"Itu artinya … menjual sel telur milikku? Kenapa harus aku?” Dewi Anggraeni tak pernah membayangkan hidupnya memiliki jalan berliku tajam. Dinikahi oleh Bima seorang pria mapan, tetapi tidak dianggap sebagai istri. Bahkan dia dijual oleh sang suami dengan perjanjian gila kepada pria kaya raya. Dewi harus melahirkan anak dari benih pria asing. Masalah semakin pelik, ketika hubungan itu melibatkan perasaan dan menimbulkan masalah baru bagi mereka.
View More“Tolong, Mas. Aku mohon sekali ini saja, bantu Ayah,” lirih seorang wanita sambil mengatupkan kedua tangan dan bersujud di depan pria bertubuh kurus.
Sudah setengah jam perempuan cantik bermata sipit itu mengemis di hadapan sang suami. Namun, pria bertubuh tinggi di hadapannya tidak luluh walau secuil kapas. “Heh, Dewi, aku bukan lembaga sosial yang memberi uang Cuma-Cuma? Bodoh amat ayahmu itu mati dan kesakitan, aku tidak peduli!” sentak pria itu sambil mengempas kaki sehingga tubuh mungil di bawahnya tersungkur ke atas lantai. Netra hitam pekat Dewi bergetar dan kedua tangan terkepal kuat di samping tubuh, setelah mendengar kalimat kejam dari bibir suami. Perlahan dia mendongak, menatap dalam wajah pria itu. “Mas Bima … dokter bilang ayahku harus dioperasi segera, kalau tidak …,” kata Dewi dengan suara nyaris tenggelam. Dua jam lalu Dewi menerima kabar dari tetangga di kampung, bahwa ayahnya dilarikan ke rumah sakit karena mendadak sesak napas. Saat itu, dia masih bisa berpikir tenang dan merencanakan menjenguk Danang—ayahnya. Hanya saja, sejam berlalu dia mendapat informasi dari pihak rumah sakit, ayahnya mengalami komplikasi akibat penyakit diabetes yang telah lama diderita. Sehingga jantung serta ginjal bermasalah. Meskipun bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta kota besar, dia tidak bisa meminjam uang ke koperasi pegawai lantaran statusnya pegawai baru kurang dari enam bulan, gajinya pun tidak memadai. Dewi yang kebingungan, pada akhirnya mengemis pertolongan pada sang suami yang dia tahu memiliki cukup uang. Setidaknya, nanti dia akan mencicil dari gajinya. Ya, meskipun menjadi istri seorang manajer, tetapi sudah tiga bulan ini Dewi kesulitan ekonomi untuk memenuhi kehidupan keluarganya di kampung. Dahulu, sebelum ayah mertua meninggal selalu menyokong kebutuhan finansial keluarga Dewi. Hal itu karena mendiang ayah mertua memiliki balas budi pada Danang yang telah menyelamatkan Bima dari derasnya arus sungai. Maka dari itu, Dewi dan Bima dijodohkan dengan harapan dapat membina rumah tangga bahagia, tetapi … tak segampang itu. Sebagai pria terhormat dan terpelajar, tentu saja Bima malu memperistri anak seorang tukang kebun. Dewi baru mengetahui sifat asli Bima setelah ayah mertua meninggal dunia. Tingkah sang suami sangat kasar, ringan tangan dan hobi mabuk-mabukan. Bahkan kekerasan verbal telah menjadi makanan gadis itu sehari-hari. “Kamu ‘kan bekerja sebagai perawat, sembuhkan saja sendiri ayahmu yang matre itu,” ejek Bima diikuti ledakan tawa menggema dalam ruangan tamu. “Cukup, Mas! Kamu boleh menghina aku, tapi tolong jangan ucapkan kata-kata kotor untuk ayahku!” sahut Dewi sambil menatap pedih kepada suaminya. Bima merunduk, lantas menjepit rahang mungil Dewi. Pria itu menatap bengis sepasang mata sipit yang membengkak dan kemerahan. Makin lama Dewi merasakan ujung kuku jari tangan Bima menusuk kulit pipinya. Rintih kesakitan yang keluar dari sela bibir tipis tidak digubris sedikit pun oleh pria itu. Dia berusaha melepaskan cengkeraman, tetapi sulit karena tenaganya kalah jauh dari sang suami. “Kenapa? Sakit, ya?” desis Bima yang diangguki Dewi. Kemudian pria itu mengempas kasar rahang mungil. Bima mengelap telapak tangan, menghilangkan kotoran karena keringat Dewi menempel pada kulitnya. Setelah itu, dia merapikan dasi dan kemeja putih sembari membalik badan, lalu berjalan menuju pintu