Ya ampun Dewi kamu kenapa? Kakak-Kakak makasih yaaaaa Masih setia bersama Denver dan Darius yang sedang berjuang. ^^ Seriusan gak ada yang mau kasih nama buat anaknya Darius?
“Bu, ini test pack-nya,” bisik seorang asisten rumah tangga yang keluar rumah sejak pagi. Dia menyerahkan bungkusan kecil pada Dewi secara diam-diam.Dewi menyambutnya dengan jantung berdebar. Sejak semalam, pikirannya tidak tenang. Di pakaian dalamnya, muncul bercak kemerahan yang tidak biasa. Masih sepuluh hari lagi sebelum jadwal haid, dan itu membuatnya curiga.Dia memilih merahasiakan hal ini dari sang suami. Denver sempat heran karena Dewi tidur lebih awal dari biasanya, lalu bangun kesiangan dengan wajah pucat. Namun, wanita itu hanya tersenyum dan berkata kelelahan.Kini, dia berdiri di kamar mandi, Dewi mengembuskan napas perlahan. Iris hitamnya menatap alat kecil itu dengan ragu-ragu.“Semoga aku hamil … lagi,” bisiknya lirih, sebab suaminya masih berada di rumah pagi ini. Denver memang sengaja datang lebih siang karena rapatnya dilakukan di J&B Pharmacy, bukan rumah sakit.Dengan hati-hati, dia menetesi test pack itu dengan urin. Lalu memejamkan mata. Satu tangannya secara r
Kamu kenapa, Rani?” tanya Darius yang berdiri tepat di belakang tubuh Maharani. Wanita itu tengah memandangi wajah mungil putranya di balik kaca NICU.Mereka berdua berdiri diam sejak tadi. Setelah semalam menjenguk si kecil, pagi ini Maharani datang lebih awal untuk memberikan ASI. Dia ingin putranya tumbuh sehat dan cepat pulang.“Dia belum punya nama, padahal sudah lahir lebih dari dua minggu,” gumam Maharani pelan, senyum tipis terukir di bibirnya.Ya, awalnya memang bayi ini akan diserahkan pada Dania. Hanya saja, sekarang, sebagai ibu, dia bahkan belum memberinya nama.“Aku sudah punya, ... nama depannya,” ucap Darius tiba-tiba.Pria itu mencium pipi Maharani tanpa aba-aba, membuat wanita itu tersentak kaget.Refleks Maharani menjauh, matanya langsung menyapu sekeliling. Dia tidak habis pikir Darius bisa bertindak begitu terang-terangan di tempat umum. Ingin memaki rasanya, tetapi percuma. Tenaganya hanya akan terbuang sia-sia.“Siapa? Namanya?” desak wanita itu.“Dhava. Madhava
Bukan hanya Dewi yang bersiap, Denver pun dengan sigap berdiri dari kursinya. Pria itu menangkap jelas garis kecemasan di wajah sang istri. Bahkan gerak-gerik Dania terlihat mencurigakan sejak beberapa menit terakhir."Tenang, Denver! Dania tidak bisa berbuat apa-apa sekarang," bisik Darius, mencoba menenangkan sambil memberi isyarat agar Denver tetap duduk."Istriku ada di depan sana, Darius. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya," balas Denver lirih, menahan suara agar tidak memancing keributan di ruang sidang.Sementara itu, Dewi terlalu fokus menatap Dania. Matanya tidak lepas dari sosok wanita yang pernah menyakitinya. Karena itu, kesaksiannya sempat terhenti."Saudari Dewi Anggraeni, silakan dilanjut," tegur hakim, intonasinya tegas dan penuh peringatan.Dengan suara bergetar, Dewi kembali membeberkan semua yang dilakukan Dania padanya—dari ancaman hingga hinaan yang selama ini terus membekas.Benar saja, detik berikutnya Dania bangkit dari duduknya. Tatapan wanita itu penuh kebe
“Ahh … Sayang, pelan-pelan!” seru Dewi sambil tertawa kecil, tangannya melingkar erat di pinggang kekar sang suami. Wajahnya dia tempelkan ke punggung Denver, menyembunyikan degup jantung yang terlalu kencang.Denver begitu bersemangat malam ini. Suara motor besar merah burgundy yang dia tunggangi menggema di sepanjang jalan. Bahkan pria itu sempat bersenandung pelan, seolah tidak peduli pada dunia.Satu tangan Denver menahan tangan Dewi yang bersandar tepat di atas perut sixpack-nya, seakan ingin memastikan wanita itu tetap aman di belakangnya.Setelah berhasil membuat Dewi kembali tersenyum dan melepaskan beban hatinya, Denver memutuskan pulang lebih dulu. Dia bahkan menyuruh Ruslan mengantar motor gedenya ke kafe, meninggalkan Maharani dan Darius yang tengah menikmati momen mereka sendiri.“Malam ini kita pulang ke apartemen, Sayang!” teriak Denver, melawan suara bising jalanan.“Eh, kenapa? Nanti Dirga nyariin. Apa dia di sana juga?” balas Dewi, agak berteriak.Akan tetapi, Denver
