Terima kasih Kakak sudah baca karya pertamaku ini. Jangan lupa dukung dan beri ulasan ya, semoga sehat selalu
Viana tak berani menatap mata Galla karena takut pria itu tahu bahwa dia berbohong. Viana melangkah menuju walk in closet. Berganti baju dan mencari pil pencegah kehamilan yang dia simpan di dalam tumpukan bajunya.Viana memandang pil itu. Entah sampai kapan dia harus minum pil agar tidak hamil karena Teofilano tidak berhenti-berhenti mengajaknya berhubungan badan sementara Galla tidak mau melepaskannya. Padahal dia takut kandungannya kering jika kelamaan mengkonsumsi obat-obatan seperti ini.Usai minum pil Viana duduk disamping Galla. “Kamu sibuk?”“Nggak terlalu, kenapa?”“Nggak apa.” Viana merangkul Galla sembari meletakkan dagunya di atas bahu pria itu. Melihat layar laptop Galla yang isinya berita ekonomi.Galla menoleh ke Viana, melempar senyum sebelum mengecup bibirnya yang tanpa lipstik. “Aku seneng kamu seperti ini.”“Seperti ini apa?” Viana tidak mengerti.“Kamu memelukku sembari menaruh dagumu di atas bahuku.”Viana tersipu malu. Ini tindakan tak sengaja, tak menyangka Gall
“Trus kamu percaya gitu aja tanpa tanya ke aku?”“Pikirku tanya juga percuma, pasti kamu nggak akan ngaku.” sesal Cherry.Viana hanya bisa menarik nafas, mencoba mengerti Cherry, meski kecewa.Perlahan hati Viana melunak, tidak jadi kesal setelah mendengar cerita Cherry. Sekarang perhatiannya pindah ke Jasmine, Viana tidak menyangka selingkuhan Galla itu mencoba merusak persahabatannya dengan Cherry.Cherry mengulurkan tangan kepada Viana. “Aku minta maaf.”“Ya.” Viana menerima uluran tangan Cherry. Lalu pelukan.“Aku punya rahasia satu lagi.”Viana mengurai pelukan Cherry. “Apa itu?”“Sambil duduk ya, aku capek.”Viana tidak menolak, dia menyusul Cherry duduk di sofa. Penasaran sekaligus gelisah menyergap hatinya, menunggu Cherry menceritakan rahasia selanjutnya.“Well shop yang bikin kamu bangkrut ternyata Jasmine.”Viana tercenggang. “Yang bener.”“Jadi gini. Tiap 3 bulan sekali keluarga Ibu mertuaku ngumpul sama keluarga besar. Tempatnya pindah-pindah. Misal bulan ini di rumah Ib
Dimata Viana, Cherry dulu tomboy dan apa adanya. Tapi setelah menikah menjadi feminim dan seperti bukan dirinya. Viana tahu seiring bertambah usia cara berpikir orang berubah. Makin dewasa dan bijaksana.Kecuali dirinya. Dia tidak mau jadi dewasa karena orang dewasa banyak masalah. Dia tetap ingin menjadi anak kecil yang selalu dilindungi dan dicintai, tak perlu menguatirkan apapun meskipun bumi gonjang ganjing karena tahu ada yang melindungi.Viana memperhatikan Cherry yang tiba-tiba acuh tak acuh padanya. ‘Apa dia sedang PMS?’Ada banyak pertanyaan di kepala Viana. Namun akhirnya memilih diam. Bukankah sudah terlalu sering dia tiba-tiba didiami seperti ini?Viana tidak akan marah, karena sudah latihan sama Vonny dan Gustav.“Cherry aku mau pulang dulu, mataku sudah mulai ngantuk,” pamit Viana. Lalu mengambil tote bag miliknya yang di dalamnya ada ATM dengan saldo 100 juta dollar.‘Jika Cherry tak mau menganggapku sahabatnya lagi, aku akan bersahabat dengan uang mulai sekarang, karen
Viana tidak lupa, tapi tetap saja tidak enak hati kepada Cintya setelah melayani Teofilano sampai tidak kuat berdiri lagi. Jujur saja dia berpikir, jika Teofilano mau seperti ini dan 3x seminggu, kapan waktu untuk Cinta dan Lauren?Viana tahu rasanya diselingkuhi. Dulu dia pikir Galla tak memberinya nafkah batin karena dia tidak menarik, jelek dan perasaan rendah diri tak berdaya lainnya. Ternyata karena sudah puas di luar. Viana tidak mau Cintya dan Lauren tidak kebagian apa-apa seperti itu.Viana : Bagaimana jika kita membuat kesepakatan?Nomor tak dikenal : Apa?Viana : Kita tidak melakukan hal itu lagi sampai kita menikah.Lama Viana menunggu balasan dari Teofilano, tapi tak muncul-muncul sampai dia kembali mengajak bicara Dion. “Kamu yakin mau nungguin aku?”“Iya, yakin. Sudah sana main.”Viana merasa Dion memperlakukannya seperti anak kecil yang butuh main. Akhirnya Viana turun. Berjalan mendekati pagar rumah Cherry lalu menekan bel.“Olive, Tante datang.” Viana memanggil nama a