utama. Dari tempatnya terduduk, netra sipit memperhatikan langkah sepasang kaki tertutup pantofel hitam. Dewi masih berharap Bima memberi pertolongan untuk sekali ini saja. Jujur, dia tidak sanggup jika kehilangan ayahnya, karena pria paruh baya itu adalah tumpuan hidupnya. Namun, kenyataan berbanding terbalik, sang suami justru berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman. Lima menit berlalu, Dewi tidak mendengar deru mesin mobil. Hanya saja, dia tidak mau berandai-andai lagi dan memilih menyeret kaki ke kamarnya yang berada di belakang rumah besar ini. Tiba-tiba saja, hentakkan sepatu memenuhi indera pendengaran Dewi, makin lama tambah dekat. Namun, dia urung menoleh, lalu mempercepat laju kakinya melewati lorong sempit di belakang dapur. “Berhenti, Dewi!” titah Bima, “berputarlah!” Perlahan Dewi memutar tubuhnya dan menatap wajah sangar pria itu. Dia memperhatikan dengan heran pada Bima karena memindai lekuk tubuhnya, mulai dari buah dada, pinggul sampai sepasang kaki terbungkus kaos kaki. “Lumayan,” kata pria itu manggut-manggut, lantas mengitari badan Dewi. Tanpa banyak kata, Bima melenggang meninggalkan Dewi bersama keputusasaan yang membelenggu gadis itu. Selepas suaminya pergi, Dewi menelepon beberapa teman untuk mencari pinjaman. Sayang, tak satu pun dari mereka bersedia memberikan pinjaman walau sedikit. Semua langsung menutup sambungan telepon. Sekarang Dewi dirundung pilu, dia hanya bisa melambungkan doa setinggi langit agar sebuah keajaiban datang untuk menyelamatkan nyawa Ayah tercinta. Pukul tiga siang Dewi masuk kerja shift dua. Selama menangani pasien di bangsal IGD, dia kurang fokus karena rumah sakit tempat ayahnya dirawat menanyakan kesanggupan keluarga pasien membayar biaya operasi. Alhasil Dewi meminta batas waktu entah sampai kapan, karena dirinya hanya berjanji saja. Waktu berjalan cepat, pukul sepuluh malam Dewi mendapat telepon dari Bima bahwa pria itu menunggu di koridor dekat toilet perawat. Seketika iris hitam berbinar dan relung hatinya menghangat, dia pikir panggilan suara ini adalah jawaban atas doanya, Bima bersedia memberikan pinjaman. “Mas?” panggil Dewi melihat Bima sedang berbicara bersama seorang pria berbadan tambun dengan kepala botak. Kompak dua pasang mata itu menoleh dan memperhatikan setiap lekuk tubuh Dewi, membuat gadis berperawakan mungil itu merinding dan dihinggapi sinyal waspada. Bima langsung menarik paksa lengan Dewi dan membawanya pada sudut lain. Pria itu berbisik, “Kamu butuh uang cepat, bukan? Aku punya solusinya.” Alih-alih mengiakan pertanyaan yang sudah tahu jawabannya, justru Dewi diam saja. Relung hati gadis itu merasakan hal ganjil di sini. Dia takut dijual ke rumah hiburan. “Tugasmu gampang, cukup hamil dan melahirkan anak untuk pria itu,” sambung Bima sembari menunjuk pada pria tambun di dekat mereka. “Apa?! Aku tidak mau, Mas. Kamu gila!” pekik Dewi tertahan. “Itu cara termudah, lagi pula aku sudah menandatangani kontrak, dalam jangka waktu setahun kamu harus melahirkan bayi. Kalau mundur, kamu wajib mengganti tiga kali lipat, paham!” sentak Bima. Dewi menggeleng tegas, sungguh dia tidak mau mengikuti saran Bima. Lebih baik dirinya bekerja tanpa henti daripada menjual diri seperti ini. “Kamu takut tidur dengannya?” tanya Bima diangguki Dewi. Pria itu menyeringai lalu berkata dengan tegas, “Kamu hanya perlu melakukan proses bayi tabung, mudah ‘kan? Pria itu menjanjikan satu miliar untukmu. Ya, itu pun kalau mau menyelamatkan ayahmu yang penyakitan.” Seketika kelopak mata Dewi melebar dan menatap Bima tidak percaya. Untuk sejenak dia merenung sedangkan Bima terus membisikkan kalimat hasutan agar Dewi menerima perjanjian gila ini. Sebagai tenaga medis, setidaknya dia tahu mengenai program bayi tabung, bahkan rumah sakit tempatnya bekerja pun memiliki fasilitas itu. “Terima saja Dewi, di mana lagi