Hari demi hari berlalu ….Pagi ini, Dewi bangun lebih awal dari biasanya. Dia sibuk menyiapkan sarapan untuk suami dan putra kecilnya yang tersayang. Meskipun Denver telah melarangnya, dia tetap ingin memberi yang terbaik.Hari ini adalah hari pertama Dirga masuk sekolah. Bocah itu begitu antusias, bahkan semalam tidur sebelum jam biasanya—membuat Dewi dan Denver lebih cepat pula bermandi peluh tanpa gangguan.“Pagi, Sayang,” sapa Denver yang datang dari belakang dan mengecup pelipis sang istri. Wajahnya terlihat segar, senyum manisnya seperti cokelat hangat yang menenangkan.Meskipun sarapan telah tertata rapi di meja makan, Dewi sudah mengenakan seragam perawat. Rambutnya disanggul kecil, dan ada wangi sabun lembut yang menguar dari kulitnya.Dia membalas Denver dengan kecupan ringan di pipi, sambil memeriksa kancing kemeja sang suami dengan cekatan.Suara cempreng pun terdengar dari arah tangga.“Molning Mama, Papa! Aku mau belangkat sekalang, ah!” seru Dirga penuh semangat. Dengan
Berbeda dengan Denver yang sedang frustrasi karena menunggu Dewi, justru saat ini Maharani baru saja tiba di depan sebuah rumah minimalis. Dia menoleh ke arah Darius yang turun lalu membuka pintu pagarnya.“Dhava … Ibu harap ini pilihan baik, Sayang,” bisik wanita itu pelan, lalu mengecup kening putra kecilnya.Tidak lama, Darius kembali ke dalam mobil dan menjalankan kendaraan perlahan memasuki garasi. Pria itu tersenyum hangat pada Maharani, meraih satu tangannya dan mengecupnya penuh kasih.“Maaf, aku hanya bisa membelikanmu rumah kecil ini.”Maharani menelan ludah, dadanya sesak oleh haru. Baginya ini sudah sangat bagus, bahkan terlalu indah. Lidahnya terasa kelu—tak tahu harus berkata apa, sebab Darius terlalu baik untuk wanita dari kalangan biasa ini.“Rumah ini akan jadi milikmu, Rani …,” ucap Darius sembari mendekatkan diri. Tangannya yang hangat meraih dagu pujaan hati, lalu mengecupnya lembut dan menyesap penuh cinta.Sejenak, dunia seolah berhenti berputar. Nyaris saja dia t
Sesampainya di rumah yang baru dibelinya sebulan lalu, Darius tercengang melihat jajaran mobil yang terparkir di halaman. Pintu gerbang rumah itu terbuka lebar, padahal dia sudah menitip pesan pada Astuti agar tidak membukanya untuk siapa pun.Namun fokus Darius segera tertuju pada plat mobil yang sangat dikenalnya. Dengan langkah lebar dan napas yang mulai memburu, dia memasuki rumah—dan…"Rani?" panggil Darius sambil menatap ruang tamu yang dipenuhi beberapa orang. Matanya segera menangkap sosok pria paruh baya yang duduk gagah sembari menggendong Madhava. Sorot matanya mengeras. "Kenapa Om datang ke sini?"Danis menatap Darius tanpa gentar, lalu dengan hati-hati mengembalikan bayi mungil itu ke pelukan Astuti yang duduk di sampingnya dengan tubuh gemetaran."Apa salahnya mengunjungi cucuku, Darius?"Tatapan dua pria berbeda usia itu saling bertemu, sama-sama tajam. Darius lalu merangkul Maharani yang duduk tegang di sofa. Sembari menoleh ke arah Astuti, suaranya berubah dingin."Bu
