun.Ningsih merapikan kain jariknya, lalu bangkit dengan lutut yang terasa ngilu. Jalan seta
Last Updated : 2025-10-13 Read more