cari uang satu miliar dalam waktu singkat?” kata Bima, “sekarang juga kamu periksa kesehatan di rumah sakit ini. Kebetulan pria itu sudah bikin janji dengan dokter kandungan.” Dewi dipaksa mengambil keputusan dalam waktu singkat. Setelah berpikir cukup masak, dia merasa tidak masalah tubuhnya menjadi tempat penitipan bayi pasangan lain selama sembilan bulan. “Baiklah,” lirih Dewi dengan berat hati. “Bagus, jangan membantah!” Bima menepuk-nepuk kasar pipi lembab perempuan itu. Kemudian Bima menyerahkan Dewi kepada pria tambun itu. Mereka berjalan menuju ruang spesialis kandungan di rumah sakit ini. “Uangnya kapan dikirim, Pak?” tanya Bima kepada pria plontos di depannya. “Karena dia masih perawan, saya minta tambahan jadi lima miliar," pintanya lagi tanpa tahu malu. “Jangankan lima miliar, sepuluh miliar aku bayar setelah memastikan perempuan ini beneran perawan dan subur, tidak memiliki gangguan apa pun di rahimnya,” kata pria itu tanpa menoleh ke belakang. Sesungguhnya Dewi ingin menjerit mendengar percakapan ini. Keperawanan yang dia jaga diperjualbelikan, bahkan setelah menikah saja Bima tidak menyentuhnya karena merasa jijik. Sebelum masuk ke poli obgyn, tubuh Dewi gemetaran karena dia takut keputusannya memengaruhi status sebagai pegawai di sini. Pria tambun di depan Dewi mengetuk pintu, hingga sahutan suara maskulin terdengar dari dalam sana. Gadis itu menunduk dalam di balik punggung lebar dan besar. Sedangkan Bima menunggu di luar ruangan. “Saya sudah mendapat perempuan yang sesuai dengan kriteria, silakan Dokter periksa,” ucap pria tambun itu membuat Dewi menghentikan napasnya seketika.Siang itu, butik kecil bernuansa pastel milik Diana tampak tenang. Tirai tipis bergoyang lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Di sudut ruangan, Diana sedang memeriksa detail bordiran pada salah satu gaun yang akan digunakan untuk pemotretan pernikahan besok. Jemarinya bergerak perlahan, matanya fokus, dengan senyum yang tetap lembut. “Cantik banget, Diana .…” Suara wanita dari pintu membuat Diana menoleh. “Tante Rani!” seru Diana pelan, senyumnya makin mengembang. Dia segera bangkit dan memeluk teman mamanya itu. Maharani tertawa kecil, lalu menunjuk gaun di tangan Diana. “Kalau kamu yang pakai, pasti tambah sempurna. Sumpah, waktu lihat kamu di catwalk bulan lalu … Tante sampai mikir, ini manusia apa bidadari, sih?” Diana mengerucutkan bibirnya merahnya, lalu menepuk lengan Maharani dengan. “Berlebihan banget, Tante. Tapi makasih, ya. Aduh, jadi malu.” Mereka duduk di sofa mungil dekat jendela. Maharani membuka kotak kecil berisi bros handmade yang ingin dia titipkan
“Dokter, bolehkah kami berfoto bersama sebelum operasi?” Dashel menoleh dengan senyum khasnya. Wajahnya yang sebagian tertutup masker dan sorot mata yang tajam membuat beberapa perawat tak kuasa menyembunyikan rona merah di pipi mereka. “Boleh saja,” jawab pria itu santai sambil mengangkat dua jari ke arah kamera. “Asalkan jangan sampai pasiennya menunggu terlalu lama. Bisa-bisa dia memutuskan kabur.” Si paling usil dari keluarga Denver, kini telah menjelma menjadi salah satu dokter bedah muda yang paling diidolakan di rumah sakit. Setelah menyelesaikan pendidikan spesialis di Johns Hopkins University, sebuah institusi kedokteran bergengsi, Dashel—yang akrab disapa Dash—kembali ke Indonesia membawa pulang segudang prestasi serta rasa percaya diri yang tak terbendung. Akan tetapi, sesungguhnya transformasi Dash bukan hanya terlihat dari gelar dan jas putih yang kini melekat di tubuh atletisnya. Di ruang operasi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda dari kesehariannya. Dash sela