Seketika, Maharani mendorong tubuh Darius hingga punggung pria itu membentur dinding dengan keras, menimbulkan suara nyaring yang merupakan perpaduan antara benturan dan erangan tertahan.Darius meringis. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan sambil memejamkan mata, merasakan nyeri menyebar di sepanjang punggungnya. Tangannya mengepal, bukan hanya karena sakit, melainkan niatnya mencium Maharani baru saja digagalkan dengan cara yang tidak begitu romantis."Darius!"Suara itu menggema dari arah tangga. Darius buru-buru menoleh, dan ekspresi wajahnya langsung berubah. Yang semula kesal langsung tersusun ulang menjadi datar penuh kepura-puraan.Sementara itu Danis sedang berjalan ke arahnya dengan pandangan waspada, seolah-olah sedang mencari jejak ‘kejahatan’ yang baru saja terjadi."Ya, Om? Ada apa?" tanya Darius, berusaha terdengar santai. Namun, garis di antara alisnya tidak mampu berbohong—dia terganggu."Sebaiknya kamu ikut kami menginap di hotel. Jangan di sini!" t
Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
"Waaa! Waaah!" Dirga panik bukan main saat mendengar tangisan nyaring menggema dari boks bayi di ruang keluarga. Dia buru-buru mengintip ke sumber suara yang mengganggu acara televisi kesukaannya. "Dash jangan nangis dong ... Kamu ‘kan udah minum susu tadi," bujuk Dirga sambil mengelus pipi sang adik dengan tangan kecilnya. Belum sempat Dashel tenang, tangisan lain menyusul. Dirga nyaris melompat kaget. "Aduh, Di ... jangan ikut-ikutan, ya," keluhnya. Sambil setengah berjongkok, Dirga mengambil botol susu yang tadi diletakkan pengasuh di meja dekat boks, mencoba menyerahkannya pada Diana. Dirga menoleh dengan wajah bingung, kedua tangannya sudah sibuk masing-masing memegang satu botol susu. Dia mencoba menyeimbangkan keduanya sambil terus berbicara setengah memohon, setengah bingung, "Diam, ya, ssst ... sebental lagi Mama pulang, kok ... Sabal." Dirga bagai seorang kapten kapal kecil mencoba menenangkan tiga anak buahnya yang memberontak bersamaan. Ya, memang Draven agak lebih t
Dua bulan setelah kelahiran tiga malaikat kecil mereka, kediaman Denver dan Dewi berubah menjadi kehebohan yang tiada henti. Meskipun sudah ada empat pengasuh yang disiapkan, untuk Dirga, Draven, Dashel, dan Diana—tetap saja pagi ini kacau balau. Di sudut kamar, Dewi tengah sibuk memompa ASI sembari menyusui Diana. Tubuhnya agak membungkuk, dengan rambut disanggul seadanya, dan wajah cantik itu terlihat sedikit pucat. Sementara itu, Dirga mondar-mandir dari kamar ke kamar, keningnya berkerut karena kesal. "Aduh, di mana, ya, kaus kaki dino?" rengeknya, suara kecil itu sungguh nyaring memenuhi seluruh rumah. Pengasuh sudah menawarkan beberapa pasang kaus kaki yang lain, tetapi Dirga menggeleng keras. "Dirga, ini kaus kakinya sudah dicuci bersih. Pakai saja ini, ya?" bujuk pengasuhnya lembut. "Bukan itu!" Dirga berteriak kecil, lalu berlari ke kamar Dewi. Sayang, yang dicarinya tidak ada. Dengan langkah kecil yang mantap, dia menuju kamar bayi dan menemukan Dewi sedang menyusu
Pukul delapan pagi, suasana ruang presidential suite sudah jauh berbeda dari kemarin. Aroma antiseptik khas rumah sakit masih tercium, tetapi kini bercampur dengan tawa kecil dan desah lega yang menghangatkan udara di sekitar.Di ranjang besar berseprei putih bersih itu, Dewi duduk sembari bersandar lemah. Ya, tubuhnya masih tampak pucat, tetapi mata sipit itu berbinar lembut. Di pelukannya, Dirga sedang berbaring, melepas rindu katanya. Satu tangan mungil itu menggenggam erat piyama rumah sakit Dewi, tidak mau terpisah lagi.“Aku sayang Mama,” bisik anak itu.Dengan jemarinya, Dewi membelai rambut putra pertamanya. Dia menunduk dan mencium kening mungil itu beberapa kali, tentu penuh rasa rindu yang menyesak dada.“Mama juga sayang banget sama Kakak Dirga,” balas Dewi, diikuti senyum merekah.Sedangkan Denver berdiri di sis ranjang. Dia memeriksa kondisi Dewi. Tangan pria itu sesekali menyentuh pergelangan tangan istrinya, mengecek denyut nadi yang masih terasa lemah, tetapi stabil.