“Apa ada jalan hidup jadi pelacur?” tanya Viana ketika Teofilano keluar dari kamar mandi dengan handuk hitam polos melilit tubuh bagiaan bawahnya yang mengingatkan akan keperkasaannya di ranjang.Teofilano menatap Viana sekilas sebelummengambil remot AC untuk menyejukkan suhu ruang menjadi 18 derajat celcius. “Kenapa kamu tanya seperti itu?”“Hanya tanya.”Teofilano menatap wajah putih dan rapuh Viana yang seperti tisu. “Kurasa Tuhan tidak pernah membuat jalan hidup seperti itu.”“Lalu kenapa kamu membuat jalan hidupku seperti pelacur?”Teofilano menutup tirai. Ruangan yang tadinya terang karena sinar matahari berubah menjadi gelap. Segelap hati Teofilano setelah melihat orang tuanya ditusuk pisau sampai mati oleh Ayah Viana—Nit King.Sekarang, anak Nit King ada di depannya—polos dan ringkih. Bertanya kenapa dia menjadikan anak itu pelacur. Apa yang harus dia katakan?Teofilano naik ke ranjang mencekik leher Viana dengan tangan kirinya sementara tangan kanan mengepal siap meninju.Vian
Viana meletakkan 1 botol air mineral dan sandwich isi telur, tomat, saus sambal ke pangkuan Teofilano.“Makan! Aku tidak mau kamu pingsan.”Teofilano tertawa. “Terima kasih, Viana. Kuhargai meski kamu memerhatikanku dengan marah-marah. Bukan karena pemberianmu, tapi karena kamu mengingatku dan kepikiran untuk memberi ini.”Ya. Bagi Teofilano hal terindah dari sebuah pemberian adalah orang itu mengingatnya, bukan pada nilai barangnya.Mobil yang Viana tumpangi perlahan bergerak meninggalkan rumah Galla. Seperti biasa, setiran Teofilano sangat halus, baik saat pindah gigi, mengerem, pindah haluan atau mendahului mobil lain. Padahal mobil ini manual.Meski marah, Viana memuji cara Teofilano menyetir mobil, dalam hati. Viana memperhatikan cara Teofilano menyetir mobil. Tangan kiri di tuas gigi, tangan kanan di setir, pandangan lurus ke depan.Viana akui Teofilano memang menggoda imannya. Pertama, pria ini matang dan dewasa. Ya, entah kenapa dari dulu Viana suka pria-pria seperti itu, mata
“Pulanglah,” tolak Viana.“Lamaran kerjamu ditolak.”“What?!” Viana terkejut, sebab dia berharap mendapatkan pekerjaan itu.“Ya. Karena kamu kekeh tidak mau waktu itu makanya diisi orang lain.”Bahu Viana merosot, tidak sadar responnya itu menggundang senyum lawan bicaranya. Akhirnya Teofilano tidak tahan menggoda Viana.“Orang lain itu Stevanie Laurencia King.”“Gak lucu!” Viana kesal merasa dibuat mainan oleh Teofilano. Pria itu dari dulu kalau tidak memaksa ya memperlakukannya seperti anak kecil. Ya. cuma dua hal itu yang dia rasakan sepanjang kenal Teofilano.Viana kesal Teofilano tak berhenti menertawakannya padahal tidak lucu. Dia masuk ke dalam rumah dan mematikan telpon.‘Beberapa tahun bersamaku, tak membuatmu benar-benar mengenaliku. Pikirmu aku takut CCTV? Kamu benar-benar meragukan caraku menyelesaikan masalah!' batin Teofilano sembari terkekeh."Ahh! Oouchh! Pak Teo stop!" Teofilano menirukan desahan Viana, mencibir. "Akan ku buat seminggu 3x kamu melenguh karenaku, Viana
"18.000 dollar!" Vonny melongo, tak menyangka segitu banyaknya uang yang Galla gelontorkan untuk perempuan tak berguna ini! Vonny belum pernah mengurus orang mati, jadi tidak punya gambaran biayanya. Dia hanya menebak tak mungkin dibawah 5.000 dollar karena peti mati Kakek Viana sangat bagus. Ya. Galla menghabiskan uang untuk beli peti mati. Peti yang dia beli dari salah satu pelanggan restorannya itu hampir menelan 70% dari total biaya yang dia keluarkan untuk pemakaman sederhana di tempat pemakaman umum pula. Tak beda jauh dari Vonny, Viana juga terkejut. Viana terkejut, sebanyak itukah sebanyak itukah biaya pemakaman Kakeknya? tapi dia sudah mengambil keputusan tak mau hutang se sen pun kepada keluarga ini. Meski miskin dan tak berguna, Viana tidak mau merepotkan apalagi merugikan orang lain. Begitulah caranya menghargai diri sendiri. "Udah termasuk biaya rumah sakit, ambulan, dan lain-lain?" Viana memastikan Galla sudah menghitung semuanya. "Sudah!" "Ok, akan ku cicil ti
Hampa, tak ada semangat hidup. Kalau disuruh memilih, Viana lebih memilih Ibu, ayah, dan kakeknya hidup kembali dari pada kaya.Pukul 1 siang mereka tiba di rumah.“Ayo.” Galla meraih tangan Viana yang ogah-ogahan masuk ke rumah ini lagi. Hari ini Vonny, Gustav, Michael memang datang ke pemakaman Kakeknya. Menabur bunga tapi menganggapnya makluk tak kasat mata. Ya. hanya formalitas karena tidak enak dipandang tetangga dan saudara bila tidak datang.Vonny segera menuju dapur, mengecek masakan yang tadi titipkan ke Airi. Mencicipi rasanya menggunakan sendok dan puas dengan hasilnya.Vonny memanggil satu per satu anggotanya untuk makan siang, kecuali Viana, karena dia makluk tak kasat mata.“Yuk makan,” ajak Galla kepada Viana.Viana tidak mau, karena namanya tidak dipanggil.“Mama nggak panggil kamu, tapi aku mengajakmu, yuk.”Meski ogah, Viana ikut.Reyna heran, Vonny menuangkan banyak lauk ke piringnya, Michael, Gustav dan Galla tapi tidak dengan Viana.“Kak Viana nggak makan daging s