Pukul tujuh pagi, lantai tertinggi gedung J&B Pharmacy sudah dipenuhi staf yang pucat pasi. Mereka berlarian, merapikan berkas, menyusun slide, mengecek statistik berkali-kali. Hal ini karena ada yang menakutkan, Akashan Draven Bradley mulai menjadi presdir. "Dia sudah di ruang rapat?" bisik salah satu staf. "Sudah. Dari jam enam empat puluh," jawab yang lain pelan, seakan menyebut nama Draven terlalu keras bisa bikin dicoret dari daftar gaji. Di ruang rapat, suasana membeku. Draven duduk di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam pekat, dasinya lurus, rambutnya klimis tak bergerak. Tatapannya setajam pisau bedah. “Proyeksi penjualan kalian di kuartal ini ... menyedihkan,” kata Draven sambil menatap grafik. Salah satu kepala divisi mencoba menjelaskan, “Kami mengalami hambatan distribusi karena banjir—” “Jadi kamu biarkan masyarakat tidak dapat obat hanya karena hujan?” Suaranya datar dan dingin. “Kamu kerja untuk perusahaan farmasi. Kalau distribusimu kalah sama cuaca, se
"Jangan pernah bilang menjadi dokter itu mudah." Kalimat itu terngiang di kepala Dirga sejak pagi buta. Entah mengapa, hari ini dia mengenakan jas putih dan berdiri di depan rumah sakit milik ayahnya—bukan sebagai anak pemilik, melainkan sebagai dokter baru. Ya, entah mimpi apa yang menghampirinya semalam. Dirga, si paling anti bau rumah sakit, kini resmi bertugas sebagai residen di Poli Anak. “Dokter Dirga, pasien pertama sudah menunggu di dalam,” ujar seorang perawat sambil tersenyum manis. Dirga mengangguk, mencoba tampak tegar. Namun, tangannya gemetar saat membuka pintu ruang periksa. Di sanalah bencana pertama dimulai. “Aku tidak mau disuntik!!” jerit seorang bocah lima tahun sambil melempar botol minum ke arah wajah Dirga. “Tenang … Dokter tidak gigit, sungguh.” Seketika boneka putih mendarat keras tepat di antara alisnya. Hari pertama, tiga pasien anak menangis, satu muntah di pangkuannya, dan satu lagi kabur lewat jendela kecil. Sesampainya di rumah, Dirga duduk lema
12 Tahun Kemudian"Berisik banget sih! Bisa nggak sekali aja nggak nangis?" teriak Draven dari ambang pintu kamarnya.Anak laki-laki berusia 13 tahun itu mengacak-acak rambutnya sendiri, kesal. Dia mendelik ke arah Diana—adik perempuannya—yang lagi sesenggukan di tengah lorong lantai dua.Diana, dengan mata berkaca-kaca, mendongak marah. "Bukan bantu aku, malah ngomel! Huh!" serunya sambil mengusap kasar air mata."Bantu apa? Kamu tuh cengeng!" balas Draven sengit.“Dash ambil cokelatku lagi, padahal sisa sedikit tahu!” lontar Diana dengan bibir merah mudanya.Sebelum pertengkaran makin memanas, suara pintu kamar terbuka terdengar dari sisi lainnya. Seketika Diana berlari ke arah sumber suara, meninggalkan Draven yang masih berwajah masam.Diana berdiri tepat di depan seorang remaja laki-laki yang baru saja keluar dari kamar. Rapi dengan kemeja putih dan celana panjang hitam.“Kak Dirga,” rajuk Diana, sambil menerjang ke pelukan kakaknya.Dirga telah tumbuh menjadi pemuda tampan berus
Satu Tahun Kemudian--Birmingham, InggrisUdara musim semi yang sejuk menyapa kota Birmingham saat mobil yang dikemudikan Darius melaju pelan memasuki area Rumah Sakit JB. Di sebelahnya, Maharani menatap keluar jendela dengan kening berkerut."Kenapa ke rumah sakit?" tanyanya heran, sambil merapikan pakaiannya.Darius hanya tersenyum tipis, tidak menjawab.Maharani makin bingung. "Kita mau sakit? Atau mau jenguk seseorang?"Darius menggeleng pelan, tetap dengan ekspresi datarnya yang membuat Maharani makin penasaran."Darius ... ada apa sebenarnya?" tanya Maharani lagi, sedikit merajuk."Ikut saja dulu," sahut Darius tenang, sambil menggandeng tangan istrinya.Mereka berjalan melewati koridor rumah sakit yang bersih dan wangi. Sesekali Maharani melirik ke kanan dan kiri, mencoba mencari petunjuk apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya mereka tiba di sebuah poli, dan seorang dokter bule menyambut dengan ramah."Good afternoon, Mr. and Mrs. Darmawan," sapa dokter itu.Maharani yang masih t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments